Pasal II : Niat Untuk Belajar (Bag. 1)
Pasal II
Niat Untuk Belajar (Bag. 1)
Pasal menurut bahasa artinya : nyata, bahagian, keputusan, dan memisahkan. Sedangkan menurut istilah adalah bagian dari masalah-masalah yang berubah dari sebelum dan sesudahnya. Pasal tidak dapat diartikan de- ngan bab dan kitab. Dalam pasal ini membahas masalah niat untuk belajar.
Para santri wajib berniat untuk belajar selama mempelajari ilmu. Karena niat merupakan dasar pokok dalam segala hal. Berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. :
Artinya :
"Sesungguhnya amal itu hanyalah dengan niat, dan seorang mendapat pahala sesuai niatnya." (Hadits Shahih).
Maksudnya sahnya amal itu harus disertai dengan niat, menurut madzhab Syafi'i, dan menurut madzhab Abu Hanifah bahwa amal itu ditetapkan memperoleh balasan pahala dengan niatnya. Dan sebagaimana Rasulullah s.a.w. bersabda :
Artinya:
"Banyak sekali amal-amal yang ujudnya menyerupai amal dunia tetapi sebenarnya merupakan amal akhirat karena bagusnya niat. Dan tidak sedikit amal yang ujudnya seperti amal akhirat kemudian menjadi amal dunia dengan jeleknya niat."
Seperti makan, minum dan tidur, maka bentuknya seperti amal keduniaan tetapi semua itu dapat menjadi amal akhirat karena baiknya niat. Seperti makan dengan niat untuk bertakwa dan agar kuat beribadah, maka akan menjadi amal akhirat. Demikian juga minum, tidur dan lainnya asal diniatkan untuk ketaatan kepada Allah. Dan banyak juga bentuk amal akhirat ternyata menjadi amal dunia karena jeleknya niat. Seperti melakukan amal-amal karena pamer.
Maka sebaiknya penuntut ilmu itu berniat menuntut ilmu semata-mata untuk mencari keridlaan Allah Ta'ala ; untuk memperoleh pahala di akhirat ; menghilangkan kebodohan pada dirinya dan dari seluruh orang bodoh ; untuk menghidupkan agama dan menegakkan agama Islam. Sebab kekalnya Islam itu dengan ilmu, dan ilmu sebagai ruh Islam. Dengan kebodohan maka zuhud dan takwa tidak akan sah.
Syekh Al Imam Burhanuddin pengarang kitab "Al Hidayah" telah melagukan gubahan sya'irnya kepada sebahagian Ulama :
Artinya :
- Kerusakan besarlah jika seorang alim berbuat nekad dalam agama; dan kerusakan yang lebih besar lagi orang bodoh berlagak alim dan khusyu'.
- Keduanya merupakan fitnah yang besar di seluruh alam ; bagi orang yang mengikutinya dalam melakukan agamanya.
Orang nekad adalah orang yang tidak peduli membuka cacatnya dan mengoyak kerahasiaannya. Sedangkan orang alim yang nekad adalah orang yang melakukan perbuatan menentang syara' dari perbuatan-perbuatan jahat dan busuk dimana ia tidak peduli perbuatannya terbongkar. Hal ini merupakan kerusakan besar, karena ia menampakkan pada orang-orang bodoh, sehingga mereka terpengaruh dengan perbuatannya, maka ia tersesat dan menyesatkan mereka.
Kerusakan yang lebih besar lagi adalah orang bodoh berlagak alim dan khusyu'. Maksudnya orang yang beribadah dengan kebodohan karena bertaklid pada orang bodoh baik perbuatan maupun ucapannya, ia tidak mengetahui sah dan rusaknya ibadah yang dilakukannya. Ini lebih besar kerusakannya daripada orang alim yang nekad, karena kerusakannya pada i'tiikad dan amal semuanya, sedangkan orang alim i'tikadnya benar. Sehingga keduanya merupakan fitnah yang besar di seluruh alam bagi orang yang mengikutinya dalam melakukan agamanya baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Dalam menuntut ilmu hendaknya juga berniat mensyukuri nikmat akal dan kesehatan tubuh. Jangalah sekali-kali kamu berniat dalam menuntut ilmu itu untuk memperoleh harta keduniaan, jangan pula berniat untuk mendapat perhatian para manusia dan dimuliakan di sisi seorang raja atau penguasa serta karena arah yang lain. Ringkasnya jangan sekali-kali berniat selain untuk mencari keridlaan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya.
Untuk menguatkan, bahwa penuntut ilmu tidak baik berniat untuk mendapat perhatian para manusia, maka Syekh Muhammad Al Hasan Rahimahullah berkata : "Andaikata seluruh manusia menjadi budakku, niscaya mereka saya merdekakan semuanya dan saya bebaskan dari tanggungan. Sehingga saya dapat terlepas dari hak dan perhatian manusia." Siapa yang dapat memelihara dan merasakan manisnya ilmu dan amal, niscaya tidak senang menarik perhatian para manusia. Sebab jika ia telah merasakan manisnya ilmu, niscaya ia tidak senang pada yang lain, karena ilmu akan dirasakan lebih mulia dan lezat baginya dari segala perkara yang lain, sehingga ia tidak akan mencari yang lain kecuali ilmu.
Syekh Al Imam Al Ustadz Qawwamuddin Hammad bin Ibrahim bin Ismail As Shaffari Al Anshari telah membacakan sya'ir kepadaku yang telah ditulis Imam Abu Hanifah :
Artinya :
- Siapa menuntut ilmu karena mencari pahala akhirat ; maka berbahagialah ia dengan karunia dari Allah.
- Maka alangkah ruginya bagi penuntut ilmu ; untuk memperoleh kelebihan dari sesama manusia.
Orang yang menuntut ilmu semata-mata untuk mencari pahala di akhirat, maka ia akan memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan dari Tuhan Pemberi petunjuk. Hal ini merupakan keutamaan dan kemuliaan yang dapat menyampaikan pada derajat yang tinggi di syurga.
"Faya Likhusraaani Thaalibihi = Maka alangkah ruginya bagi penuntut ilmu" sebagai jawab syarat yang terbuang. "Ya" adalah huruf nida', dan munadanya terbuang. Sedangkan "Al Khusraan" digantungkan dengan fi'il yang terbuang, yakni : "Jika penuntut ilmu karena mencari pahala akhirat, maka menjadikan sebab memperoleh kebahagiaan dengan petunjuk Allah. Maka perhatikanlah hai manusia kerugian menuntut ilmu untuk memperoleh kelebihan dari sesama manusia.
Ya Allah, jauhkanlah saya dari segala kerugian. Kecuali jika upaya mendekati penguasa dan mencari pengaruh itu bertujuan untuk menguatkan amar makruf nahi munkar dan memperjuangkan serta menegakkan kebenaran dan memuliakan agama, tidak menuruti hawa nafsunya. Maka yang demikian diperbolehkan sekedar melaksanakan amar makruf dan nahi munkar. Jadi sekalipun nampaknya mencari pengaruh dan perhatian manusia tetapi hakikatnya untuk menegakkan amar makruf dan nahi munkar yang kedua-duanya merupakan semulia-mulia peribadatan.
Penuntut ilmu sebaiknya mau berpikir dalam belajar, kesulitan apa yang dihadapi dan kepayahan apa yang dihasilkan. Sebab ia telah menekuni, mempelajari ilmu dengan penuh kesungguhan, banyak mengalami kepayahan dan kedukaan. Maka setelah sukses jangan sampai semata-mata untuk memburu keduniaan yang begitu hina, sedikit dan cepat sirna. Sebagaimana disebutkan dalam sya'ir :
Artinya :
- Dunia adalah sedikit perkara yang sedikit ; dan orang yang sangat mencintainya adalah sehina-hina suatu yang hina.
- Karena sihirnya, tidak sedikit orang-orang yang menjadi buta dan tuli ; maka keadaan mereka merasa bingung karena tidak mendapat petunjuk ke jalan yang benar.
Pasal II
Niat Untuk Belajar (Bag. 2)
Dunia merupakan perkara yang amat sedikit dan paling hina, dapat menjadikan orang menjadi buta terkena sihirnya, sehingga hati orang-orang yang mencintainya menjadi seperti terkena sihir karena merasakan kelezatannya dan menjadikan mereka berpaling untuk memperhatikan dan menerima kebenaran. Mereka menjadi buta tidak dapat melihat kebenaran dan tuli sehingga merasa bingung karena tidak mendapat petunjuk ke jalan yang benar. Mereka benar-benar seperti buta dan tuli hakiki, maka bagaimana ia dapat pergi dan kembali sedangkan ia tidak tahu kemana ia akan pergi dan kemana ia datang kembali, maka ia menjadi bingung.
Sebaiknya ahli ilmu itu jangan sekali-kali mempunyai perasaan tamak yang tidak semestinya. Kecuali tamak untuk menghasilkan ilmu, maka tamak seperti ini dibolehkan, tidak bahaya bahkan merupakan sasaran kemuliaan. Dan hendaklah menjaga diri dari perkara yang dapat menjadikan hinanya ilmu dan ahlinya dan merendahkan diri, sebab memelihara perbuatan seperti ini merupakan keharusan agar ia tidak tertimpa kehinaan ilmu dan ahlinya. Ahli ilmu hendaknya bersifat tawadlu', karena tawadlu' itu merupakan sifat antara sombong, rendah diri dan iffah. Sedangkan kesombongan termasuk sifat-sifat yang diharamkan, sebab sifat itu merupakan sifat yang khusus bagi Allah Ta'ala, sebagaimana firman-Nya dalam Hadits Qudsi :
Artinya :
"Ke-Agungan itu pakaian-Ku dan Kebesaran itu selendang-Ku."
Maksudnya dua sifat yang khusus ada pada Dzat-Ku, yang tidak layak bagi selain-Ku. Iffah artinya menjaga dari keharaman. Tawadlu' merupakan sifat antara sombong dan rendah diri. Sebab seorang yang lemah tidak akan sombong untuk mencari yang halal dan tidak merendahkan dirinya untuk mencari yang haram. Karenanya tawadlu' itu merupakan sifat yang tetap bagi penuntut ilmu. Demikian sebagaimana diterangkan dalam kitab "Akhlak."
As Syekh Al Imam Al Ustadz Ruknul Islam yang terkenal sebagai seorang Ahli Pendidikan membaca sya'ir untuk dirinya :
Artinya :
"Sesungguhnya tawadlu' itu termasuk sifat orang yang bertakwa kepada Allah ; dengan takwa ia dapat meraih derajat yang lebih tinggi."
Artinya :
"Suatu yang sangat mengagumkan adalah orang yang bodoh terhadap dirinya sendiri ; apakah ia akan bahagia atau celaka."
Tawadlu' termasuk sifat-sifat orang yang bertakwa kepada Allah Ta'ala, dengan tawadlu' akan mencapai kedudukan yang tinggi, berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. :
Artinya :
"Siapa bertawadlu' maka Allah mengangkatnya dan siapa sombong maka Allah merendahkannya."
Kata "waminal 'ajaibi" menjadi khabar muqaddam, "ujbun" menjadi mubtada' muakhkhar dan mashdar yang mudlaf pada fa'ilnya yaitu "man huwa jahilu." "Man" maushul dan jumlah sesudahnya adalah shilah. "Fi haalihi" ta'alluq dengan kata "Jahil." 'Ahwa" hamzahnya zaidah kedudukannya sebagai mubtada'. "Assa'iidu" khabamya, 'Amissyaqy" athaf pada "Assa'iid." Maksudnya, termasuk mengagumkan adalah seseorang yang bodoh terhadap dirinya, dia tidak mengerti apakah termasuk seorang yang bahagia dari orang-orang yang bahagia atau celaka dari orang-orang yang celaka. Dengan demikian ia terpedaya dan mengagumi keadaan dirinya, maka yang tepat hendaknya dia berfikir pada keadaan dirinya dan merasa takut dari su-ul khatimah (mengakhiri hayatnya dengan jelek) lalu dalam keadaan takut dan penuh harapan kepada Allah.
Artinya :
"Dia tidak tahu bagaimana mengakhiri umurnya pada hari kematiannya (dengan membawa iman atau kufur) ; lalu dia terperosok serendah-rendahnya atau naik ke tempat tertinggi."
Maksudnya ia tidak tahu dalam mengakhiri umurnya apakah mati membawa iman atau kufur. "Yauman Nawa" artinya hari kehancuran yaitu hari kematian, dimana ruhnya turun di tempat yang serendah-rendahnya atau naik di tempat tertinggi. Jadi dia tak tahu dalam mengakhiri umurnya menghembuskan nyawanya apakah mati membawa iman lalu naik ke tingkat tertinggi, yaitu kedudukan orang-orang mukmin, atau sebaliknya (kita mohon perlindungan Allah Ta'ala) lalu terperosok ke tempat yang paling rendah.
Artinya :
"Adapun kebesaran itu merupakan sifat yang khusus bagi Allah maka hendaknya kamu menjauhi dan memelihara diri dari kesombongan."
Imam Abu Hanifah pernah berkata kepada sahabat-sahabatnya : "Besarkanlah surbanmu dan longgarilah lengan bajumu." Beliau berkata demikian agar tidak menurunkan martabat ilmu dan ahlinya menjadi remeh dan hina.
Penuntut ilmu sebaiknya menguasai kitab wasiat yang ditulis Imam Abu Hanifah yang diberikan kepada Syekh Yusuf bin Khalid As Simti (dibangsakan pada Samat, beliau seorang ulama Ahli Hadits) ketika beliau pulang ke rumahnya dan keluarganya. Siapa saja berpedoman kitab itu sebagai acuan belajar, niscaya akan sukses.
Guru kami As Syekh Al Imam Ali bin Abu Bakar menyuruhku untuk menulis wasiat tersebut sewaktu kami pulang ke kampung halaman kami. Maka setidaknya bagi Pendidik dan Mufti di saat bergaul dengan masyarakat hendaknya memiliki kitab wasiat karya Imam Abu Hanifah itu.
Bersambung Ke Pasal III.....
SUMBER:
[...] Niat Untuk Belajar [...]
ReplyDelete