Sunday, 23 September 2012

Tawassul - Bicara Habib Munzir




Memang banyak pemahaman saudara-saudara kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul, tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih, malaikat, atau orang-orang mukmin. Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw, tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan perantara, dan tak ada yang menentangnya, apalagi mengharamkannya, atau bahkan memusyrikkan orang yang mengamalkannya.




Pengingkaran hanya muncul pada abad ke 19-20 ini, dengan munculnya sekte sesat yang memusyrikkan orang-orang yang bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits shahih di bawah ini : Wahai Allah, Demi orang-orang yang berdoa kepada Mu, demi orang-orang yang bersemangat menuju (keridhoan)Mu, dan Demi langkah-langkahku ini kepada (keridhoan)Mu, maka aku tak keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku ini karena riya atau sumah....... hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih). Hadits ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa menuju masjid dan doa safar. Tujuh Imam Muhaddits meriwayatkan hadits ini, bahwa Rasul saw berdoa dengan Tawassul kepada orang-orang yang berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-orang yang bersemangat kepada keridhoan Allah, dan barulah bertawassul kepada Amal shalih beliau saw (demi langkah2ku ini kepada keridhoanMu).


Siapakah Muhaddits?, Muhaddits adalah seorang ahli hadits yang sudah hafal 10.000 (sepuluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum matannya, betapa jenius dan briliannya mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw, sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad dan hukum matannya. Lalu hadits di atas diriwayatkan oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan orang-orang yang dianggap muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits, dan kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka bukanlah pencaci, apalagi memusyrikkan orang-orang yang beramal dengan landasan hadits shahih.


Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu'aim, Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan Rasul saw rebah/bersandar dikuburnya dan berdoa : Allah Yang Menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan luaskanlah atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum ku, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang., jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa Rasul saw bertawassul di kubur, kepada para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw (Istri Abu Thalib).


Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada Allah : "Wahai Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami (saw) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw)yang melihat beliau (saw), maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih Bukhari hadits no.3508). Umar bin Khattab ra melakukannya, para sahabat tak menentangnya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak satupun mengharamkannya, apalagi mengatakan musyrik bagi yang mengamalkannya, hanyalah pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan orang yang bertawassul, padahal Rasul saw sendiri bertawassul. Apakah mereka memusyrikkan Rasul saw ? Dan Sayyidina Umar bin Khattab ra bertawassul, apakah mereka memusyrikkan Umar ?, Naudzubillah dari pemahaman sesat ini.


Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup, maka entah dari mana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid.


Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan izin Allah, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati mustahil. Lalu di mana kesucian tauhid dalam keimanan mereka ? Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah, yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan Allah atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.


Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah swt, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat Ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.


Contoh lebih mudah, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu, anda berkata : "Berilah saya tuan (atau) terimalah lamaran saya tuan, saya mohon, saya adalah tetangga dekat fulan, nah bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat? Jelas-jelas saudagar akan sangat menghormati atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup, pun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan ar-Rahmaan ar-Rahiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni? Dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar, NAMUN ANDA MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT.


Aduh...aduh... entah apa yang membuat pemikiran mereka sempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini. Firman Allah : "MEREKA ITU TULI, BISU DAN BUTA DAN TAK MAU KEMBALI PADA KEBENARAN" (QS Albaqarah-18). Wahai Allah beri hidayah pada kaumku, sungguh mereka tak mengetahui.Wassalam.




Saturday, 22 September 2012

Kenali Al Alim Al Allamah Syeikh Ibrahim Al Bajuri(1198-1127H)


Beliau adalah Al Alim Al Allamah Al Bahrul Fahamah As Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad As Syafie[1] Al Bajuri, nisbah kepada Bajur, satu daerah di jajahan Manufah Mesir. Beliau dilahirkan pada Tahun 1198 H.



Beliau membesar dan mempelajari Al Quran di bawah bimbingan ayahnya. Pada tahun 1212 H ketika beliau berumur 14 tahun beliau menuntut ilmu di Al Azhar. Dan tatkala pasukan Perancis menceroboh Mesir Tahun 1213 H, beliau keluar pergi ke Hizah dan bermukim di sana. Setelah Perancis meninggalkan mesir pada Tahun 1216 beliau pun kembali dan menyibukkan diri dengan pelbagai bidang ilmu.

 

Antara guru beliau ialah:

Syeikh Muhammad Al Amir Al Kabir, Syeikh Abdullah As Syarqawi[2], Syeikh Daud Al Qal’aawi, Syeikh Muhammad Al Fudhali[3], Syeikh Hassan Al Quwaisinni dan banyak lagi. Kesemua gurunya terdiri para ulama’ besar dan terkemuka di zamannya.

 

Antara kitab karangan Syeikh Ibrahim Al Bajuri seperti berikut:

  1. Hasyiah[4] Bajuri “لا إله إلا الله” karangan Syeikh Muhammad Al Fudhali Tahun 1222 H

  2. Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awam Fi Ma Yajibu Min Ilmi Kalam karangan Syeikh Muhammad Al Fudhali Tahun 1223 H

  3. Fathul Qaribi Mujib, Syarhu Bidayatil Murid karangan Syeikh Suba’i Tahun 1224 H

  4. Hasyiah ala Maulidil Imam Ibni Hajar Al Haitami Tahun 1225 H

  5. Hasyiah ala Syarhi Sanusi Fi Ilmil Mantiq Tahun 1225 H

  6. Hasyiah ala Matni Sullamil Munauraq Fi Ilmil Mantiq karangan Syeikh Allamah Akhdari Tahun 1226 H

  7. Hasyiah ala Matni Samarqandiah Fi Ilmil Balaghah (Bab Istiaarah) Tahun 1227 H

  8. Fathul Habiril Syarhu Matnil Tarshif karangan Syeikh Abdur Rahman Isa

  9. Tahun 1227 H

  10. Hasyiah Bajuri ala Ummil Barahin Wa Aqaiq karangan Al Allamah Syeikh Sanusi Tahun 1227 H

  11. Hasyiah ala Maulidi Syeikh Ahmad Dardir Tahun 1227 H

  12. Fathu Rabbil Bariyyah ala Ad Durratil Bahiwah Nazam al Ajrumiah Tahun 1229 H

  13. Al Burdah Liabi Abdillah Muhammad ibn Said al Bushiri Bisyarhi Al Bajuri karangan Imam Busyiri Tahun 1229H

  14. Hasyiah ala Banati Su’ad Tahun 1234 H

  15. Tuhfatul Murid ala Syarhi Jauharatil Tauhid karangan Syeikh Ibrahim Al Laqqani Tahun 1234 H

  16. Manhul Fattah ala Nuril Misbah Fi Ahkamil Nikah Tahun 1234 H

  17. At Tuhfatul Kairiyyah alal Fawaa’idid Syansyuuriyyah Fi Maslahatil Waris Tahun 1246H

  18. Ad Durarul Hisan ala Fathir Rahman Fi Ma Yahshulu Bihil Islam Wal Iman karangan Al Allamah Zabidi Tahun 1238 H

  19. Risalah Syaghirah[5] Fi Ilmi Tauhid Tahun 1238 H

  20. Al Mawaahibul Ladunniyah ala Syama’lil Muhammadiah karangan Imam Tirmidzi Tahun 1251H

  21. Hasyiah ala Syarhi Ibn Qasim Al Gazzi ala Matni Syeikh Abi Suja’( Fekah Mazhab Syafie). Tahun 1258 H dan merupakan karangan terakhir beliau.


 

Dan masih ada lagi kitab-kitab karya beliau, akan tetapi tidak sempat beliau noktahkan. Antaranya ialah:

  1. Hasyiah ala Jam’il Jawami’, sempat mengarang hingga akhir muqadimah

  2. Hasyiah ala Syarhi Sa’di alal Aqa’idil Nasafiah

  3. Hasyiah ala Minhaj, sempat mengarang hingga kitab jenazah

  4. Hasyiah ala Syarhi Manzumatil Syeikh Al Bukhari Fil Tauhid


 

Syeikh Ibrahim Al Bajuri seorang ulama yang sentiasa sibuk dengan belajar dan mengajar . lidahnya sentiasa basah membaca Al Quran dan berzikir kepada Allah SWT. Beliau dilantik menjadi Syeikhul Azhar pada Tahun 1263. Bahrul ilmi(lautan ilmu) antara gelaran diberikan kepada beliau. Jika di lihat pada kitab karangannya, beliau mengarang dalam pelbagai bidang ilmu islam.

 

Di Nusantara, nama Syeikh Ibrahim Al Bajuri tidak asing bagi penuntut atau para santri di Pondok atau Pesantren di Nusantara. Hal ini kerana, kitab beliau seperti Tuhfatul Murid ala Syarhi Jauharatil Tauhid(Tauhid), Hasyiah ala Syarhi Ibn Qasim Al Gazzi ala Matni Syeikh Abi Suja’(Fekah Mazhab Syafie) dan Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awam(Tauhid) amat masyhur digunakan dalam pengajian.

 

 

 

 

 

 







[1] As Syafie merujuk kepada pegangan mazhab beliau iaitu Mazhab Syafie




[2] Pengarang Hasyiah Syarqawi ala Hudhudi yang terkenal itu.




[3] Pengarang kitab Kifayatul Awam. Kitab tersebut telah disyarahkan oleh Syeikh Ibrahim Al Baijuri selaku anak muridnya yang dinamakan Tahqiqul Maqam ala Kifayatul Awam. Kitab Kifayatul Awam merupakan antara kitab penting dalam pengajian pondok dan pesantren di Nusantara.




[4] Hasyiah dari segi bahasa bermakna tepi. Dalam konteks di atas bermaksud Syeikh Ibrahim Al Bajuri telah mensyarahkan(menerangkan maksud) kitab karangan Syeikh Muhammad Al Fudhali rhm




[5] Juga dikenali dengan nama Risalah Bajuri Fil Tauhid. Risalah tersebut telah disyarahkan oleh ulama nusantara terkenal iaitu Al Allamah Syeikh Muhammad Nawawi Al Jawi rhm. Syarah tersebut berjudul Syarhu Tijanil Darariy Fi Risalah Bajuri Fi Tauhid

 

SUMBER:

http://angahtokku.blogspot.com/2010/12/kenali-al-alim-al-allamah-syeikh.html



Thursday, 20 September 2012

Syeikh Abdullah Arif penyebar Islam pertama di Aceh



Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah

 

NEGERI-negeri pertama di Nusantara atau dunia Melayu memeluk agama Islam ialah Aceh, Kedah dan Patani. Berbagai-bagai teori tentang kedatangan Islam di dunia Melayu. Ada sarjana berpendapat kedatangan Islam langsung dari tanah Arab.

Pendapat yang lain pula menyebut datang dari India, terutama dari Malabar dan Gujerat.

Syeikh Ahmad al-Fathani dalam Hadiqah al-Azhar wa ar-Rayahin menyebut ia juga diperanani oleh bangsa Arab-Andalus. Ada juga pendapat yang menyebut dari negeri China. Semua pendapat saya tinggalkan saja, yang dibicarakan di sini ialah bahawa daripada sekian ramai penyebar Islam yang datang di Aceh itu ialah Syeikh Abdullah Arif dan yang di Kedah pula Syeikh Abdullah al-Qumairi.

Kedua-dua ulama yang tersebut hidup sezaman dengan seorang Wali Allah yang sangat terkenal, ialah Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Tokoh-tokoh Islam yang datang di dunia Melayu sebahagian besar adalah diperanani oleh ulama sufi. Sebagai bukti bahawa mereka lebih mengutamakan tasawuf sekurang-kurangnya dapat dibuktikan dengan sebuah karya tulis judul Bahr al-Lahut yang dikarang oleh Syeikh Abdullah Arif.

Hingga abad yang ke-16, ajaran tasawuf masih mendominasi seluruh aspek dalam pendidikan Islam, persuratan, dan kehidupan masyarakat Melayu terutama di Aceh. Pada abad ke-16 hingga 17, hampir seluruh karya Syeikh Hamzah al-Fansuri adalah tentang tasawuf belaka. Bahkan kesan kekukuhan ajaran tasawuf masih dapat dirasakan hingga pada zaman ini.

Syeikh Abdullah Arif adalah seorang pendatang dari bumi Arab ke Aceh bersama sekian ramai mubaligh lainnya. Ada orang meriwayatkan bahawa di antara sahabat Syeikh Abdullah Arif ialah Syeikh Ismail Zaffi. Barangkali Syeikh Abdullah Arif ada hubungan atau pernah berkenalan atau pun menjadi murid seorang Wali Allah yang terkenal iaitu Syeikh Abdul Qadir al-Jilani (lahir 471 H/1079 M, wafat 561 H/1166 M).

Syeikh Abdul Qadir al-Jilani juga pernah sampai di Aceh, demikian menurut H.M. Zainuddin dalam buku Aceh dan Nusantara. Memperhatikan tahun wafat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani 561 H/1166 M dengan salah satu pendapat yang menyebut bahawa Syeikh Abdullah Arif tiba di Aceh tahun 560 H/ 1165 M (setahun sebelum kewafatan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani), bererti dapat dipastikan sekurang-kurangnya kedua-dua ulama itu hidup sezaman.

Tersebut dalam sebuah majalah ilmiah yang diterbitkan di Mekah al-Mukarramah Zulhijjah 1356 H bersamaan Februari 1938 M, an-Nida' al-Islami, bahawa yang mula-mula penyebar agama Islam bangsa asing datang ke Sumatera ialah seorang dari Mekah iaitu Syeikh Abdullah Arif pada abad ke-13 Masihi.

 

Pedagang Mekah

Syeikh itu seorang pedagang di antara beberapa pedagang Mekah. Kedatangannya itu membawa pelbagai barangan yang dihasilkan di negeri Hijaz, seperti pelbagai jenis kurma, kulit kambing dan lain-lain. Syeikh Abdullah Arif itu membawa barang-barangnya turun di Sumatera Utara (Aceh), dia diterima oleh masyarakat di sana.

Disebabkan rasa tanggungjawab untuk menyebarkan Islam, dan sebab yang lain penduduk Aceh zaman itu sangat mesra bergaul dengan orang-orang Arab, termasuk Syeikh Abdullah Arif, maka mereka saling rasa terhutang budi. Oleh hal yang demikian, Syeikh Abdullah Arif dan orang-orang Arab yang lain, tertutup hati mereka untuk kembali ke negeri mereka atau pun merantau ke tempat yang lainnya.

Diriwayatkan pula bahawa Syeikh Abdullah Arif mula memberi pendidikan kepada masyarakat, ramai yang masuk Islam dan ramai pula muridnya. Murid-murid Syeikh Abdullah Arif menyebarkan Islam di pantai Barat pulau Sumatera, daerah Minangkabau.

Di antara murid beliau yang terkenal ialah Syeikh Burhanuddin. Syeikh Burhanuddin adalah yang pertama menyebarkan Islam di Sumatera Barat (Minangkabau). Kuburnya dijumpai di Kuntu di tepi Sungai Kampar Kiri (tahun wafat 610 H/1214 M). Syeikh Burhanuddin murid Syeikh Abdullah Arif ini lain dari Syeikh Burhanuddin Ulakkan murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.

Dalam buku prosiding Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, mencatatkan tahun kedatangan Syeikh Abdullah Arif itu, dinyatakan bahwa menurut hikayat yang bersumber kita sendiri seorang pengembang Arab bernama Syeikh Abdullah Arif sudah memulai pengembangan itu pada tahun Masihi 1177.

Dalam an-Nida’ al-Islami pula pula menyebut tahun 1170 M, berdasarkan penyelidikan seorang sarjana Jerman. Penyelidikan yang terkini ada pendapat lain tentang ketibaan Syeikh Abdullah Arif di Aceh, ialah tahun 506 H/1111 M dan tahun 560 H/1165 M. Tentang kubur Syeikh Abdullah Arif, H.M. Zainuddin menulis, bahawa “ada lagi satu kompleks kuburan yang bernama Jeurut Kling (Kuburan Keling). Di antara kuburan itu oleh seorang perempuan tua yang menyebut kubur Keling itu, namanya didengar dari orang-orang yang melepaskan nazar dulu disebut Abdullah Arif.”

Timur Sumatera

Di negeri-negeri di pantai timur pulau Sumatera pula Syeikh Abdullah Arif tidak mengirim murid-muridnya, kerana ketika itu telah ada seorang bernama Johan Syah yang diutus oleh Sultan Aceh sendiri. Setelah memeluk agama Islam, Johan Syah menukar namanya kepada Ali Mandayat.

Beliau mendapat pendidikan Islam di India. Ali Mandayat menerima rintangan yang banyak dari penduduk yang belum beragama dan ada juga yang beragama Hindu. Oleh itu beliau terpaksa menyebarkan Islam dengan jalan berpindah-randah dari satu kampung ke kampung. Ali Mandayat berhasil mengirim utusan belajar ke Mekah al-Mukarramah.

Akhirnya Raja Mekah mengirim Syeikh Ismail ke Sumatera di bahagian pantai timur itu. Dalam waktu yang relatif singkat dan cepat, hanya sekitar 50 tahun sesudah aktiviti Ali Mandayat itu, agama Islam tersebar hampir ke seluruh pulau Sumatera.

Syeikh Abdullah Arif barangkali termasuk salah seorang penulis berbagai-bagai kitab tentang sufi, tetapi yang baru diketahui hanya sebuah, iaitu karyanya yang berjudul Bahr al-Lahut. Kitab Bahr al-Lahut ditulis dengan bahasa Arab. Hanya sebuah naskhah atau manuskrip dalam bahasa Arab dijumpai manakala naskhah atau manuskrip yang diterjemah ke bahasa Melayu terdapat beberapa buah.

Naskhah bahasa Arab pernah dimiliki oleh Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Berdasarkan tahun kedatangan Syeikh Abdullah Arif di dunia Melayu dapat disimpulkan bahawa Bahr al-Lahut adalah risalah yang pertama sekali ditulis di rantau ini.

Nur Muhammad

Manuskrip dalam bahasa Arab adalah salinan yang diusahakan oleh Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Secara umum kandungan Bahr al-Lahut adalah membicarakan akidah, tasawuf dan kejadian alam semesta. Dimulakan dengan kisah kejadian Nur Muhammad, dilanjutkan dengan kejadian alam semesta, tujuh petala langit, tujuh petala bumi, alam yang nyata dan alam yang ghaib.

Allah mengangkat darjat Nabi Muhammad s.a.w. pada sisi keagungan-Nya. Nabi Muhammad s.a.w. adalah makhluk Allah yang paling tinggi kedudukannya berbanding semua makhluk yang dijadikan oleh Allah s.w.t.. Nabi Muhammad s.a.w. adalah Nabi yang awal pada kejadian Nur dan Nabi yang akhir pada kejadian sebagai utusan Allah di permukaan bumi.

Tiada Nabi yang lain sesudah Nabi Muhammad s.a.w. Allah menjadikan itu sekeliannya daripada Nur al-Wilayah dan Nur an-Nubuwah. Bahawa Nur al-Wilayah dan Nur an-Nubuwah itu adalah sifat Nabi Muhammad s.a.w.. Nur al-Wilayah itu tempatnya pada batin (tersembunyi) sedang Nur an-Nubuwah itu tempatnya pada zahir (nyata).

Sesungguhnya ada lagi yang dinamakan jauhar. Bahawa jauhar yang pertama dinamakan Alam al-Kabir (Alam Besar). Selain itu Allah menjadikan sekalian rangkaian susunan kejadian kosmos yang dinamakan Arasy, Kursi, Lauh al-Mahfuz, kalam, Samawat (Langit), al-Ardh (Bumi), an-Nujum (bintang-bintang), syurga dan neraka berserta sekelian penghuni dan isinya.

Segala kejadian itu adalah ajaib belaka. Ada pun bumi dihuni oleh sekalian bangsa manusia, haiwan, jin dan syaitan. Dari semua nama yang disebutkan itu, mulai Arasy dan seterusnya hanya bumi saja paling banyak digunakan manusia, kerana bumi adalah tempat kediaman mereka.

Walaupun ada usaha-usaha manusia mengharungi angkasa luar hingga berusaha melakukan penyelidikan ke bulan dan planet-planet lainnya, namun pencapaian yang dapat dijangkau oleh kebanyakan manusia hanyalah dalam bumi juga.

Manusia diberi akal oleh Allah s.w.t. untuk mencapai segala-galanya, dengan tidak menafikan kemampuan tentang dunia, namun pada hakikatnya pengetahuan manusia tentang keseluruhan yang ada pada bumi sendiri pun tidak akan habis-habisnya untuk diselidiki dan digarap untuk kepentingan manusia.

Pegangan akidah

Pegangan akidah Syeikh Abdullah Arif adalah sama dengan pegangan ulama-ulama Ahli Sunah wal Jamaah yang muktabar, tentang tiada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah s.w.t. Lalu beliau memetik pendapat yang beliau namakan ahlus sirri (maksudnya orang-orang yang dapat mengetahui perkara-perkara rahsia hakikat). Menurut Syeikh Abdullah Arif ahlus sirri berkata: “Ada pun Allah s.w.t itu melihat pada jauh dan melihat pada hampir sekeliannya.”

Pengertian Syeikh Abdullah Arif tentang syahadat pula beliau huraikan sebagai berikut: “Berkata ahli al-musyahadah, adapun tempat syahadat itu, bahawa melihat ia bagi dirinya, maka tiada dapat tiada segala orang yang Mukmin dipandang yang demikian itu, maka sahlah pandangannya seperti Allah dan Rasul-Nya.” Yakni diumpamakan seperti orang melihat sehari bulan dan melihat purnama bulan dengan penuhnya.

Maka telah berkata orang ahlul isyarah: “Ada pun sehari bulan itulah hendak menjadikan purnama bulan adanya.”

Selanjutnya dihuraikan pula tentang Islam, kata beliau, “ketahui olehmu bahawa Islam dan kamal al-Islam (kesempurnaan Islam) itu adalah dikukuhkan daripada kalimah syahadah.” Ada pun kamal al-Islam itu, maka memandang yang sebenar-benarnya, tulus dan ikhlasnya, iaitu mukmin dengan sebenar-benarnya kerana penglihatan itu seperti sabda Nabi s.a.w., Barang siapa berfikir dengan sekejap mata sekalipun, kerana memikirkan Allah Taala, maka terlebih baik daripada berbuat ibadat 1,000 tahun lamanya.

Syeikh Abdullah Arif membahas selanjutnya, Maka telah berkata orang ahl al-Muqabalah, “Jadikan dirimu dengan perintah tuhanmu dengan sempurna adamu dengan Qudrat tuhanmu. Maka dijadikan diri kamu itu sebagai tempat kenyataan kenal kepada tuhanmu.”

Untuk menguatkan pegangan Syeikh Abdullah Arif menggunakan dalil firman Allah, Tiap-tiap sesuatu itu binasa jua, melainkan yang tiada binasa hanya Allah, bagi-Nya kekuasaan menentukan hukum, dan kepada-Nya kamu dikembalikan. (Al-Qasas: 88)

* Untuk maklumat lanjut mengenai ulama nusantara, sila e-mel pertanyaan ke alamat: pengkaji_khazanah@yahoo.com atau hubungi talian 03-6189 7231.



SUMBER:

Wednesday, 19 September 2012

Haji Muhammad Sa’id Arsyad tokoh litografi Melayu-Islam



 
Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

 

SALAH satu cabang khazanah kewarisan Melayu-Islam yang dilupakan orang ialah cetakan-cetakan sastera klasik yang ditulis dalam bentuk hikayat dan syair. Lebih 100 tahun yang lalu sekurang-kurangnya terdapat tiga tokoh yang paling banyak mencetak hikayat dan syair Melayu-Islam yang menggunakan huruf litografi (huruf batu) yang berpusat di Singapura. Ketiga-tiga tokoh itu ialah Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, Haji Muhammad Amin bin Abdullah dan Haji Muhammad Idris bin Yahya.

Yang dibicarakan dalam artikel ini ialah tentang aktiviti Haji Muhammad Sa’id saja, manakala dua lagi akan dibicarakan dalam kesempatan yang lain. Sebelum riwayat ulama dan tokoh ini saya teruskan, terlebih dulu saya peringatkan bahawa beliau yang dibicarakan dalam artikel ini adalah lain dari Haji Muhammad bin Muhammad Sa’id (Datuk Laksamana) yang dimuat dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia, 9 Oktober 2006.

Setahu saya ulama dan tokoh ini belum pernah diperkenalkan oleh sesiapa pun, kecuali hanya tarikh meninggal dunia saja yang pernah disebut oleh Muhammad Yasin bin Abbas Langkat dalam Syair Cermin Islam yang selesai ditulis di Kampung Babus Salam, Langkat pada 1 Jamadilawal 1345 H. Berdasarkan tulisan tersebut dinyatakan bahawa Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad meninggal dunia di Singapura, lepas zuhur, pukul 1.30 tengah hari Sabtu, 4 Zulkaedah 1342 H/6 Jun 1924 M ketika berusia 90 tahun.

Perkara yang sama juga disebut pada halaman terakhir Syair Dandan Setia Intan Terpilih, jilid ke-2, cetakan 3 Syaaban 1344 H. Dengan demikian diduga beliau lahir dalam tahun 1252 H. Berdasarkan maklumat pada muka depan Kitab Hadits Arba'in yang dihimpun oleh anak beliau ada dinyatakan bahawa Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad berasal dari Kauman, Semarang, Jawa Tengah.

Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad mendapat pendidikan di beberapa pondok-pesantren di sekitar Semarang, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada zamannya. Ulama Semarang yang paling terkenal pada zaman itu ialah Kiai Haji Syeikh Muhammad Shalih Darat Semarang. Ulama Semarang tersebut lahir di Kedung Cemlung, Jepara, 1235 H/1820 M, wafat hari Jumaat, di Semarang, 29 Ramadan 1321 H/18 Disember 1903 M. Dipercayai Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad juga pernah belajar dengan Kiai Haji Khalil al-Maduri (lahir 11 Jamadilakhir 1235 H/27 Januari 1820 M, wafat 29 Ramadan 1341 H/14 Mei 1923 M. Riwayat lain menyebut wafat 29 Ramadan 1343 H/22 April 1925 M). Selain kedua-dua ulama yang tersebut beliau juga pernah belajar di Mekah.

Oleh sebab beliau memahami keadaan dalam ilmu ekonomi dan perkembangan zaman, bahawa Singapura pada ketika itu mula menuju ke arah sebuah pelabuhan dan bandar yang maju dan pesat, maka beliau pindah ke Singapura.

CETAKAN

Cetakan litografi (huruf batu) berdasarkan beberapa hikayat dan syair yang ada dalam koleksi saya. Antara yang paling awal dicetak di Mathba'ah Haji Muhammad Sa'id bin Haji Arsyad Singapura ialah dalam tahun 1333 H/1915 M. Sebagai contoh beberapa maklumat yang dapat diketahui dari Kitab Hadits Arba'in’yang dihimpunkan oleh anak beliau bernama Muhammad bin Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad Singapura, pada kulit depan tertulis, Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad nombor 82 dan nombor 124 Kampung Sailon Arab Street, Tukang Cap dan Penjual Serba Jenis Kitab Arab, Melayu dan Jawa Daripada Thaba’ Mekah, Setambul, Mesir, Bombay dan lainnya.

Maka siapa yang berhajat mengecap apa-apa kitab atau azimat atau lainnya sama ada cap batu atau timah atau azimat bolehlah datang ke kedai yang tersebut di atas ini atau berkirim surat supaya kita menjawabnya dengan harga yang patut. Pada halaman belakang tertulis, “Telah sempurna daripada mengecap Hadits Arba’’n di Mathba' Tuan Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad nombor 82 Arab Street Singapura bertarikh 5 Hijrah an-Nabi s.a.w Rabiulawal 1333.” (5 Rabiulawal 1333 H /19 Februari 1915 M, pen:).

Pada halaman belakang risalah Solawat al-Kubra tertulis, ‘Tercap di Tempat Cap Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, Kampung Selong, Arab Street, Rumah nombor 82, 30 Syaaban 1333.’ (30 Syaaban 1333 H /12 Julai 1915 M). Kedua-dua cetakan yang disebutkan ini adalah sama-sama dalam tahun 1333 H/1915 M. Solawat al-Kubra kemungkinan adalah terjemahan Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad sendiri dan merupakan pertama kali diperkenalkan dalam bahasa Melayu. Ada pun Kitab Hadits Arba’in karya anak beliau, iaitu Haji Muhammad bin Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad. Dari maklumat ini dapat diambil kesimpulan bahawa kedua-dua beranak yang berasal dari Kauman, Semarang, Jawa Tengah yang tersebut adalah ulama.

Sepuluh tahun kemudian kemungkinan percetakan tersebut berpindah alamat, mengenai ini dapat disimpulkan dari kalimat dalam Syair Dandan Setia Intan Terpilih, pada akhir tertulis, “Telah selesai daripada mengecap Syair Dandan Setia kepada 3 Syaaban 1344 H (3 Syaaban 1344 H/15 Februari 1926 M, pen:) di dalam negeri Singapura, Kampung Gelam di Lorong Mesjid...”

Dari cetakan di atas, terdapat dua perkataan yang maksudnya mungkin sama tetapi berbeza tulisannya. Yang pertama tertulis ‘Sailon’ yang satu lagi ‘Selong’ mungkin maksudnya ialah Ceylon. Kemungkinan dulunya tempat itu didiami oleh ramai orang Melayu yang berasal dari Ceylon atau Sri Langka.

Kandungan

Sebagaimana diketahui oleh masyarakat Islam tentang kelebihan atau fadilat membaca selawat, demikianlah kandungan Solawat al-Kubra yang menceritakan tentang perkara yang tersebut itu. Mulai halaman depan sekali dinyatakan, “Inilah Solawat al-Kubra yang terlalu besar faedahnya serta dengan syarahnya bahasa Melayu. Baharu dicap sekali.”

Pada bahagian bawah sekali dinyatakan pula “Baik disimpan ini solawat.” Selanjutnya pada halaman ketiga, pembuka hikayat diceritakan sebagai berikut, Ini satu ceritera daripada Abdullah ibnu Abbas r.a, ia berkata, Adalah Nabi S.A.W duduk di dalam Masjid Madinah tiba-tiba datang Jibril kepada Nabi kita Muhammad s.a.w, maka ia berkata: “Ya Muhammad, bermula Tuhan engkau memberi salam akan dikau, dan Dia menentu akan dikau dengan satu haluan yang kemuliaan.” Berkata Malaikat Jibril selanjutnya: “Bahawasanya aku ini sesungguhnya datang akan dikau dengan membawa hadiah daripada Allah s.w.t. Tiada Dia menghadiah akan hadiah ini seseorang yang dahulu daripada engkau hai Muhammad ...” Yang dimaksudkan dengan hadiah itu ialah Solawat al-Kubra.

Selanjutnya Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad menyebut pelbagai fadilat selawat tersebut secara mendalam.

Ada pun mengenai kandungan Kitab Hadits Arba’in karya anak beliau, Haji Muhammad bin Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad pula ialah membicarakan 40 hadis menurut pilihannya sendiri. Hadis yang pertama, yang ditulis sesudah puji-pujian terjemahan Haji Muhammad bin Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad ialah: “Sabda Nabi s.a.w: Barangsiapa membaca dengan menghafalkan 40 hadis daripada ummatku, dinamai akan dia oleh Allah pada langit akan wali dan pada bumi dinamai ahli fiqh. Dan dihimpunkan akan dia serta orang yang soleh. Yang tiada takut atas mereka itu dan tiada mereka itu dukacita.”

*Dalam Kitab Hadits Arba’in, Haji Muhammad bin Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad tersebut juga sekurang-kurang ada tiga hadis membicarakan tentang kemasyarakatan, sebagaimana diterjemahkan oleh penyusunnya

Sabda Nabi s.a.w: Barang siapa menyampaikan hajat saudaranya yang Islam, nescaya disampaikan oleh Allah baginya 70 hajat di dalam dunia dan akhirat.

Hadis yang lain pula, “Sabda Nabi s.a.w: Barang siapa memuliakan orang yang dijamu, maka sesungguhnya ia memuliakan aku. Barang siapa memuliakan orang yang dagang, maka sesungguhnya memuliakan 70 Nabi yang menjadi Rasul.” (Kitab Hadits Arba’in, hlm. 6).

 

Syair wafat

Walau pun Syair Dandan Setia Intan Terpilih bukan berasal dari kisah dalam agama Islam, namun apabila kita teliti hanya sebuah judul ini saja yang ditangani oleh Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad. Pada cetakan dinyatakan sebagai berikut, ‘Adalah yang empunya kerja ini Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad’.

Saya berkesimpulan bahawa Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, selain pemilik percetakan itu sekali gus beliau sebagai penterjemah awal Syair Dandan Setia ke dalam bahasa Melayu. Syair tersebut hingga sekarang tidak diketahui nama pengarangnya. Pada akhir syair terdapat tambahan, kemungkinan disyairkan oleh anak beliau bernama Muhammad.

Syair tambahan itu ialah tentang tarikh wafat Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad. Syair wafat Haji Muhammad Sa‘id bin Haji Arsyad dalam Dandan Setia kemungkinan kemudian dari syair yang sama yang terdapat dalam Syair Cermin Islam karya Muhammad Yasin bin Abbas murid Syeikh Abdul Wahhab al-Khalidi Babus Salam, Langkat.

Petikan syair dalam Syair Cermin Islam, cetakan yang ketujuh, di Tempat Cap Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, No. 82 Arab Street, Kampung Geylang, Singapura, 9 Zulhijjah 1345 H sebagai berikut:

“Syair Cermin Islam khatamlah ia,

di Mathba’ Haji Muhammad Sa'’d yang bahagia Al-Marhum telah meninggal dunia,

pada 4 Zulkaedah bulan yang mulia Lepas zuhur,

Sabtu harinya,

jam satu setengah,

1342 hijrahnya Enam Jun 1924, tahunnya,

sembilan puluh tahun umurnya.”

Dalam Syair Dandan Setia pula tertulis,

“Khatamlah Syair Dandan Setia,

di Mathba'’ Haji Muhammad Sa'’id yang bahagia Al-Marhum telah meninggal dunia,

pada empat Zulkaedah bulan yang mulia Lepas zuhur,

Sabtu harinya,

jam satu setengah,

1342 hijrahnya Enam Jun 1924,]

tahunnya,

sembilan puluh tahun umurnya.”



Monday, 17 September 2012

Syeikh Jalaluddin Al-Asyi kesinambungan aktiviti ulama Aceh



Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah

 

KHUSUS tentang artikel hari ini, saya mulai daripada sebuah manuskrip salinan Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu pada 8 Zulhijjah 1413 H/9 Jun 1992 M di Kampung Pusin, Jala.

Haji Mahmud mencatat bahawa As-Syeikh al-‘Alim al-Allamah al-Faqih Jalaluddin walid (ayah) al-‘Allamah asy-Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.

Tarikh 14 Safar 1413 H/13 Ogos 1992 M, ketika saya diberi kepercayaan meneliti manuskrip nadir dan mengkatalogkan khazanah di Muzium Islam Pusat Islam, terjumpa pula beberapa manuskrip karya beliau.

Ternyata nama ayah beliau yang tertulis pada kitab Jam’u Jawami’ al-Mushannafat telah keliru cetak. Pada manuskrip karya beliau yang berjudul Hujjat al-Balighah, tertulis nama lengkapnya iaitu Faqih Jalaluddin ibnu asy-Syeikh Kamaluddin ibnu al-Qadhi Baginda Khathib at-Tarun Pasir.

Yang berbeza ialah nama Jalaluddin (pada Jam’u Jawami' al-Mushannafat) dan Kamaluddin (pada Hujjah al-Balighah). Kegiatan pendidikan Islam, dakwah dan penulisan kitab yang pernah dilakukan oleh Syeikh Faqih Jalaluddin disambung oleh anak beliau Syeikh Muhammad Zain yang mempunyai banyak karangan di antaranya Bidayatul Hidayah.

Masih ditahap penelitian, kemungkinan Syeikh Sirajuddin juga anak Syeikh Faqih Jalaluddin. Informasi pada mukadimah ini saya simpulkan bahawa sama ada Faqih Jalaluddin sendiri mahu pun anak beliau Syeikh Muhammad Zain, juga Syeikh Sirajuddin adalah sama-sama penting dan perlu pengemaskinian pendokumentasian tentang mereka.

PENDIDIKAN

Dipercayai ayah beliau ialah Syeikh Kamaluddin dan datuk Qadhi Baginda Khathib at-Tarun Pasir, kedua-duanya adalah ulama besar, terkenal dan berpengaruh di Aceh pada zamannya. Oleh itu Faqih Jalaluddin menerima pengajian Islam tradisional daripada kedua-duanya.

Bagaimanapun dipercayai bahawa beliau juga belajar dengan beberapa orang ulama terkenal di Aceh yang lainnya. Dalam sebuah kitabnya ada dicatatkan bahawa beliau menerima Tarekat Syathariyah dan Tarekat Qadiriyah daripada gurunya Arif Billah Baba Daud bin Ismail al-Jawi bin Agha Mustafa ar-Rumi.

Beliau ini adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Baba Daud bin Ismail al-Jawi inilah orang pertama menyalin tafsir al-Quran yang ditulis oleh gurunya itu, dan beliau pula yang menyelesaikan tafsir itu sehingga menjadi lebih lengkap dan lebih sempurna.

Memerhatikan sangat rapat dan mesranya hubungan antara Syeikh Faqih Jalaluddin dengan gurunya, Baba Daud al-Jawi itu, sedangkan Baba Daud al-Jawi pula adalah murid kepercayaan Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, maka diyakini bahawa Syeikh Faqih Jalaluddin sempat pula menerima ilmu-ilmu dari Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri secara langsung.

 

KARYA DAN PEMIKIRAN

Kemudian Faqih Jalaluddin melanjutkan pelajaran ke India dan Mekah. Oleh sebab Syeikh Faqih Jalaluddin seorang ulama besar Aceh pada zamannya, maka beliau dilantik sebagai Kadi Malikul Adil dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Maharaja Lela Ahmad Syah (1139 H/1727 M - 1147 H/1735 M) juga pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Johan Syah (1147 H/1735 M -1174 H/1760 M).

Aktiviti Faqih Jalaluddin selain sebagai menjadi pengarang beberapa buah kitab, dipercayai juga merupakan seorang ulama yang berpengaruh di istana kesultanan Aceh. Selain itu Sultan Aceh, iaitu Sultan Alauddin Ahmad Syah sentiasa merujuk sesuatu perkara kepada beliau. Mungkin sultan yang tersebut, bahkan termasuk keluarga istana adalah murid Faqih Jalaluddin itu.

Karya Faqih Jalaluddin yang pertama diberi judul Hidayah al-Awam Pada Menyatakan Perintah Agama Islam. Kitab ini adalah tentang fiqh yang ringkas. Pada mukadimah Hidayah al-Awam, Syeikh Faqih Jalaluddin bahawa,"... pada hijrah Nabi seribu seratus empat puluh, pada lima hari bulan Muharam (5 Muharam 1140 H/23 Ogos 1727 M, pen:) zaman Paduka Seri Sultan, yang besar kerajaannya, lagi yang maha tinggi darjatnya, iaitu Sultan Alauddin Ahmad Syah Johan berdaulat Zhillullah fi al-Alam, adamullahu daulatahu, Amin, maka tatkala itu meminta kepada faqir yang hina Khadim al-Ulama (yang berkhidmat pada ulama), Haji Jalaluddin... oleh seorang sahabat raja itu, yang takut akan Allah Taala, bahawaku suratkan baginya suatu risalah yang simpan (maksudnya: risalah yang ringkas, pen:). Maka aku namai akan dia Hidayah al-‘Awam ...”

Selain ilmu fiqh yang ringkas Faqih Jalaluddin al-Asyi juga menulis ilmu fiqh yang tebal dan lengkap yang diberi judul Safinat al-Hukkam fi Talkhish al-Khisham, dimulakan penulisannya bulan Muharam, hari Jumaat 1153 H/1740 M. Kitab ini dikarang atas perintah Sultan Alauddin Johan Syah. Barangkali kitab inilah yang terbesar di antara karyanya.

Naskhah masih berupa tulisan tangan. Kandungannya fiqh menurut Mazhab Syafi'ie, membicarakan istilah-istilah, peringatan untuk golongan hakim yang zalim dan beberapa kaedah, semuanya tersebut pada mukadimah.

Termasuk dalam kategori ilmu fiqh juga ialah karya beliau judul Hujjah al-Balighah ‘ala Jama’ah al-Mukhasamah. Pada mukadimah Faqih Jalaluddin menulis: “Ada pun kemudian dari itu, maka tatkala Hijrah Nabi s.a.w seratus lima puluh delapan tahun, kemudian daripada seribu pada empat hari bulan Muharam, waktu Dhuha, hari Sabtu (4 Muharam 1158 H/1745 M) zaman Saiyidina wa Maulana Paduka Seri Sultanah Alauddin Jauhar Syah, Syah Berdaulat Zhillullah fi al-Alam, telah meminta kepadaku setengah daripada kekasihku, salah seorang daripada pengawal sultan yang tersebut itu, bahawa ku suratkan baginya risalah yang simpan pada menyatakan dakwa, dan baiyinah, dan barang yang bergantung dengan keduanya. Ku perkenankan pintanya, dan ku suratkan baginya risalah ini ...”

Pada penghabisan kitab beliau mencatat, Tamat al-kitab Hujjah al-Balighah ‘ala Jama'ah al-Mukhasamah karangan faqir yang hina Faqih Jalaluddin ibnu asy-Syeikh Kamaluddin ibnu al-Qadhi Baginda Khathib at-Tarun Pasir... pada 27 Rabiulakhir, waktu Dhuha pada zaman Alauddin Jauhar Syah, pada hijrah seribu seratus lima puluh delapan tahun... (27 Rabiulakhir 1158 H/1745 M).

Karya Faqih Jalaluddin al-Asyi dalam bidang tasawuf pula sekurang-kurangnya terdapat dua judul ialah Manzhar al-Ajla ila Martabah al-A’la. Salah sebuah salinan manuskrip diselenggarakan oleh Tuan Guru Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu, selesai penyalinan pada tahun 1273 H/1856 M. Kitab Manzhar al-Ajla ..., Faqih Jalaluddin Aceh tersebut diselesaikan pada tahun 1152 H/1739 M. Beliau nyatakan bahawa beliau dititah oleh Sultan Alauddin Johan Syah ibnu as-Sultan al-Marhum Ahmad Syah.

 

Karya tasawuf

Karya tasawuf judul yang lain pula ialah Asrar as-Suluk ila Malail Muluk. Dalam naskhah tidak tersebut nama pengarang tetapi dapat dipastikan sebagai karya Faqih Jalaluddin al-Asyi adalah berdasarkan salasilah pada kalimat, “... telah mengambil zikir, dan talkin, dan khirqah, dan khalifah, fakir yang mengarang risalah ini daripada syeikhnya yang ahli az-zauq, lagi Arif Billah, iaitu Syeikh Daud ibnu Ismail qaddasallahu sirrahu, dan ia mengambil dari (Syeikh) Abdur Rauf ...”

Bererti pengarang adalah murid Baba Daud ibnu Ismail ar-Rumi, bahawa perkara ini juga disebut oleh Faqih Jalaluddin bin al-Asyi dalam karyanya Manzar al-Ajla ...

Kandungan keseluruhannya membicarakan tasawuf peringkat tinggi dan berbagai-bagai tarekat. Disebutkan bahawa asal tarekat dalam dunia ada empat belas, semua nama tarekat disebutkan secara terperinci.

Dari kelima-lima karya Faqih Jalaluddin al-Asyi yang dijumpai dapat diketahui dengan jelas bahawa beliau mengarang adalah atas permintaan daripada sultan.

Dari maklumat ini dapat kita ambil kira bahawa buah fikiran beliau sebagai seorang ulama besar pada zamannya sangat diperlukan oleh pihak kerajaan. Pada bahagian mukadimah kitab Hujjah al-Balighah, Syeikh Jalaluddin al-Asyi menampakkan dirinya sebagai seorang ulama yang tegas, bahawa undang-undang kadi menurut ajaran Islam mesti dilaksanakan.

Hujjah al-Balighah beliau ertikan dengan “kata yang tiada berlawan.” Untuk melaksanakan perkataan yang tidak boleh dilawan itu beliau mentertibkannya atas tiga bahagian, iaitu:

1. Pada menyatakan kadi dan barang yang bergantung dengannya.

2. Pada menyatakan dakwa dan baiyinah dan barang yang bergantung dengannya.

3. Pada menyatakan saksi dan sumpah dan barang yang bergantung dengannya.

Faqih Jalaluddin menafsirkan hadis Nabi s.a.w. yang maksudnya bahawa kadi itu tiga perkara, dua perkara isi neraka dan satu perkara isi syurga.

Kata beliau: “Maka dua perkara isi neraka itu iaitu; Pertama kadi yang jahil, tiada baginya ilmu, jikalau mufakat hukumnya itu dengan kebenaran sekali pun tiada jua sah hukumnya itu dengan sebab meninggalkan daripada belajarnya ...” Mengenai perkara ini beliau kemukakan dua hadis Nabi s.a.w. sebagai dalilnya.

Satu diantaranya, menurut beliau lafaz di bawah ini adalah hadis, iaitu: “Barangsiapa tiada guru baginya maka syaitanlah gurunya.” Sabda Nabi itu beliau tafsirkan, barangsiapa ada gurunya itu syaitan, maka tiada lagi syak akan dia isi neraka.

Kadi jenis yang kedua, menurut Faqih Jalaluddin al-Asyi, ialah: “Yang alim, yang ia tiada menghukum seperti yang dalam ilmunya ... “Kadi golongan yang ketiga ialah: “Yang alim, yang ia menghukum seperti hukum yang dalam ilmunya.”

Setelah itu, Faqih Jalaluddin al-Asyi memberikan peringatan, katanya, “Ingat-ingat kiranya yang memberi fatwa, maka adalah bahaya yang besar pada memberi fatwa itu belum lagi tahqiq sesuatu masalah daripada hadis, dan dalil, atau daripada kitab segala ulama. Maka janganlah difatwakan sekali-kali akan dia ...”

KETURUNAN DAN KESIMPULAN

Keturunan Faqih Jalaluddin yang lengkap masih dalam penyelidikan. Apa yang pasti anak beliau yang menjadi ulama besar dan menghasilkan beberapa karangan ialah Syeikh Muhammad Zain al-Asyi. Keturunan Syeikh Muhammad Zain al-Asyi selanjutnya belum dapat maklumatnya.

Ada lagi seorang ulama Aceh, Sirajuddin bin Jalaluddin al-Asyi, belum jelas apakah beliau juga adalah anak Faqih Jalaluddin bin Kamaluddin al-Asyi yang diriwayatkan ini. Hanya dua karangan Syeikh Sirajuddin bin Jalaluddin al-Asyi yang dijumpai, masih dalam berupa manuskrip.

Sebuah koleksi yang tersimpan di Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia, nombor kelasnya MS 1530, belum diketahui judul, kerana pengarangnya Syeikh Sirajuddin bin Jalaluddin al-Asyi tidak menyebut tentang itu.

Untuk maklumat lanjut mengenai ulama nusantara, sila e-mel pertanyaan ke alamat: pengkaji_

khazanah@yahoo.com atau hubungi talian 03-6189 7231.



SUMBER:

Saturday, 15 September 2012

Haji Wan Muhammad Mufti Sultan Perak Darul Ridzuan



Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah

 

ADA perkara yang aneh, bahawa ada tiga gambar yang serupa. Sebuah gambar walaupun agak serupa tetapi dapat dipastikan ialah gambar "Haji Abdur Rahman Hamid, Imam Maharaja Kerajaan Sambas".

Dua buah lagi, yang sangat serupa, sebuah saya peroleh daripada Ustaz Mat Atas Beris, Besut, Terengganu. Beliau menyatakan ialah gambar "Haji Wan Muhammad, Mufti Perak". Setelah gambar tersebut saya sebarkan, ada beberapa orang memberi maklumat bahawa gambar yang disebarkan itu ialah gambar "Haji Abdullah bin Musa, Mufti dan Hakim Besar Johor".

Sebelum membahas perkara tersebut terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih kepada pemberi maklumat Mohd. Rosli bin Hairan@Ikhwan yang telah bersusah payah membuat penyelidikan di Johor. Selanjutnya dipaparkan dalam suratnya pada 8 Oktober 2006 yang dilengkapi dengan pelbagai lampiran.

Gambar yang dipertikaikan

Sebelum saya meriwayatkan hal-hal yang lain tentang Haji Wan Muhammad, perkara gambar adalah perlu dibicarakan terlebih dulu. Riwayat Haji Wan Muhammad sudah lama berada dalam simpanan saya tetapi yang paling lengkap saya peroleh daripada salah seorang anak beliau di Perak pada 5-6 November lalu.

Seperti yang telah saya sebutkan di atas, gambar Haji Wan Muhammad, Mufti Perak (dimuat dalam artikel ini), saya peroleh daripada Ustaz Mat Atas Beris, Besut, Terengganu. Beliau mendapat keterangan bahawa gambar tersebut adalah Haji Wan Muhammad, Mufti Perak daripada salah seorang anak saudara sepupu Mufti Perak itu.

Mohd. Rosli bin Hairan @ Ikhwan (Johor) mengirimkan kepada saya gambar yang betul-betul serupa, yang pernah dijadikan ilustrasi atau hiasan kulit majalah Pengasuh, bilangan 532, terbitan Ramadan-Zulkaedah 1414/Mac- April 1994, yang diterangkan pada halaman berikutnya: "Wajah al-Allamah Datuk Haji Abdullah bin Musa, Mufti Kerajaan Johor, berasal dari Pasir Pekan, Kelantan."

Selanjutnya Mohd. Rosli dalam surat menjelaskan: "... Pertamanya saya ingin memberi respons berkenaan gambar Hj. Wan Muhammad (Mufti Kerajaan Perak) dan Datuk Abdullah Musa (Mufti Kerajaan Johor Kedua). Selepas membuat beberapa rujukan dan penyelidikan di Jabatan Agama Negeri Johor (JAIJ) baru-baru ini, saya mendapati bahawa gambar Hj. Wan Muhammad itu sebenarnya ialah gambar Datuk Abdullah Musa. Beberapa catatan akhbar/buletin Warta Jabatan Agama Johor mendapati dan menyiarkan bahawa itulah gambar sebenar Datuk Abdullah Musa ..."

Saya berterima kasih dan menghargai jerih payah penyelidikan yang dilakukan oleh Mohd. Rosli, bagaimanapun sebagai seorang peneliti pelbagai maklumat, masih ada ruang yang perlu saya bahaskan.

Gambar Haji Wan Muhammad@Ahmad bin Haji Wan Husein al-Fathani, Mufti Perak, sebelum ini belum pernah dimuat dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia, tetapi adalah saya sebarkan melalui koleksi foto ulama, No. 366/PENGKAJI/1425/2004.

Riwayat Datuk Haji Abdullah bin Musa, Mufti dan Hakim Besar Kerajaan Johor pula telah dimuat dalam akhbar tersebut pada hari Isnin, 7 Mac 2005, tanpa foto beliau. Disebabkan terdapatnya foto yang serupa, telah diperoleh dua maklumat, yang satu pasti betul, yang satu lagi pasti salah, maka untuk menentukan yang mana betul dan yang mana salah perlulah penelitian dengan menggunakan pelbagai kaedah.

Saya telah menjejaki riwayat Datuk Haji Abdullah bin Musa sejak tahun 1976 selain menemui seseorang termasuk juga pergi ke pelbagai pejabat yang ada hubungan dengan itu, seperti Jabatan Agama, Jabatan Mufti, dan lain-lain, termasuk mendapatkan foto beliau, namun semuanya gagal.

Walaupun Mohd. Rosli menyebut bahawa beliau "... Selepas membuat beberapa rujukan dan penyelidikan di Jabatan Agama Negeri Johor (JAIJ) baru-baru ini, saya mendapati bahawa gambar foto Hj. Wan Muhammad itulah sebenarnya ialah foto Datuk Abdullah Musa. Beberapa catatan akhbar / bulletin Warta Jabatan Agama Johor mendapati dan menyiarkan bahawa itulah gambar sebenar Datuk Abdullah Musa ..." keterangan ini masih belum cukup kuat, masih perlu penyelidikan lanjut.

Perkara-perkara yang masih perlu diselidiki ialah: Pertama, perlu dipastikan bahawa sekiranya ada gambar Datuk Haji Abdullah bin Musa tersimpan di Jabatan Agama Negeri Johor, tahun berapakah gambar itu dimiliki. Apakah gambar itu diambil sewaktu beliau menjadi Mufti dan Hakim Besar Johor (menjadi Mufti Johor 1899 M - 1907 M). Kerana pada tahun beliau menjadi Mufti Johor sudah mencecah seratus tahun yang lalu, perlu pula diselidiki tentang kertas yang digunakan dan keterangan di bahagian bawah gambar itu sendiri.

Kedua, sekiranya kertas, jenis dakwat, warna, dan lain-lain tidak mencerminkan keklasikannya maka jelas merupakan gambar baru yang diambil dari majalah Pengasuh atau pun Warta Jabatan Agama Johor. Saya juga belum dapat maklumat Warta Jabatan Agama Johor, apakah lebih dulu atau kemudian dari majalah Pengasuh. Sepanjang saya mengikuti terbitan Warta Jabatan Agama Johor sejak tahun 1960an hingga 1990an saya tidak menemui gambar tersebut dimuat dalam majalah itu, kemungkinan ada yang tidak sampai ke tangan saya.

Ketiga, dari hal-hal yang tersebut di atas, sangat diperlukan keterlibatan pihak-pihak yang kemungkinan ada bukti-bukti yang jelas untuk mengesahkan perkara yang dibicarakan. Selain pihak peribadi, terutama keturunan kedua-dua mufti tersebut, kerja sama pihak Arkib Negara Malaysia, Arkib Negeri Johor, Arkib Negeri Perak, Jabatan Agama Johor, Jabatan Mufti Johor, Jabatan Agama Perak, Jabatan Mufti Perak, dan lain-lain sangat diperlukan. Kerana penyelidikan ilmu pengetahuan bukan kepunyaan peribadi seseorang tetapi adalah tanggungjawab semua pihak.

Yang saya bicarakan ini bukan bererti saya menyalahkan Mohd. Rosli, bahkan saya sangat menghargai, mudah-mudahan langkah beliau diikuti pula oleh orang lain untuk kerja-kerja penyelidikan tentang ulama kita dunia Melayu.

Asal usul

Selembar salasilah yang diusahakan oleh Zuhairi bin Habibah binti Haji Wan Muhammad, tahun 1990, dinyatakan bahawa asal usul datuk nenek Haji Wan Muhammad adalah daripada "perkahwinan Cik Siti Wan Kembang ibni Tengku Sulaiman dengan Saiyid Hakim bin Saiyid Husaini (bergelar Saiyid Kuning) dan memperoleh anak bernama Wan Abdul Wahid."

Bagaimana pun riwayat ini ada kelainan dengan beberapa versi sejarah Kelantan yang menyebut bahawa Cik Siti Wan Kembang adalah puteri Raja Ahmad yang memerintah Kelantan tahun 1548 M - 1580 M. Cik Siti Wan Kembang pula tidak mempunyai anak, kerana tidak pernah kahwin.

Sehelai surat tarikh 21 Januari 1996 yang ditujukan kepada Haji Wan Yas'on bin Haji Wan Yusof bin Haji Wan Muhammad dari salah seorang anak saudaranya (tanpa menyebut nama, hanya terdapat tandatangan saja) dinyatakan "Ayahda, Datuk Mufti namanya Haji Wan Muhammad bin Wan Husein, berasal dari Kampung Saring, Mukim Merbol, Pasir Putih, Kelantan."

Dari hasil wawancara dengan salah seorang cucu beliau di Bukit Chandan, Perak, pada 5 November 2006, dan pelbagai sumber sebelumnya bahawa nama lengkap beliau ialah Haji Wan Muhammad@Ahmad bin Haji Wan Husein bin Haji Wan Muhammad Nur Marbo al-Fathani. Kampung Marbo atau Merebo di Patani adalah asal usul datuk nenek beliau.

Kampung Marbol, Pasir Putih, Kelantan diberikan nama demikian setelah keluarga tersebut hijrah dari Marbo atau Merebo, Patani. Haji Wan Muhammad lahir tahun 1264 H/1848 M, riwayat lain menyebut tahun 1268 H/1852 M. Wafat di Bukit Chandan, Kuala Kangsar, Perak, hari Rabu, 11 Jumadil Akhir 1348 H/13 November 1929 M, riwayat lain menyebut pada 11 November 1929 M.

Dalam surat tarikh 21 Januari 1996 juga dicatatkan: "Ayahda, mengikut satu cerita saudara lelakinya bernama Wan Putih. Dia ada kakak (tidak tahu namanya), dan adiknya nama Wan Maryam menjadi isteri kepada Tuan Guru Haji Said, Kampung Lama, Besut, Terengganu datuk kepada Lathifah, Candan Kuala Kangsar."

Pendidikan

Norul Ashikin Abdullah dalam Harian Metro, Sabtu, 11 Ogos 2001, menulis bahawa Haji Wan Muhammad mendapat pendidikan awal daripada Tuan Hasan Besut (Syeikh Wan Hasan bin Wan Ishaq al-Fathani), Tuan Pangkalan Tangga (Wan Ismail bin Wan Ahmad al-Fathani) dan Saiyid Abdus Salam. Yang dimaksudkan dengan Wan Ismail bin Wan Ahmad al-Fathani, itulah ayah kepada ulama terkenal Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani penyusun kitab Mathla' al-Badrain.

Sebelum melanjutkan pelajarannya di Mekah, Wan Muhammad terlebih dulu memperdalam pengetahuannya di beberapa pondok di Patani. Dipercayai beliau belajar di Pondok Bendang Daya dan Pondok Pauh Bok, dan lain-lain. Guru-gurunya di Mekah sangat ramai termasuk kepada Syeikh Ahmad al-Fathani yang umurnya jauh lebih muda daripada beliau.

Mufti kerajaan Perak

Mengenai Mufti Kerajaan Perak yang pertama ada orang berpendapat adalah pada zaman pemerintahan Sultan Muzaffar Syah ke-III, muftinya ialah Daeng Selaili atau Pajung Luwuk Daeng Sedili. Beliau mempunyai beberapa gelaran ialah Haji Besar, Orang Kaya-Kaya Imam Paduka Tuan, dan Sri Maharajalela Pancung Tak Bertanya. Makamnya di tepi tebing sungai, Kampung Padang Changkat, Bukit Chandan, Kuala Kangsar.

Pendapat lain menyebut, Mufti Perak yang pertama ialah Haji Wan Muhammad yang diriwayatkan ini. Lama beliau menjadi Mufti Perak juga ada pertikaian pendapat. Ada yang menyebut tahun 1887 M - 1916 M, pendapat lain menyebut hingga tahun 1917 M, dan ada pula yang menyebut mulai tahun 1918 M hingga tahun 1925 M.

Sumber yang tidak dipertikaikan, dari cucu beliau bernama Haji Wan Yas'on bin Haji Wan Yusof bin Haji Wan Muhammad, tulisan pada tarikh 2 Ramadan 1416 H/2 Februari 1996 M, beliau mendengar dari ayahnya, bahawa Haji Wan Muhammad datang ke Perak pada masa pemerintahan Sultan Yusof Syarifuddin Muzaffar Syah (1886 M - 1887 M). Sultan Yusof dan selanjutnya pengganti baginda Sultan Idris Mursyidul A'zam Syah (1887 M - 1916 M), selanjutnya Sultan Iskandar Syah (menaiki tahta tahun 1918 M).

Sultan Idris tersebutlah yang melantik beliau menjadi Mufti Perak. Ketiga-tiga Sultan Perak tersebut pernah belajar kepada Haji Wan Muhammad. Kemudian diikuti pula oleh para pembesar istana.

Haji Wan Muhammad pertama datang ke Perak mengajar di Tanjung Tualang dan selanjutnya mendirikan membina pondok pengajian dan surau di Lembah Masjid Ubudiah, Bukit Chandan, Kuala Kangsar, Perak. Di tempat tersebutlah telah melahirkan ramai ulama termasuklah ulama besar yang terkenal Syeikh Idris al-Marbawi.

Haji Wan Muhammad meninggalkan keturunan yang ramai, di antara anak beliau yang menjadi ulama ialah Haji Wan Abdur Rahman, Haji Wan Abdullah Zawawi (pernah sebagai Qadhi Tapah), Haji Wan Yusuf (pernah sebagai Imam Masjid Ubudiah, Bukit Chandan).

- Untuk maklumat lanjut mengenai ulama nusantara, sila e-mel pertanyaan ke alamat: pengkaji_kha zanah@yahoo.com atau hubungi talian 03-6189 7231.



SUMBER:

Thursday, 13 September 2012

Syeikh Wan Ali Al-Fathani penyebar Thariqat Sammaniyah



 
Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah

 










SYEIKH Uthman Jalaludin Penanti (kiri) dan penulis sedang membicarakan sanad ilmu Islam dan salasilah ulama Alam Melayu.






DARI minggu ke minggu nampaknya para peminat rencana riwayat ulama dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia terus bertambah.

Saya belum mengetahui berapa jumlah pembaca sebenarnya. Yang pasti, ruangan ini diikuti oleh pelbagai golongan. Baru-baru ini, saya mendapat emel daripada seorang pelajar yang mengaku berumur 14 tahun, namanya Luqman bin Ahmad Rangkuti.

Saya ucapkan terima kasih atas perhatian anakanda, insya-Allah emelnya akan saya ayan pada waktu yang lain.

Pada malam hari, tarikh 27 November 2006, seorang ulama dari Mekah, berasal dari Seberang Perai, datang ke tempat saya. Beliau ialah Tuan Guru Haji Saleh bin Syeikh Utsman Jalaluddin Penanti. Tujuan utama beliau menemui saya adalah berhasrat untuk menyelesaikan salasilah keluarga ulama yang ada hubungan dengan beliau sendiri. Sangat ramai keluarga tersebut yang menjadi ulama dan tokoh dalam pelbagai bidang.

Tuan Guru Haji Saleh bin Syeikh Utsman Jalaluddin Penanti adalah saudara tiga pupu dengan Perdana Menteri, Datuk Seri Abdullah bin Ahmad Badawi. Pada siang harinya ulama yang dikasihi tersebut secara kekeluargaan berhasil bertemu Yang Amat Berhormat itu. Ulama yang saya anggap termasuk salah seorang guru saya itu, nampaknya berjuang dengan penuh kesungguhan kerana pada malam berikutnya sebelum pulang ke Mekah beliau datang sekali lagi ke tempat saya (malam hari tarikh 28 November 2006).

Dalam pertemuan dua kali itu menjelaskan sejarah ulama yang dibicarakan dalam artikel ini, Syeikh Wan Ali bin Syeikh Wan Ishaq al-Fathani adalah moyang kepada Tuan Guru Haji Saleh.

Sebelum memasuki riwayat Syeikh Wan Ali al-Fathani di sini saya dahulukan segelintir hubungan kekeluargaan dan keturunan ulama yang diriwayatkan ini. Sebagaimana telah diketahui bahawa adik-beradik Syeikh Wan Ali al-Fathani ialah Syeikh Wan Hasan bin Ishaq al-Fathani yang menjalankan aktivitinya di Besut, Terengganu. Menurut Tuan Guru Haji Saleh Penanti, bahawa anak perempuan Syeikh Wan Ali al-Fathani bernama Hajah Wan Fathimah berkahwin dengan Syeikh Muhammad Kabir.

Perkahwinan itu memperoleh anak, Hajah Wan Shafiyah dan Haji Wan Ali. Hajah Wan Shafiyah berkahwin dengan Haji Muhammad Saleh bin Syeikh Jalaluddin bin Muhammad Yusya’ bin Abdul Ghafur al-Kalantani. Perkahwinan tersebut memperoleh tujuh orang anak iaitu; Sarah, Maryam, Fathmah, Salmah, Halimah, Abdullah, dan Asmah (Tuan Guru Haji Saleh Penanti tidak menyebut nama). Sarah herkahwin dengan Syeikh Utsman Jalaluddin Penanti, di antara anaknya ialah; Tuan Guru Haji Saleh Penanti (yang didengar ceritanya pada tarikh tersebut di atas).

Perlu saya catat dan peringatkan bahawa dalam keluarga ini terlalu banyak nama yang hampir serupa. Oleh itu sesiapa yang akan memetik tulisan ini di belakang hari perlu berhati-hati dan jika perlu menyebutkan nama mereka secara lengkap. Bahawa Sarah binti Haji Muhammad Saleh bin Syeikh Jalaluddin yang berkahwin dengan Syeikh Utsman Jalaluddin Penanti tersebut di atas adalah lain daripada Sara binti Haji Muhammad Thahir bin Kamaluddin al-Fathani. Sara binti Haji Muhammad Thahir al-Fathani adalah isteri Syeikh Jalaluddin bin Muhammad Yusya' al-Kalantani. Sara ini adalah nenek kepada Sarah. Sara pula adalah adik-beradik dengan Haji Ibrahim bin Haji Muhammad Thahir bin Kamaluddin al-Fathani. Haji Ibrahim atau Pak Him ini adalah ayah kepada Mufti Haji Abdullah Fahim (Mufti Pulau Pinang, tahun 1959 - 1961) dan Haji Thahir (Kadi Pulau Pinang di Balik Pulau). Catatan pada perenggan ini adalah merupakan penjelasan artikel yang pernah dimuat dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia, Isnin, 13 September 2004, dengan tujuan jangan terjadi kekeliruan kerana beberapa nama dalam keluarga yang serupa atau hampir serupa.

Syeikh Muhammad Yusya' bin Abdul Ghafur, ayah pada Syeikh Jalaluddin, adalah adik-beradik dengan Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Ghafur. Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Ghafur adalah orang yang sama dengan Syeikh Wan Abdur Rahman al-Kalantani, yang ketika mudanya tinggal di Lorong Tok Semian Kelantan. Beliau juga digelar dengan Tok Semian. Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Ghafur berkahwin dengan Hajah Wan Zainab binti Wan Abdul Qadir, anak perempuannya bernama Hajah Wan Kaltsum, menjadi isteri Tuan Tabal al-Kalantani. Hajah Wan Kaltsum adalah kakak Syeikh Wan Ali Kutan, dapat disemak dalam artikel tarikh 27 September 2004. Tuan Tabal al-Kalantani pula mempunyai ramai adik-beradik, oleh itu juga ada hubungan kekeluargaan dengan para ulama Seberang Perai yang diriwayatkan ini dan termasuk juga dengan Syeikh Abdullah Abdus Shamad al-Filfulani. Mengenai ini akan dibicarakan pada kesempatan yang lain.

Syeikh Wan Ali al-Fathani, yang tersebut pada judul, adalah bersabit kekeluargaan yang dekat dengan Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani, beliau termasuk pewaris ulama itu. Daripada dua buah naskhah peninggalan Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok terdapat catatan, iaitu yang pertama manuskrip berjudul Al-Wasail fi Ma'rifah al-Awail karya Syeikh Jalaluddin as-Sayuthi. Di bahagian kulit muka terdapat catatan dalam bahasa Arab yang terjemahannya, "Kitab wakaf ini bagi Syeikh Abdullah ibnu al-Marhum Abdur Rahman Pauh Bok di Mekah al-Musyarrafah, Nazir Syeikh Ali bin al-Marhum Ishaq al-Fathani".

Tercatat pula tahun 1270 H (kira-kira bersamaan tahun 1855 M). Yang kedua, manuskrip berjudul Risalah fi Furu' an-Naqliyah karya Al-Allamah Maulana asy-Syeikh Ibrahim Barbari ar-Rumi al-Hanafi. Terdapat juga nama Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani tertulis, "Wan Ali bin Ishaq al-Fathani." Menurut riwayat Tuan Guru Haji Saleh Penanti surat rumah milik Wan Ali al-Fathani di Mekah ada dalam simpanan beliau. Selain mempunyai hubungan dengan Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok, Syeikh Wan Ali al-Fathani ada hubungan dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani baik hubungan kekeluargaan mahupun hubungan keilmuan.

Pendidikan

Syeikh Wan Ali al-Fathani mendapat pendidikan asas di Pondok Pauh Bok, Patani. Barangkali dalam masa yang sama beliau memondok di pondok yang tersebut itu bersama-sama dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Atau sekurang-kurangnya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani adalah sebagai ketua tela'ahnya dalam sistem pengajian pondok (tutor menurut istilah akademik sekarang). Daripada catatan Syeikh Wan Ali al-Fathani sendiri ditemui bahawa gurunya adalah Syeikh Ibrahim Barbari ar-Rumi al-Hanafi.

Kemungkinan ulama yang tersebut adalah sahabat gurunya Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani yang tersebut. Daripada sebuah manuskrip karyanya dan sama dengan yang tersebut dalam Kaifiyat Khatam Quran bahawa Syeikh Wan Ali al-Fathani menerima bai'ah daripada Syeikh Muhammad Shalih bin Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani al-Jawi. Penerimaan bai'ah dilakukan di Mekah.

Di Mekah pada zaman itu terdapat dua orang Syeikh Mursyid Thariqat Sammaniyah yang berasal dari Patani, iaitu selain Syeikh Muhammad Shalih bin Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani ialah Syeikh Abdur Rahman @ Tok Semian al-Kalantani bin Abdul Ghafur al-Fathani. Murid Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Ghafur al-Fathani bernama Syeikh Ibrahim bin Haji Muhammad Usnin al-Fathani yang berasal dari Raman. Syeikh Wan Ali al-Fathani dan Syeikh Ibrahim al-Fathani kedua-duanya adalah bersahabat dan menerima tawajjuh Thariqat Sammaniyah pada 1243 H/1828 M di Jabal Suaidan dekat Syu'ib Ali. Syeikh Muhammad Shalih bin

Abdur Rahman Pauh Bok menerima thariqat itu daripada Syeikh Abul Hasan. Syeikh Abul Hasan menerima daripada Maulana Syeikh Hasib, dia menerima daripada bapanya dan daripada Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman.

Penulisan

Karya Syeikh Wan Ali al-Fathani tidak banyak dijumpai, yang dapat dipastikan hanya sebuah saja, iaitu merupakan majmuk, yang di dalamnya terkumpul pelbagai doa dan ajaran Thariqat Sammaniyah, Thariqat Syathariyah dan Thariqat Khalwatiyah. Dipercayai berasal daripada karya Syeikh Wan Ali al-Fathani itulah akhirnya terdapat pelbagai versi yang dinamakan Kaifiyat Khatam Quran. Yang pernah dicetak dan tersebar secara meluas di seluruh dunia Melayu. Kitab kecil itu tidak terdapat nama pengarangnya secara pasti tetapi dalam percakapan masyarakat dan beberapa penulis silam dunia Melayu memastikan Kaifiyat Khatam Quran itu adalah karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Beberapa manuskrip Kaifiyat Khatam Quran telah diketemukan. Walaupun kandungannya sama tetapi judul dan nama pengarang berbeza-beza. Ada judul diberikan dengan Silsilah Ratib dan Kaifiyat nama pengarangnya disebut Ibrahim bin Muhammad Usnin al-Fathani, yang diselesaikan pada 1243 H/1827 M.

Manuskrip karya Ibrahim bin Haji Muhammad Usnin al-Fathani itu dari segi ilmu filologi dirasakan perlu dibandingkan dengan karya Syeikh Wan Ali bin Ishaq al-Fathani terutama sekali pada mukadimah dan Silsilah Thariqat Sammaniyah. Ibrahim bin Haji Muhammad Usnin al-Fathani, menulis, "Sanya telah hamba, Ibrahim ibnu Haji Muhammad Usnin Fathani Raman daerah Kampung Cabak, mengambil talqin zikir daripada Syeikh Abdur Rahman ibnu Abdul Ghafur pada sanah 1243 pada Jabal Suaidan hampir Syu'ib Ali wa Maulid an-Nabi daripada Syeikhnya Ibrahim ibnu Abdur Rasyid al-Maduri (Madura, pen:) ...".

Syeikh Wan Ali al-Fathani juga menulis, "Maka inilah silsilah dan kaifiyatnya bagi Wali Allah yang terlebih takut akan Allah Taala, Quthub ar-Rabbani dan Arif Yang Shamadani iaitu Syeikh kita Maulana asy-Syeikh Muhammad anak Syeikh Abdul Karim as-Samman. Saya telah mengambil talkin zikir, faqir ilallah Taala, Ali bin Ishaq al-Jawi al-Fathani, daripada Syeikhnya Muhammad Shalih bin Abdur Rahman al-Jawi al-Fathani, Pauh Bok ...".

Jika kita banding salasilah, sebelum bertemu pada Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman juga terdapat perbezaan. Pada karya Ibrahim bin Haji Muhammad Usnin al-Fathani sambungannya bahawa Ibrahim bin Abdur Rasyid al-Maduri, dia menerima bai'ah daripada Syeikh Muhammad. Syeikh Muhammad menerima daripada Syeikh Utsman. Syeikh Utsman menerima daripada Syeikhnya dan mertuanya, Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman.

Ada pun pada naskhah Syeikh Wan Ali al-Fathani, sambungan salasilah bahawa Syeikh Muhammad Shalih bin Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok menerima bai'ah daripada Syeikh Abul Hasan. Syeikh Abul Hasan menerima daripada Maulana Syeikh Hasib. Maulana Syeikh Hasib menerima daripada bapanya tanpa menyebut nama, sesudah itu baru penerimaan bai’ah daripada Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani.

Naskhah karya Syeikh Wan Ali al-Fathani setelah membicarakan salasilah yang bersambung kepada Nabi Muhammad s.a.w., Malaikat Jibril Alaihis Salam, lalu mengemukakan kaedah berzikir menurut Thariqat Sammaniyah-Khalwatiyah.

 

SUMBER:

http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2006&dt=1218&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive

 

 


Wednesday, 12 September 2012

Wan Husein As-Sanawi Al-Fathani Hafiz pendiri Masjid Teluk Manok



 
Oleh: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

 










MASJID Teluk Manok di Patani, Thailand.






AKHIR-akhir ini berlaku perubahan besar dalam pelbagai jurusan pendidikan Islam di dunia Melayu, termasuk mula bercambah di tempat-tempat pendidikan menghafaz al-Quran. Banyak suara-suara sumbang yang hanya mengetahui dunia kini atau pergelutan di persekitarannya saja, lalu menuduh bahawa pendidikan Islam zaman dulu tidak menekankan penghafalan al-Quran dan hadis.

Saya berani memastikan pandangan yang sedemikian adalah satu pandangan yang sangat keliru. Sebagai contoh bahawa ilmu menghafaz al-Quran dan hadis berjalan sejak lama di dunia Melayu. Wan Husein al-Fathani adalah salah seorang daripada ulama silam yang hafaz al-Quran 30 puluh juzuk dan beribu-ribu hadis Nabi s.a.w. Beliau adalah moyang saudara kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ini bererti Wan Husein as-Sanawi al-Fathani lebih jauh mendahului Syeikh Wan Daud bin Abdullah al-Fathani.

Wan Husein as-Sanawi adalah adik- beradik dengan Syeikh Wan Senik al-Karisiqi (Kerisik), Syeikh Wan Muhammad Shalih al-Fathani (datuk nenek Syeikh Ahmad al-Fathani) dan lain-lain. Walaupun pada mulanya ada orang meragukannya, termasuk saya sendiri, kerana terdapat pertikaian pendapat dengan salasilah keluarga besar ini dengan yang ditulis oleh Haji Nik Ishak Tikat, Kelantan, yang berasal dari Datuk Nik Mahmud, Perdana Menteri Paduka Raja Kelantan. Namun, setelah saya menemui tiga salasilah yang lebih tua daripada salasilah yang tersebut, insya-Allah telah saya tahqiqkan dan hanya segelintir daripadanya disebutkan dalam artikel ini.

Pertikaian salasilah antara satu dengan yang lainnya tidak saya bicarakan di sini, kerana telah saya tulis dalam kertas kerja berjudul ‘Majlis Tazkirah Tokoh dan Ulama Islam Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani’ dan lain-lain terdahulu daripada ini.

*Asal-usul

Wan Husein as-Sanawi juga digelar Tok Masjid adalah termasuk salah seorang keturunan penyebar Islam yang awal datang ke dunia Melayu. Nama lengkapnya ialah Al-Allamah Al-Hafiz Wan Husein as-Sanawi al-Fathani bin Ali. Ali disebut juga Sultan Qanbul/Qunbul bin Manshur al-Laqihi. Manshur al-Laqihi nama yang sebenarnya ialah Saiyid Ahmad Samman al-Aidrus bin Saiyid Hakim.

Saiyid Hakim digelar orang Saiyid Kuning bin Saiyid Husein. Saiyid Husein digelar Sultan Pak Tani (maksudnya Sultan Patani). Ali@Sultan Qanbul/Qunbul dan terdapat beberapa nama selain ini, diriwayatkan bahawa wafat di Campa tahun 1467 M dan jenazahnya dikebumikan di Kampung Garak Ruwain (Binjai Lima).

Dalam sebuah salasilah disebutkan bahawa daripada Wan Husein as-Sanawi dan adik- beradiknya adalah datuk nenek golongan ‘Wan’ dan ‘Nik’ di Patani, Kelantan, Terengganu dan tempat-tempat lainnya. Yang dimaksudkan dengan ‘as-Sanawi’ yang terdapat pada hujung nama Wan Husein ialah beliau berasal dari kampung dinamakan Kampung Sena.

Kampung Sena itu sangat besar dan luas, sekarang di dalamnya terdiri dari beberapa buah kampung, di antaranya; Sena Janjar, Bendang Daya, Tok Diwa, dan lain-lain.

Kampung Sena dibuka oleh datuk nenek keluarga ini ketika mereka mula-mula sampai dalam kerajaan Langkasuka yang ketika itu nama Patani belum dikenal sama sekali. Dari kampung tersebutlah asal-usul perkembangan Islam di Patani dan selanjutnya keluarga tersebut turut aktif menyebarkan Islam ke seluruh dunia Melayu bersama-sama dengan keturunan-keturunan penyebar Islam yang datang dari Tanah Arab lainnya.

Adik-beradik Wan Husein as-Sanawi al-Fathani yang saya catat dari pelbagai sumber, sama ada yang disepakati mahu pun yang masih pertikaian pendapat adalah sebagai berikut:

1. Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja. Beliau adalah Sultan Cam/Champa, tahun 1471 M - 1478 M.

2. Wan Husein as-Sanawi, yang diriwayatkan dalam artikel ini.

3. Wan Demali @ Wan Mali @ Wan Alimuddin. Terdapat sebuah salasilah yang menyebut bahawa beliaulah Laksamana Bentan.

4. Wan Hasan, beliau menyebarkan Islam di Bangkok.

5. Wan Jamal.

6. Wan Biru, adik-beradik yang perempuan.

7. Wan Senik adik-beradik dengan Wan Husein, sudah sahih kerana disebut oleh Syeikh Muhammad Nur bin Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani dalam sebuah salasilah, dikukuhkan dengan salasilah keluarga Teluk Manok dan catatan-catatan lain yang ada pada saya.

Dari nombor 1 sampai nombor 7 disebut oleh Pak De Duku. Pak De Duku, nama lengkapnya ialah Haji Abdul Hamid bin Abdul Qadir bin Yunus bin Abdur Rahman bin Wan Husein as-Sanawi al-Fathani, adalah keturunan yang kelima ulama yang diriwayatkan ini.

Saya memperoleh banyak maklumat daripada beliau. Sejak tahun 1978 hingga 1991 saya berulang-ulang kali ke rumah Pak De Duku (Haji Abdul Hamid) di Teluk Manok kerana mencatat banyak perkara tentang keluarga yang diriwayatkan ini.

8. Syeikh Wan Muhammad Shalih al-Laqihi, saya adalah keturunan yang kelapan ulama ini, iaitu melalui jalur Syeikh Ahmad al-Fathani.

9. Maulana Abu Ishaq.

*Riwayat

Wan Husein as-Sanawi selain hafaz al-Quran 30 juzuk, sangat banyak hadis dan pelbagai jenis matan ilmu-ilmu Islam beliau juga berpengalaman dalam banyak bidang. Ilmu yang ada dalam sekujur tubuhnya bukanlah bersifat beku dan mati, tetapi adalah ilmu yang bersifat hidup sesuai dengan pergerakan fizikal tubuhnya.

Ilmu-ilmu yang dikuasai oleh Wan Husein as-Sanawi adalah seimbang dengan pengalamannya yang luas. Beliau berpengalaman dalam hidup cara berkhalwat, bersunyi diri tekun beribadat, juga berpengalaman dalam pengembaraan ke pelbagai penjuru bumi sejagat.

Wan Husein as-Sanawi pernah mengembara di pulau Jawa, pernah mengajar beberapa tahun di pulau Madura. Diriwayatkan juga bahawa beliau dan adik beradiknya bergaul mesra dengan masyarakat di pulau Sumbawa, sehingga ada pendapat yang menyebut Wan Husein as-Sanawi adalah berasal dari keturunan Arab yang telah lama datang ke pulau Sumbawa.

Dari pulau Sumbawa, pengembaraan keluarga tersebut termasuk Wan Husein as-Sanawi sendiri, meneruskan pengembaraan mereka ke negeri Cam atau Campa. Kerajaan Islam Cam itu adalah diasaskan oleh datuk nenek mereka yang berasal dari negeri Arab.

Setelah melalui proses yang lama melalui pantai-pantai dalam negeri India, persinggahan dan tempat tinggal terakhir mereka ialah dalam kerajaan Langkasuka. Proses yang lama pula setelah mereka membaur dengan masyarakat Melayu Langkasuka, maka terbentuklah Daulah Islam Fathani Darus Salam atau bagi umum mengenal sebutan Patani saja.

Dari Patani itulah mereka mengembara ke utara dengan maksud menyebarkan Islam di negeri China tetapi sebelum sampai ke negeri China mereka telah berhasil pula membentuk satu kerajaan Islam-Melayu yang dikenali dengan Kerajaan Cam.

Cita-cita mulai dari datuk nenek Wan Husein as-Sanawi untuk menyebarkan Islam ke negeri China berjalan terus sampailah ke zaman beliau. Bukan hanya itu saja, dari keturunan mereka juga telah menyebarkan Islam di Filipina, Brunei Darussalam dan akhirnya di Jawa. Beberapa orang di antara Wali Songo (Wali Sembilan) yang terkenal di Jawa adalah dari keluarga besar yang diriwayatkan ini.

*Masjid Teluk Manok

Semua riwayat adalah penting dicatat, namun hampir-hampir tidak ada orang yang tahu tentang peranan Wan Husein as-Sanawi dalam peranannya di dunia Melayu sejagat. Tidaklah berkelebihan kalau saya sebutkan di sini bahawa Wan Husein as-Sanawi ada peranan yang tersendiri dalam penyebaran Islam di dunia Melayu dan beliau juga ada peranan dalam pemerintahan Patani dan kerajaan Cam.

Setelah pengembaraan yang begitu jauh pada mulanya beliau menetap di Kampung Sena, tempat asal datuk neneknya, namun setelah adik- beradiknya bermuafakat maka mereka membahagi tugasan. Syeikh Wan Senik ditugaskan di Kerisik. Sebab itulah pada hujung nama beliau dalam salasilah ditulis al-Karisiqi.

Wan Husein as-Sanawi diberi tugas di Teluk Manok. Kampung yang beliau buka itu masih dikekalkan namanya sampai sekarang. Di Wadi Husein, Teluk Manok tersebutlah terdapat sebuah masjid yang digolongkan di antara salah sebuah masjid tua di Patani yang mempunyai kesan-kesan sejarah yang dikaitkan dengan Wan Husein al-Hafiz as-Sanawi, tokoh besar dunia Melayu serta yang masih terselubung dalam sekian banyak lembaran tulisan sejarah yang diseleweng dan dipalsukan oleh pihak-pihak tertentu.

Tentang tahun didirikan Masjid Teluk Manok itu, berbagai-bagai pendapat yang diberikan orang. Riwayat yang popular menjadi percakapan masyarakat ialah didirikan sejak 300 atau 400 tahun yang lalu. Saya datang menyelidik masjid itu berkali-kali sejak 1978 dan yang terakhir sekali pada Sabtu, 25 Mei 1991 M, pada waktu itulah saya terbaca di atas pintu masjid terdapat tahun 1266 H, bererti bersamaan dengan 1850 M.

Tidak terdapat sesuatu keterangan yang dimaksudkan dengan catatan 1266 H itu. Kemungkinan yang dimaksudkan adalah ketika memperbaiki masjid itu ataupun ketika menulis khat-khat indah yang terdapat di persekitaran tarikh di atas pintu itu. Jika kita hitung menurut tahun hijrah 1266 H itu hingga sekarang 1427 H bererti hanya 161 tahun saja. Ini adalah tidak sesuai dengan sejarah hidup Wan Husein as-Sanawi yang diperkirakan memang sudah lebih dari 300 tahun yang lalu.

Tarikh tersebut juga sangat jauh jaraknya dengan beberapa pendapat yang menyebut bahawa masjid tersebut didirikan pada 1619 M, pendapat lain 1621 M dan yang lain pula pada 1635 M. Tahun-tahun yang disebutkan ini, walaupun terjadi pertikaian pendapat, namun lebih menepati untuk dipegangi sebagai tahun berdirinya masjid itu jika dibandingkan pada 1266 H/1850 M yang tidak jelas maksudnya itu.

*Keturunan

Pertama sekali saya dengar cerita bahawa salasilah yang sangat penting tentang susur galur ulama Patani yang ada hubungannya dengan Teluk Manok diserahkan oleh Haji Ibrahim bin Daud bin Muhammad Shalih bin Abdullah bin Tengku Mahmud kepada Raja Perak. Yang menceritakan ialah Haji Abdul Hamid (Pak De Duku). Sungguhpun salasilah yang asli tidak saya peroleh tetapi saya sempat mencatat melalui Pak De Duku sejak 1978 M. Saya mencatatnya secara sedikit-sedikit, iaitu setiap kali pergi ke Teluk Manok hinggalah 1991 M.

Selain Pak De Duku, saya sempat pula menyalin salasilah tersebut tetapi bukan dari yang asli melainkan daripada salinan yang telah dijalankan oleh keluarga ini.

Pada beberapa tempat saya bandingkan pula dengan kitab-kitab yang dikarang oleh keturunan Wan Husein as-Sanawi, sebahagiannya menggunakan nama lengkap hingga sampai ke peringkat datuk.

Dalam catatan saya Wan Husein memperoleh enam orang anak iaitu; 1. Muhammad Shalih @ Tok Ci Gedung, makamnya di Jeringa. 2. Abdullah @ Tok Ci Teluk Manok. 3. Abdus Shamad. 4. Abdul Karim @ Tok Ci Bukit Bunga, beliau ini seorang hafiz, makamnya di Bukit Bunga, Jeringa. 5. Abdur Rahman, makamnya di Teluk Manok. 6. Fathimah.

Sehingga artikel ini ditulis, masih ramai keturunan mereka yang menjadi ulama ataupun tokoh penting dan bertebaran di pelbagai tempat.



SUMBER:

Tuesday, 11 September 2012

Syeikh Wan Senik Karisiqi moyang Syeikh Daud Al-Fathani


Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah

 

MENYAMBUT tahun baru 2007, artikel yang dipaparkan ini adalah merupakan keluaran pertama tentang Ulama Nusantara dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia.

Atau merupakan artikel yang ke-147 jika dihitung mulai siaran tahun 2004, sepanjang tahun 2005 sehingga Disember 2006. Sekali gus pula kita menyambut pemasyhuran Sultan Mizan Zainal Abidin Al-Marhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah sebagai Yang Dipertuan Agong Malaysia Yang Ke-13, pada 13 Disember 2006. Baginda berasal dari kerajaan Terengganu.

Sepanjang saya memperkenalkan ulama-ulama dunia Melayu dalam tahun-tahun yang tersebut, ada beberapa orang ulama Terengganu juga telah diperkenalkan, termasuklah seorang Sultan Terengganu yang alim dan warak. Baginda ialah Sultan Zainal Abidin III. Hingga kini tiada siapa dapat menafikan bahawa yang mencorakkan Islam di Terengganu, pertama ialah dari keturunan Saiyid dan yang kedua ialah ulama-ulama yang berasal dari Patani.

Dalam keluaran ini, bagi saya adalah merupakan sambutan tahun baru 2007, sekali gus menyambut adanya jati diri keperkasaan dan kemahawangsaan Melayu Islam dibuktikan daulat Raja-Raja Melayu, dilambangkan dengan Pemasyhuran Yang Dipertuan Agong pada tarikh tersebut di atas.

Artikel ini mengkhususkan perkara salasilah ulama Terengganu yang sangat erat dengan ulama Patani. Di antara mereka yang pernah ditulis sebelum ini ialah Sultan Zainal Abidin III Umara Bertaraf Dunia (28 Februari 2005), Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas (14 Mac 2005), Syeikh Nik Mat Kecik Al-Fathani Hakim Mahkamah Syarie di Mekah (25 April 2005), Syeikh Muhammad Nur Al-Fathani Pembesar Dua Pemerintah Makkah (23 Januari 2006), Tok Syeikh Duyung Syeikhul Ulama Terengganu (6 Mac 2006), Tuan Guru Abdul Hamid Besut Anak Murid Tuan Bendang Daya (20 Mac 2006), Tok Ku Melaka Ulama Terengganu Keturunan Nabi Muhammad (8 Mei 2006), Saiyid Muhammad Al-Aidrus Bapak Kesusasteraan Melayu Terengganu (11 September 2006), Tok Ku Paloh Al-Aidrus, Pejuang Islam dan Bangsa Melayu (18 September 2006) dan Syeikh Wan Daud Al-Fathani, Bahjatuddin Al-Arif Ar-Rabbani (23 Oktober 2006).

Semua ulama yang tersebut ada hubungan yang sangat erat selain kaitan sanad ilmu sekali gus di antara mereka ada yang erat hubungan nasab.

Pertikaian

Syeikh Wan Senik al-Karisiqi, iaitu moyang Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, yang bererti juga Syeikh Wan Senik adalah termasuk moyang atau datuk nenek kepada beberapa ulama Terengganu yang terdekat di antara mereka seperti Syeikh Abdul Qadir (Tok Bukit Bayas), Syeikh Abdullah bin Muhammad Amin (Tok Duyung) dan lain-lain.

Jauh sebelum penghijrahan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan rombongan ke Pulau Duyung Kecil Terengganu jalinan kekeluargaan Patani dan Terengganu berjalan sudah sejak lama, sekurang- kurangnya sejak Sultan Zainal Abidin, Sultan Terengganu lagi. Hingga sekarang hubungan tersebut tidak pernah terputus.

Walaupun ada beberapa pertikaian pendapat di antara satu versi salasilah dengan salasilah versi yang lainnya, namun tidak bererti memutuskan hubungan kekeluargaan. Bahkan dengan adanya pertikaian pendapat yang termaktub dalam salasilah adalah mendorong kita supaya melakukan penyelidikan yang lebih kemas, jika ada tenaga dan berkemampuan berfikir tetap berusaha untuk mentahqiqkannya.

Asal usul

Dalam artikel yang lalu disebutkan bahawa Wan Husein as-Sanawi mempunyai ramai adik-beradik. Antaranya ialah Syeikh Wan Senik al-Karisiqi. Nama lengkap ialah Al-Allamah Syeikh Wan Senik al-Karisiqi al-Fathani bin Ali (Sultan Qanbul/Qunbul) bin Manshur al-Laqihi (Saiyid Ahmad atau Saiyid Ahmad Samman al-Aidrus) bin Saiyid Hakim (Saiyid Kuning) bin Saiyid Husein (Sultan Pak Tani), salasilah ini diringkaskan dari artikel, Wan Husein As-Sanawi Al-Fathani, 18 Disember 2006.

Huraian salasilah bahawa Syeikh Wan Senik kahwin dengan Zainab asy-Syandani binti Abdur Rahman al-Fathani bin Ibrahim al-Hadhrami memperoleh anak bernama Wan Husein al-Karisiqi.

Anak Syeikh Wan Senik al-Karisiqi yang lain ialah Syeikh Wan Idris, kemungkinan dari isteri beliau yang lain. Anak Syeikh Wan Idris bernama Syeikh Wan Abdullah. Syeikh Wan Abdullah ini adalah ayah pada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, ulama dunia Melayu yang banyak mengarang kitab. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani mempunyai beberapa orang adik-beradik, iaitu Syeikh Wan Abdul Qadir, Syeikh Wan Idris, Syeikh Wan Abdur Rasyid dan Hajah Siti Khadijah.

Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani ibunya bernama Wan Fathimah. Ibu Wan Fathimah ialah Wan Salamah binti Tok Bandar Wan Su. Isteri Tok Bandar Wan Su ialah Wan Nafisah. Tok Bandar Wan Su adalah anak Tok Kaya Rakna Diraja (Wan Yusuf). Wan Yusuf adalah adik-beradik dengan Wan Ismail (Tok Kaya Pendek atau Tok Kaya Pandak).

Ayah kedua-duanya ialah Nik Ali atau Faqih Ali. Jika kita perhatikan dengan teliti bahawa salasilah Syeikh Wan Senik sampai kepada Saiyid Husein (Sultan Pak Tani) adalah semuanya dari pihak lelaki sedang salasilah yang satu lagi dicelahi dengan perempuan, bernama Fathimah. Naik ke atas melalui dua orang perempuan, iaitu ibu dan nenek Wan Fathimah hingga sampai kepada Nik Ali atau Faqih Ali.

Kesimpulan bahawa kedua-dua salasilah di atas adalah tidak bertentangan atau pertikaian pendapat antara satu dengan yang lainnya, kerana salasilah yang satu ialah membicarakan salasilah lurus lelaki semuanya sedang salasilah yang satu lagi ialah membicarakan beberapa orang dari pihak sebelah ibu.

Syeikh Wan Abdullah (Tok Syeikh Duyung) bin Syeikh Wan Muhammad Amin bin Wan Abdur Rahman al-Fathani. Wan Abdur Rahman al-Fathani kahwin dengan Wan Salamah (kahwin sepupu). Ibu Wan Abdur Rahman bernama Wan Tih adalah adik beradik dengan ayah Wan Salamah namanya Wan Derauk (Wan Abdur Rauf) bin Wan Damit. Ibu Wan Abdur Rauf dan Wan Tih ialah Wan Ti binti Wan Abu Bakar bin Wan Ismail (Tok Kaya Pendek atau Tok Kaya Pandak).

Jalur yang sama

Salasilah yang tersebut di atas sangat erat dengan Syeikh Wan Abdullah (Tok Syeikh Duyung) yang pada zamannya menjadi Syeikh Ulama Terengganu. Salasilah beliau selengkapnya ialah Syeikh Wan Abdullah bin Syeikh Wan Muhammad Amin. Syeikh Wan Muhammad Amin kahwin dengan Wan Aminah (ibu Tok Syeikh Duyung) adalah masih dalam lingkungan keluarga yang dekat.

Syeikh Wan Muhammad Amin ayahnya ialah Wan Abdur Rahman. Ibu Wan Abdur Rahman bernama Wan Tih, ibunya bernama Wan Ti binti Wan Abu Bakar bin Wan Ismail (Tok Kaya Pendek atau Tok Kaya Pandak).

Salasilah ini bertemu pada jalur yang sama pada catatan salasilah pihak ibu Syeikh Wan Abdullah (Tok Syeikh Duyung) yang tersebut di atas ialah Wan Aminah binti Wan Derahmat bin Wan Derahman bin Wan Abu Bakar bin Wan Ismail (Tok Kaya Pendek atau Tok Kaya Pandak).

Syeikh Wan Abdullah (Tok Syeikh Duyung) masih ada jalur kekeluargaan yang dekat dengan Syeikh Nik Mat Kecik atau Syeikh Muhammad Shaghir, yang pada kitab-kitab karangannya dinyatakan namanya Syeikh Muhammad bin Ismail Daudiyi al-Fathani.

Beliau bukan dilahirkan di Patani tetapi di Pulau Duyung Kecil, Terengganu, ketika terjadi penghijrahan besar-besaran keluarga ini dari Patani ke Terengganu akibat pencerobohan atau serangan Siam terhadap Daulah Kerajaan Patani. Silsilah lengkap beliau ialah Syeikh Wan Muhammad bin Wan Ismail bin Wan Ahmad ibunya bernama Wan Aisyah.

Wan Aisyah adalah adik-beradik dengan Wan Salamah (nenek Tok Syeikh Duyung). Ayah kedua-duanya bernama Wan Derauk (Wan Abdur Rauf) bin Wan Damit. Ibu Wan Derauk (Wan Abdur Rauf) bernama Wan Ti binti Wan Abu Bakar bin Wan Ismail (Tok Kaya Pendek atau Tok Kaya Pandak).

Pertalian Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani / Syeikh Muhammad Shaghir al-Fathani dengan Syeikh Wan Senik al-Karisiqi al-Fathani pula, bahawa ibu Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani bernama Wan Zainab binti Syeikh Wan Idris al-Fathani. Adik-beradik dengan Wan Zainab ialah Wan Fathimah, iaitulah ibu pada Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahman bin Utsman al-Fathani. Syeikh Wan Idris al-Fathani yang tersebut ialah datuk kepada Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani dan Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahman al-Fathani. Beliau adalah adik-beradik dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Ini bererti Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani dan Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahman al-Fathani adalah cucu saudara Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Mengenai salasilah lengkapnya hingga sampai kepada Syeikh Wan Senik al-Karisiqi al-Fathani tidak perlu dibicarakan lagi kerana cukup jelas naik ke atas melalui jalur Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Adik-beradik Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani yang bernama Syeikh Abdul Qadir bin Abdullah al-Fathani menurunkan ulama-ulama besar ialah Syeikh Wan Muhammad Shalih al-Fathani (anak), Syeikh Wan Ibrahim al-Fathani (cucu), dan Syeikh Wan Syamsuddin al-Fathani (cicit).

Dua orang adik beradik Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani menyebarkan Islam di Aceh ialah Syeikh Wan Abdur Rasyid bin Abdullah al-Fathani dan Syeikhah Hajah Siti Khadijah binti Abdullah al-Fathani.

Kedua-duanya meninggalkan keturunan di Aceh. Ada orang meriwayatkan bahawa Teungku Muhd. Daud Beureueh ulama dan pejuang Aceh yang terkenal adalah keturunan salah seorang dari kedua adik-beradik itu.

Masih belum jelas, tetapi yang pasti beliau diberi nama ‘Daud’ mengambil berkat nama moyang saudaranya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Janggut merah dan janggut putih

Terlalu ramai ulama yang penting dalam lingkungan keluarga ini, tidak mungkin diriwayatkan seluruhnya dalam ruangan yang sangat terbatas ini, tetapi perlu juga saya sentuh dengan agak ringkas bahawa ada yang digelar dengan ‘Syeikh Janggut Merah’ dan ‘Syeikh Janggut Putih’.

‘Syeikh Janggut Merah’ dan ‘Syeikh Janggut Putih’ mempunyai tujuh adik-beradik tetapi saya riwayatkan di sini dua orang saja.

Yang dimaksudkan dengan ‘Syeikh Janggut Merah’ ialah Syeikh Wan Ismail bin Ahmad al-Fathani dan ‘Syeikh Janggut Putih’ ialah Syeikh Wan Yusuf bin Ahmad al-Fathani.

Syeikh Wan Ismail Janggut Merah ialah ayah Syeikh Nik Mat Kecik. Adik-beradik Syeikh Nik Mat Kecik ada lima orang iaitu Wan Hitam atau Wan Siti, Wan Aisyah, Hajah Wan Maryam dan Syeikh Wan Isa, meninggal dunia di Pulau Bunguran (Natuna), Kepulauan Riau.

Wan Aisyah kahwin dengan Haji Wan Idris, anaknya Wan Daud. Wan Daud kahwin dengan sepupunya Wan Fathimah binti Syeikh Nik Mat Kecik.

Anak keduanya ialah Haji Nik Abdur Rahman al-Makki (Terengganu) dan Haji Nik Ishaq Tingkat, salah satu versi salasilah penyusunan artikel ini susunan beliau juga dirujuk.

Hajah Wan Maryam binti Syeikh Janggut Merah kahwin dengan Wan Abdullah bin Syeikh Yusuf Janggut Putih.

Di antara anaknya yang menjadi ulama ialah Hajah Wan Siti Saudah dan Haji Wan Ismail. Hajah Wan Siti Saudah kahwin dengan Syeikh Wan Ahmad al-Fathani, memperoleh anak Hajah Wan Zainab (ibu saya, Wan Mohd. Shaghir Abdullah, penulis artikel ini).

Hajah Wan Maryam dan anaknya Haji Wan Ismail al-Fathani meninggal dunia di Skudai, Johor. Hajah Wan Siti Saudah pula meninggal dunia di Pulau Penyengat Riau.

* Untuk maklumat lanjut mengenai ulama nusantara, sila e-mel pertanyaan ke alamat: pengkaji_kha zanah@yahoo.com atau hubungi talian 03-6189 7231.

 

SUMBER:

http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2007&dt=0101&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_03.htm&arc=hive

Monday, 10 September 2012

Peta Rukun Sembahyang

Muhammad Thaiyib penerus tradisi ulama Banjar



 
Oleh: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

 










GAMBAR Syeikh Mohd. Arsyad al-Banjari (atas), Tuan Husin Kedah (kiri) dan Syeikh Abdur Rahman Shiddiq (kanan) yang terdapat pada kulit buku Kenangan Cenderamata 50 tahun Madrasah Khairiyah Islamiyah.






BEBERAPA orang ulama yang berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan, keluarga dekat dengan ulama yang diriwayatkan ini, telah diperkenalkan dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia.

Mereka ialah Tuan Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar (16 Ogos 2004), Syeikh Abdur Rahman Shiddiq Al-Banjari, Mufti Kerajaan Inderagiri (23 Ogos 2004), Mufti Jamaluddin Al-Banjari, Ahli Undang-Undang Kerajaan Banjar, (15 Ogos 2005), Haji Yusuf Saigon Al-Banjari, (22 Ogos 2005) dan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Pengarang Sabil Al-Muhtadin (19 September 2005). Pada judul-judul yang tersebut ulama yang bernama Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari adalah jalur ke atas ulama yang diriwayatkan ini, sedang Tuan Husein Kedah al-Banjari adalah cucu beliau.

Nama lengkapnya ialah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud bin Qadhi Abu Su'ud bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Di antara nama yang digunakan dalam penulisan ialah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Khalidi an-Naqsyabandi. Penambahan perkataan "al-Khalidi an-Naqsyabandi" adalah berdasarkan sebuah karya beliau judul, "Fat-hul Hadi. Dengan digunakannya perkataan yang tersebut berertilah ulama yang berasal dari Banjar yang tinggal di Kedah tersebut adalah seorang sufi, pengamal Thariqat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah.

Daripada maklumat di atas jelas bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari sama pegangannya dengan Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi (Minangkabau) yang kedua-duanya hidup sezaman yang menyebarkan Thariqat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah yang tersebut dalam kerajaan Riau-Lingga dan selanjutnya di Melaka dan Kedah. Sangat kemungkinan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari adalah murid pada Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi yang tersebut, hal ini kerana jika dibandingkan kemunculan ulama Minangkabau tersebut lebih dulu muncul daripada Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari.

*Asal usul

Ayahnya Syeikh Mas'ud itulah yang dikatakan telah menemui syahidnya di dalam peperangan di antara Patani dan Kedah melawan Siam, iaitu bersama-sama kejadian hilangnya Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Datuknya bernama Qadhi Haji Abu Su'ud diceritakan bahawa beliau pulang dari Makkah untuk meneruskan perjalanannya pulang ke Banjar telah singgah di Kedah. Sultan Kedah telah meminta kepadanya supaya tinggal di Kedah saja untuk menjadi guru baginda dan rakyat Kedah.

Peristiwa yang sama berlaku pula kepada saudara kandung Syeikh Qadhi Haji Abu Su'ud yang bernama Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari diminta oleh Sultan Riau-Lingga supaya menjadi Mufti, mengajar istana dan rakyat Riau-Lingga dalam berbagai-bagai ilmu pengetahuan Islam. Pendek kata semua adik beradik dan datuk/nenek kepada Syeikh Muhammad Thaiyib adalah ulama-ulama besar yang terkenal dan tidak asing bagi masyarakat Melayu di seluruh dunia Melayu.

Di Kedah Qadhi Haji Abu Su'ud al-Banjari atas kehendak Sultan Kedah telah kahwin dengan perempuan bernama Rajmah. Dari perkahwinan itu memperoleh anak dinamakan Mas'ud, iaitu ayah kepada Syeikh Muhammad Thaiyib yang diriwayatkan dalam artikel ini. Daripada cerita di atas dapat diambil kesimpulan bahawa ulama yang diriwayatkan ini sebelah ayahnya adalah berasal dari Banjar sedang sebelah ibunya berasal dari Kedah.

*Pendidikan

Syeikh Muhammad Thaiyib Banjar-Kedah dipercayai memperoleh pendidikan asas dari ayah dan datuknya sendiri. Selanjutnya Syeikh Muhammad Thaiyib juga mempunyai konteks kepada kaum keluarganya yang menjadi ulama di negeri Banjar, Jawa, Bangka, Belitung dan Makkah. Banyak kali beliau pulang ke Banjar, atau pergi ke Makkah, atau di tempat-tempat yang diketahuinya ada kaum keluarganya yang menjadi ulama.

Pada masa usia mudanya lebih banyak menerima pelajaran daripada memberikan pelajaran. Tetapi manakala beliau telah meningkat tua adalah sebaliknya lebih banyak mengajar daripada menerima. Tidaklah diragukan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib tersebut adalah seorang ulama besar, bahkan anak beliau juga seorang ulama besar yang banyak jasanya dalam pembinaan ulama di Semenanjung Tanah Melayu.

Daripada sebuah kitab judul Miftah as-Shibyan fi 'Aqaidil Iman oleh Syeikh Muhammad Zain Nuruddin dapat diketahui sanad atau hubungan pengajian Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari ialah, "... hamba mengambil ilmu sharaf, dan nahu, dan fiqh, dan ilmu tasawuf, dan ilmu ushuliddin di dalam Negeri Bahara Pesisir Kampung Dahari kepada Syeikhina Walidiyi al-murabbiyi ruhiyi wal jasadiyi al-'Alim asy-Syeikh Abbas, Imam al-Khalidi an-Naqsyabandi, ibnu al-Mukarram al-Haji Muhammad Lashub.

Ia mengambil daripada asy-Syeikh Ismail ibnu asy-Syeikh al-Khathib Sikin, dan daripada asy-Syeikh Alim al-Allamah al-Fahamah asy-Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, dan daripada asy-Syeikh al-Allamah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari al-Qad-hi, dan daripada Syeikh 'Ali al-Qad-hi." Daripada petikan ini dapat disimpulkan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari al-Qad-hi adalah termasuk salah seorang guru bagi Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, iaitulah ulama besar dunia Melayu yang terkenal penyusun kitab 'Aqidah an-Najin, Kasyf al-Litsam, Kasyf al-Ghummah, dan lain-lain.

Melalui sanad ini menurunkan beberapa orang ulama di Sumatera Utara, di antaranya ialah Syeikh Abbas bin Haji Muhammad Lashub Imam al-Khalidi an-Naqsyabandi dan anak beliau Syeikh Muhammad Zain Nuruddin, Negeri Bahara Pesisir Kampung Dahari, Sumatera Utara, penyusun beberapa buah kitab.

*Karya

Ada tiga risalah karya ulama yang berasal dari Banjar ini yang telah dijumpai, ialah: 1. Miftah al-Jannah fi Bayan al-'Aqidah, 2. Fat-hul Hadi, 3. Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman, 4. Bidayah al-Ghulam fi Bayan Arkan al-Islam. Risalah yang pertama, Miftah al-Jannah, pada satu naskhah catatan diselesaikan penulisan pada 16 Syawal 1247 H/19 Mac 1832 M pada naskhah yang lain pula dinyatakan pada 16 Syawal 1255 H/23 Disember 1839 M. Terdapat pelbagai edisi cetakan, cetakan Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah Mekah, 1321 H dan 1327 H. Dicetak kombinasi dengan risalah-risalah Ushul at-Tahqiq, Mau'izhah li an-Nas, Tajwid al-Quran semuanya tanpa menyebut nama pengarang. Dan di tepinya pula dicetak risalah Asrar ad-Din juga tidak disebut nama pengarang.

Risalah yang kedua, Fat-hul Hadi, diselesaikan hari Isnin, 4 Jumadilakhir 1282 H/25 September 1865 M. Kandungan membicarakan ilmu tasawuf tentang haqiqat merupakan terjemahan dan petikan daripada kitab Syarh Tuhfah al-Mursalah Syeikh Muhammad Bin Fadhlullah Al-Burhanfuri yang disyarah oleh Syeikh 'Abdul Ghani an-Nablusi.

Pada bahagian akhir kitab Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari menyatakan, "Bermula yang membangunkan bagi aku pada yang demikian itu, dan jika tiada aku ahli bagi yang demikian itu, isyarat daripada putera Sultan kami dengan lisan halnya dan maqalnya serta elok segala perangainya dan af'alnya. Maka bahawasanya ia datang akan aku dengan kelakuan segala faqir-faqir dan meninggal ia akan segala pakaian bagi segala amir-amir. Serta bahawasanya ia kamil pada kemuliaan, dan kekayaan dan rakha. Bermula namanya itu seperti nama seorang Nabi yang asyiq akan dia oleh Zulaikha ..."

Risalah yang ketiga (Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman) dijumpai sebuah manuskrip yang diselesaikan pada tahun 1297 H/1879 M. Hanya sebuah itu saja manuskrip judul ini, tidak terdapat salinan lainnya. Dalam sebuah manuskrip terkumpul beberapa buah naskhah, bukan karya Syeikh Muhammad Thaiyib sendiri saja. Pada halaman 3 terdapat tulisan Syeikh Abdul Muthallib bin Tuan Faqih Kelantan di Mekah, tahun 1307 H/1890 M.

Kandungannya membicarakan mengganti sembahyang yang tertinggal menurut Mazhab Hanafi yang diamalkan dalam Mazhab Syafie. Halaman 6 sampai halaman 24 berasal dari tulisan Haji Abdur Rahman bin Haji Wan Thalib di dalam negeri Cenak, Kampung Temparak (Patani) tahun 1290 H. Membicarakan fiqh dimulai dengan membicarakan zakat. Halaman 35 sampai 51 iaitulah tulisan/karya Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud dengan judul yang telah disebutkan. Kandungan karya Syeikh Muhammad Thayib bin Mas'ud al-Banjari al-Qad-hi ini membicarakan ilmu tauhid, membahas Sifat Dua Puluh.

Daripada yang dipaparkan di atas, terdapat banyak bukti bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud banyak meninggalkan karya yang lain, di antaranya telah dijumpai sebuah naskhah yang beliau karang dalam bahasa Arab dan di bawahnya diberi makna dengan bahasa Melayu. Di akhir manuskrip tersebut beliau tulis nama orang tuanya dengan "Mas'ud asy-Syahid". Maksud asy-Syahid di sini ialah mati syahid dalam perang fi sabilillah melawan pencerobohan Siam terhadap Patani dan Kedah. Dengan dijumpai naskhah tersebut dapat memperkuat sekian banyak cerita masyarakat Melayu terutama di Kedah, Patani, Pontianak dan Banjar serta yang bertulis pula diriwayatkan oleh Tuan Guru Mufti Haji Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari yang beliau ceritakan dalam kitab Syajaratul Arsyadiyah. Juga cerita rakyat yang mungkin ada pihak-pihak tertentu memandang cerita tersebut sebagai legenda atau dongeng.

*Keturunan

Anak-anak Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud di Kedah di antaranya ialah Haji Muhammad Nashir, Haji Salman, Haji Abdullah dan Haji Abdur Rahman. Haji Muhammad Nashir bin Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari yang tersebut menurunkan seorang anak yang menjadi ulama besar yang sangat terkenal di Malaysia, Patani dan Banjar. Beliau ialah Tuan Guru Tuan Husein Kedah, atau nama lengkapnya Tuan Guru Haji Husein bin Muhammad Nashir bin Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas'ud al-Banjari al-Qad-hi.

Sebahagian jasa Tuan Husein Kedah yang tidak dapat dilupakan ialah pendidikan pondok yang diasaskannya di Pokok Sena, iaitu termasuk di antara pusat pengajian pondok yang terkenal di Malaysia pada zamannya. Sangat ramai murid beliau yang menjadi ulama dan tokoh yang terkenal baik di Malaysia mahu pun di tempat-tempat lainnya seperti di Indonesia, Patani dan lain-lain. Tuan Husein pula meninggalkan beberapa buah karangan meneruskan tradisi datuk nenek beliau mulai dari Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari lagi. Di antara karangan Tuan Husein Kedah al-Banjari ada yang masih beredar di pasaran kitab sampai sekarang dan ada juga yang tidak beredar lagi. Di antara karangan Tuan Husein Kedah cucu Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari al-Qad-hi ialah: 1. Hidayah ash-Shibyan, diselesaikan tahun 1330 H, 2. Qathr al-Ghaitsiyah, diselesaikan tahun 1348 H, 3. Bidayah ath-Thalibin, 4. Ushul at-Tauhid, 5. Hidayah al- Mutafakkirin dan lain-lain.



SUMBER: