Saturday, 24 March 2012

Secercah Cahaya Dari Seorang Sufi Agung Imam Ibnu 'Arabi Qaddasallahu Sirrah







Oleh: al-Ustadz al-Fadhil Falah al-Jambi al-Azhari 

 

 

Ibnu ‘Arabi adalah sosok sufi yang banyak mendapatkan kritikan dan tuduhan tajam. Sebagian ulama ada yang mengatakan "Ma Ikhtalafal ulama’u fi ahadin ka ikhtilafihim fi Muhyidin Ibnu ‘Arabi". Salah satu tuduhan yang terkenal adalah ajaran wihdatul wujud yang beliau kenalkan, Sehingga ketika nama wihdatul wujud disebutkan maka yang terlintas di telinga pendengar adalah nama Ibnu ‘Arabi, sang pencetus.

 

Pada kitab yang berjudul Min Aimmatil Muwahhidin Ibnu Arabi yang ditulis oleh al-Alamah al-Syekh Abdurahaman Hasan Mahmud terdapat banyak pembahasan ilmiah yang berkaitan dengan hal-hal kontroversi Ibnu ‘Arabi.

 

Pada dasarnya ungkapan al-Imam lebih banyak dipahami dengan pemahaman yang salah dari pada dipahami dengan pemahaman yang benar seperti apa yang diinginkan sang Imam. Hal itu disebabkan karena banyaknya orang-orang yang tidak kenal istilahat sufiyah membaca karya-karya sufiyah kemudian dia pahami sendiri tulisan para Sufi yang berkaitan degan hakikat atau adzwaq. Mereka tidak menyadari kaidah "Likulli Qaumin Mushthalahatuhum". Adapun untuk kaum sufi maka mereka sengaja mencampuri perkataan-perkataannya dengan al-ghazz (ungkapan-ungkapan teka-teki) atau at-tauriyah (perkataan-perkataan  yang memiliki banyak makna), dan yang mampu memahaminya adalah golongan mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan ini semata-mata karena mereka sulit untuk mengungkapkan perasaan hati (cinta kepada Allah) yang terkadang  membawa mereka kepada makam al-fana fillah dengan ungkapan yang jelas. Jika ada seorang laki-laki sangat mencintai seorang wanita kemudian dia memuja dan menyanjung kekasihnya tersebut maka kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki tersebut banyak mengandung unsur kekufuran. Dia akan mengatakan engkau segalanya bagiku, engkau hidup matiku, engkau nyawaku (ruhku), engkau adalah diriku dan aku adalah dirimu dan seterusnya. Adakah yang mempermasalahkan ungkapan tersebut?!

 

 

Termasuk latar belakang Syekh Abdurahman mengarang kitab ini adalah banyaknya tuduhan-tuduhan dusta yang dinisbatkan kepada imam Ibnu ‘Arabi.  Sedangakn Ibnu ‘Arabi adalah imam dalam ilmu Tasawuf. Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tidak dapat difahami sendiri dengan modal membaca secara otodidak. Banyak ulama mengatakan bahwa imam Ibnu ‘Arabi memiliki perkataan yang berada pada tingkatan yang tinggi, tidak dapat dipahami kecuali oleh orang yang berada pada tingkatan beliau. Adapun Imam Ibnu Arabi beliau mengatakan sendiri “Man lam yasyrab masyrabana haruma 'alaihi qiro’atu kutubina": siapa yang tidak merasakan minuman kami (masuk dalam golongan  sufiyyah untuk mengikuti terbiyah) haram membaca buku-buku kami". Perkataan ini tertulis di dalam kitab Penulis pada halaman 11.

 

 

Beberapa keistimewaan kitab ini, adalah banyak menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan al-Imam yang dikutip dari kitab monumentalnya Futuhat Makiyah. Penulis selalu menukil perkataan para ulama sebelum menuliskan penjelasan pribadi. Kitab ini sulit untuk didapatkan karena kitab yang ada ditangan resentator adalah cetakan pribadi yang dicetak atas permintaan Maulaya Syekh Yousef Muhyidin al-Bakhur al-Hasani hafidzahullah. Adupun kekurangan kitab ini adalah sulitnya untuk dibaca dan dipahami sendiri tanpa ada penjelasan dan bimbingan dari seorang guru.

 

 

Diantara  pembahasan di dalam kitab ini adalah sebagai berikut:  Perkataan Ibnu ‘Arabi: “Asal semua ciptaan adalah tiga (Tatslits), satu tidak dapat menghasilkan sesuatu. Dua adalah awal dari pada bilangan dan dari dua tidak dapat menghasilkan sesuatu selama tidak ada unsur ketiga yang menghubungkan di antara keduanya.” Dari perkataan ini banyak keritikan yang ditujukan kepada Imam Ibnu ‘Arabi. Di antara ulama yang mengkritik adalah Syeikh Muhammad Ghazali Rahimahullah. Beliau memberikan komentar: “Seumur hidup, saya belum pernah membaca perkataan yang lebih jelek dari ungkapan ini. Tidak diragukan lagi bahawasanya perkataan ini adalah justifiaksi diperbolehkannya akidah trinitas pada agama terdahulu (Nasrani). Sebagaimana firman Allah "Laqad Kafara al-ladzina qalu innallaha tsaalitsu tsalatsah". Sedangkan  Allah yang maha Esa berfirman "Allahu khaliqu kulli syai’in".

 

 

Munaqasyah: Ringkasan jawaban yang ditulis oleh Syeikh Abdurrahman adalah sebagai berikut, “Satu yang dimaksud oleh Imam Ibnu ‘Arabi adalah Dzat Allah. Dua yang dimaksud imam ‘Ibnu Arabi adalah Sifat Allah. Tiga yang dimaksud Ibnu ‘Arabi adalah Af'al Allah. Jadi yang dimaksud bahwa ciptaan itu bersumber dari tiga adalah segala ciptaan dihasilkan dari Af'al Allah bukan dari Dzat Allah, karena dzat Allah menghasilkan Sifat Allah, Sifat Allah menghasilkan Af'al Allah, dan Af'al Allah menghasilkan semua ciptaannya. Perkataan ini dikenal dengan istilah Tauhid Martabah. Penjelasan ini sesuai dengan syariat dan akal. Di dalam al-Quran banyak disebutkan af'al Allah yang memiliki makna menciptakan, memberi rezki, menurunkan rahmat dan lain-lain.

 

 

Sedangkan secara akal adalah jika makhluk keluar dari Dzat Allah maka makhluk itu adalah bagian daripada Allah dan dia memiliki sifat Qadim. Sebagaimama seorang anak adalah bagian dari dzat ayah dan ibu. Hal ini  tentu tidak sesuai dengan akidah islam. Oleh kernanya apa yang dimaksudtatslits (trinitas) dari ungkapan Ibnu ‘Arabi bukanlah trinitas yang difahami oleh Nasrani  yaitu Tuhan Bapa, Tuhan ibu Maryam,atau Ruh Qudus dan Tuhan Anak (Nabi Isa alaihi salam).

 

Tatslits yang dikenalkan Imam Ibnu Arabi sesugguhnya adalah pemahaman beliau dari kalimat Basmalah.


 بسم الله الرحمن الرحيم  . الله = الذات, الرحمن = الصفة ,الرحيم = الفعل..


 

pembahasan ini ada didalam kitab penulis dihalaman 29-33.

 

Kitab: Min Aimmatil Muwahhidin al-Imam Muhyiddin Ibnu Arabi

Tebal: 188 Hal

Penulis: Al-Syekh Abdurahman Hasan Mahmud

Cetakan: Pertama 1998 M

Percetakan: Maktabah Alamul Fikri

 

 





















Makam Sayidi Imam Ibnu 'Arabi al-Andalusi (dalam kaca) di Damaskus Suriah






Kepentingan Tasawwuf di Dalam Islam

Pendahuluan                                                                                                                                    


Pelbagai definisi Tasawwuf dari segi bahasa yang dikemukakan oleh ulama’-ulama’ antaranya ialah sufah,  suf,  suffah ,  suffi, sof, sofwah, sof, sufanah,sufah al-qafa, sofa’ namun perkataan sofa’  yang bermaksud suci  adalah pendapat yang sohih dan dipersetujui oleh kebanyakan ulama’berdasarkan kekuatannya dari segi bahasa. Adapun definisi Tasawwuf dari sudut istilah juga mempunyai pelbagai  penta’rifan bahkan mencapai sehingga dua ribu penta’rifan sebagaimana yang dinyatakan oleh Syeikh Zarruq r.a. Wujudnya pelbagai definisi Tasawwuf  di kalangan ulama’-ulama’ adalah berdasarkan pengalaman rohani yang mereka alami dalam mujahadah mereka menuju kepada Allah.  Syeikh Ahmad Zarruq rh mendefinisikan Tasawwuf sekaligus mengklasifikasikan ilmu Tasawwuf, Feqah, Usuluddin yang menjadi kewajipan terhadap semua mukallaf mempelajari dan mengamalkan ketiga-tiga ilmu tersebut, “Tasawwuf ialah suatu ilmu bertujuan memperbaiki hati dan mentafridkannya hanya kepada Allah Ta’ala semata-mata tanpa yang lain. Ilmu Feqah bertujuan membetulkan amalan, menjaga peraturan dan menzahirkan hikmah terhadap hukum hakam, Ilmu Usul (lmu Tauhid) untuk memantapkan muqaddimah keimanan dengan dalil-dalil serta menghiasi iman dengan keyakinan, ia seumpama ilmu peubatan yang bertujuan menjaga badan, ilmu nahu yang memperbetulkan lidah serta bermacam-macam lagi ilmu yang lain”.

Kepentingan Tasawwuf Di Dalam Mencapai Maqam Ihsan 

Tasawwuf adalah sebahagian daripada agama Islam yang tidak boleh dipisahkan oleh mana-mana individu muslim kerana berdasarkan sebuah hadith[1] Rasulullah S.A.W  yang menceritakan tentang pertanyaan Jibril a.s tentang Islam, Iman dan Ihsan  sehigga kemudiannya baginda S.A.W bersabda kepada para sahabat “Ini adalah Jibril as, ia datang kepada kamu untuk mengajar tentang agamamu”  menjadikan maqam Ihsan sebagai “Din” cara hidup dan merupakan salah satu rukun agama yang tiga.

Dalam hadith Nabi S.A.W  ini disebut “An Ta’budallah” bermaksud: “Kamu menyembah atau beribadat kepada Allah”. Beribadat kepada Allah, tentulah berdasarkan kepada Iman dan Islam. Ini bermakna, ibadah itu merupakan penghayatan ilmu tauhid dan feqah. Menurut Hadith tersebut , ibadah itu jika dapat ditingkatkan sehingga mendapat pengalaman rasa seakan-akan atau seolah-olah melihat atau menyaksikan hakikat Allah, maka pengalaman rasa seakan-akan melihat Allah itulah ihsan yang dikenali sebagai Tasawwuf atau Tariqah. Oleh sebab  itulah, maka ilmu Tasawwuf  atau Tariqah[2] dianggap sebagai ilmu rasa (ilmu zauqi) yang mana menurut Imam  Ghazali r.a., tidak dapat dicapai dengan jalan mendengar atau ta’lim seperti ilmu-ilmu yang lain kecuali dengan zauq dan suluk sahaja. Apabila ibadah itu telah sampai ke peringkat zauq, maka ibadah itu akan bertukar menjadi ubudiyyah.[3]

Seorang penulis Islam yang terkenal iaiu Syeikh Ahmad Asy-Syarbashi yang juga merupakan salah seorang tenaga pengajar di Al-Azhar Asy-Syarif telah menyebut di dalam majalah Al- Ishhah Al-Ijtimaie di bawah tajuk; Akhlak  di Sisi Kaum Sufi. Setelah beliau memperkatakan tentang Tasawwuf, taarif serta asal usulnya, beliau menyebut: “Aku yakin dan berpegang bahawa hakikat Tasawwuf” yang sempurna adalah martabat Ihsan yang telah digariskan oleh Rasul Islam Sayyidina Muhammad ‘alaihisshalatu wassalam dalam hadis Jibril iaitu ketika baginda mengatakan:

الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك.[4]


Gerakan tariqah mempunyai peranan dan pengaruh yang mendalam dalam dakwah Islam di Malaysia semenjak dahulu hingga kini. Dengan metod, kaedah dan uslub yang khusus untuk merealisasikan tawhid hakiki melalui kalimah syahadah La Ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah S.A.W., ahli tariqah menghayati rahsia tawhid hingga ke darjat maqam al-ihsan, sejajar dengan hadis Rasulullah S.A.W. yang bermaksud:

“Ihsan itu, hendaklah kamu beribadat kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, sekalipun kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhNya Dia melihat mu.”[5]

Ilmu usuluddin dan Ilmu feqah kesempurnaannya adalah dengan Ilmu Tasawwuf.  Ilmu usuluddin untuk mengesahkan Iman.Ilmu feqah untuk mengesahkan Amal manakala Ilmu Tasawwuf untuk menjernihkan Iman dan Amal. Kalau alim Ilmu usuluddin, Ilmu feqah tetapi tidak ada Ilmu Tasawwuf tidak beramal  seperti bersifat dengan sifat riya’, ‘ujub,takabbur, mencari ‘aib orang lain,mencari kelemahan orang, dan mencari kesalahan orang maka tidak sempurna imannya dan islamnya.
مقام الإحسان شرط لكمال الإيمان والإسلام
Maqam Ihsan merupakan SYARAT bagi kesempurnaan Iman dan Islam.

Walaupun maqam Ihsan merupakan pelengkap dan penyempurna Iman dan Islam namun harus diingat untuk menceburi di dalam bidang Tasawwuf  mestilah terlebih dahulu melalui ilmu syariat  yang terdiri daripada Feqah dan Usuluddin. Dikhuatiri apabila seseorang terus berada di dalam bidang Tasawwuf tanpa mengetahul ilmu syariat dan beramal dengannya maka ia boleh membahayakan dirinya kerana akan tertipu dek kerana berasa tinggi akan ilmu dan amalnya tanpa perlu melalui syariat dan juga telah merasa kelazatan di dalam Tasawwuf yang membuatkannya malas untuk melalui perjalanan ilmu Syariat yang dituntut supaya mempelajarinya.  Dikhuatiri dia terperangkap dengan tipu daya syaitan bahawa merasakan amalannya itu diterima oleh Allah S.W.T. Di sinilah pentingnya ilmu Syariat sebagai kayu ukur untuk mengetahui dan menilai sama ada amal ‘ibadat kita itu sah di sisi Allah S.W.T ataupun tidak.

Dan diketahui daripada demikian itu, bahawa Tasawwuf  adalah Ihsan yang disebut di dalam hadith Jibril ‘Alaihi as Salam sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W:  ((Ihsan ialah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya, jika kamu tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu)). Maka sesungguhnya Ihsan itu disebut selepas Islam dan Iman, dan pada demikian itu berkata oleh al-Imam Ahmad bin Abi Bakar bin Sumait “dan adapun Tasawwuf itu maka tidak dianggap seseorang itu sebagai ahlinya tanpa dia faqih (di dalam ilmu Syariat), dan sesungguhnya Syari’ (Allah) telah menerangkan Islam dan Iman dahulu sebelum Ihsan sebagaimana yang telah disebutkan  di dalam hadith  Jibril ‘alaihi as-Salam maka jadilah di dalam menuntut ilmu juga seperti yang demikian itu (yakni mempelajari Ilmu Islam iaitu Feqah dan Ilmu Iman iaitu Tauhid dahulu daripada Ihsan iaitu Ilmu Tasawwuf). Telah berkata oleh Imam al-Ghazali  “Sesiapa yang berilmu kemudian bertasawwuf maka dia telah berjaya, dan sesiapa yang bertasawwuf  sebelum menjadi faqih maka membahayakan akan dirinya.”[6]

Kepentingan Tasawwuf di Dalam Pembersihan Hati

 

Taklif syara’ yang diperintahkan kepada manusia iaitu yang khusus pada dirinya merujuk kepada dua bahagian:-

  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan amalan zhahir .

  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan amalan batin.


Atau dengan lain perkataan;

  1. Hukum hakam yang bersangkut paut dengan tubuh badan manusia.

  2. Amalan-amalan yang bersangkut paut dengan hati.


Amalan tubuh badan mempunyai dua jenis iaitu yang berupa suruhan dan larangan. Suruhan Allah adalah seperti solat, haji, dan sebagainya manakala larangan pula seperti membunuh, berzina, mencuri, minum arak dan seumpama dengannya. Amalan hati juaga ada yang berupa suruhan dan ada pula yang berupa larangan. Suruhan seperti beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul seluruhnya dan banyak lagi. Juga seperti ikhlas, redha, benar, khusyu’, tawakkal, dan sebagainya. Tegahan pula seperti kufur nifaq, bangga diri, sombong, riya’, tipu daya, hasad dengki dan banyak lagi. Sekalipun kedua-duanya dikira penting di sisi syara’  tetapi bahagian kedua yang berkaitan dengan hati ini adalah lebih penting jika dibandingkan  dengan bahagian yang pertama. Ini kerana yang batin adalah asas kepada yang zahir serta sumbernya, amalan batin juga punca amalan zahir. Kerosakan amalan batin mengurangkan kualiti amalan zahir. [7]

Menurut Mufti Besar Mesir, Syaikh Dr. Ali Jum’ah,  Tasawwuf merupakan program tarbiyah yang mementingkan penyucian jiwa  dari segala penyakitnya yang menghijab manusia daripada Allah S.W.T. Ilmu Tasawwuf juga bertujuan memperbetulkan dan memperbaiki penyelewengan jiwa dan akhlak yang berkaitan dengan hubungan seseorang insan dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan hubungan dengan diri sendiri  . [8]

Hidup ber’ibadah dan memuji-muji Allah itu meminta Ruhaniah manusia itu suci. Ini meminta kehidupan seorang itu suci. Cara-cara hidup suci mempunyai ketentuan-ketentuan yang luas, dan inilah yang menjadi lapangan Tasawwuf. Bagaimana supaya apa pun pekerjaan manusia itu, dengan pekerjaan itu ia dapt menambah suci hatinya kepada Tuhannya, ini pekerjaan Tasawwuf.[9]

Terdapat banyak dalil-dalil syara’ yang menunjukkan kedudukan hati di sisi Allah S.W.T. Antaranya ialah

فَمَن كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَلِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ  أَحَدَا


"Barangsiapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia beramal dengan amalan yang soleh dan janganlah dia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.[10]

يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ (88) إِلاَّ مَن أَتَى الَّلهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)


Pada hari yang tidak bermanfaat harta benda dan anak pinak melainkan orang yang datang menemui Allah dengan hati yang sejahtera”.[11]

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب.


Ingatlah bahawa pada jasad itu terdapat seketul daging , apabila daging itu baik maka baiklah jasad seluruhnya dan apabila ia rosak maka rosaklahjasad seluruhnya, ingatlah bahawa itu adalah hati.[12] 

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله لا ينظر أجسادكم ولا إلى صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم.


Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh badan kamu dan tidak pula kepada rupa parasmu akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.[13]

 

            Betapa nilainya kedudukan hati seseorang di sisi Allah sehingga di dalam syarat untuk diterima amal ibadat seseorang itu juga berkaitan dengan hati umpama ikhlas dan khusyu’ di dalam solat. Berdasarkan Firman Allah:

وأقم الصلاة لذكري (14: طه) .


Bermaksud: Dan dirikanlah sembahyang untuk mengingatiKu.

فويل للمصلين، الذين هم عن صلاتهم ساهون (4-5: الماعون).


Bermaksud: Maka kecelakaan besar bagi orang-orang yang solat, (iaitu) orang-orang yang lalai dari solat mereka.

Dan Sabda Rasulullah s.a.w:

"إن العبد ليصلي الصلاة لا يكتب له سدسها ولا عشرها، وإنما يكتب للعبد من صلاته ما عقل منها".


Bermaksud: Sesungguhnya hamba bersembahyang ia, padahal tidak ditulis padanya pahala:

Seperenam pun tidak, dan sepersepuluh pun tidak; hanya sanya ditulis untuk hamba itu pahala mengikut apa yang diingatkan oleh akalnya dari ‘ibadat sembahyangnya. (Diriwayatkan oleh Abu Daud, an-Nasaie dan Ibnu Hibban).

Andai hanya solat sah dari segi zahir tetapi batinnya tidak khusyu’ atau mempunya sifat riya’ atau takabbur maka hanya kepenatan jua yang akan diperolehinya sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W:

"كم من قائم حظه من صلاته التعب والنصب".


Bermaksud: Berapa ramai orang yang mendirikan sembahyang adalah habuan daripada sembahyangnya hanyalah kepenatan dan keletihan jua. (Hadith riwayat Ibnu Majah).

Membersihkan hati dan mendidik diri adalah diantara sepenting-penting fardhu ‘ain dan sewajib-wajib suruhan Ilahi berdasarkan dalil apa yang terdapat dalam al-Quran, Sunnah, serta kata-kata ulama’:-[14]

Dalil Al-Quran

  1. Firman Allah S.W.T.:


قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ..


“Ketahuilah bahawa sesungguhnya Tuhanku mengharamkan perkara-perkara yang keji, apa yang zahir daripadanya dan apa yang batin”.[15]

  1. Firman Allah S.W.T. lagi:


وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ


“ Janganlah kamu menghampiri perkara-perkara yang keji apa yang zahir daripadanya dan apa yang batin”.

Kekejian batin sebagaimana yang disebut  oleh mufassirin ialah hasad dengki, riya’, nifaq dan sebagainya.

Dalil As-Sunnah

  1. Dalilnya adalah semua hadis yang menyebut tentang hasad dengki, besar diri, riya’, iri hati dan sebagainya. Juga hadis-hadis yang menyuruh menghiasi diri dengan akhlak yang mulia serta muamalat yang baik maka rujuklah pada tempat-tempatnya.



  1. Hadis Rasulullah S.A.W.:


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الإيمان بضع وسبعون شعبة، فأعلاها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان.


“Iman itu lebih daripada tujuh puluh bahagian, yang paling tinggi ialah kata-kata: Laa Ilaha illallah dan yang paling rendah ialah membuang benda yang menyakitkan dari jalan. Dan malu itu sebahagian daripada iman.”

 

Kesempurnaan iman terletak pada kesempurnaan  bahagian-bahagian tersebut serta menghiasi diri dengannya. Pertambahan iman juga bergantung kepada pertambahan sifat-sifat tersebut sementara penurunan iman pula adalah dengan berkurangnya perkara tersebut. Penyakit batin sahaja sudah cukup untuk menghapuskan amalan manusia walaupun amalan itu banyak.

Dalil Daripada Kata-kata Ulama’

Berkata al-Faqihul Kabir al-‘Allamah Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiahnya yang masyhur: “Tegasnya ilmu ikhlas, ‘ujub, hasad dan riya’ adalah fardhu ‘ain. Begitu juga dengan sifat-sifat yang membinasakan jiwa seperti sombong, loba, hasad dengki, menipu, marah, perbalahan, permusuhan, tamak, bakhil, sombong, bermegah-megah, tipu menipu, angkuh daripada menerima kebenaran, tipu daya, keras hati, panjang angan-angan dan sebagainya yang telah jelas terdapat pada Kitab Ihya’ dalam tajuk perkara-perkara yang membinasakan. Tentang perkara tersebut Imam al-Ghazali berkata: “Manusia tidak akan terlepas daripadanya, maka wajib ia mempelajari perkara tersebut iaitu apa yang dianggap dirinya berhajat kepadanya. Menghilangkan penyakit hati adalah fardhu ‘ain. Tidak mungkin akan dapat menghilangkannya kecuali dengan mengetahui had batasannya, sebab-sebab, tanda-tanda serta cara mengubatinya. Sesiapa yang tidak mengenal kejahatan pasti terjebak ke dalamnya”.

Pengarang kitab Maraqi al-Falah pula berkata: “Thaharah atau penyucian zahir tidak bermanfaat kecuali setelah disertakan bersama thaharah batin dengan ikhlas dan menjauhkan diri daripada sifat iri hati, menipu dan hasad dengki, juga menyucikan hati sanubari daripada makhluk yang lain selain Allah. MenyembahNya kerana ZatNya, bukan kerana sebab atau ‘illah, bergantung harap kepadaNya justeru Dia mengurniakan pemberian dengan menunaikan segala hajat yang kamu memang memerlukan sebagai kasih sayangNya kepadamu. Di saat itu kamu menjadi hamba yang unggul kepada Raja yang satu lagi tunggal. Tiada sesuatupun yang memiliki dirimu selain Allah dan di saat kamu berkhidmat kepada Tuhanmu hawa nafsu tidak memilikimu”

Kepentingan Tasawwuf dalam Memelihara Anggota Zahir

 

Antara proses untuk membersihkan hati ialah dengan memelihara anggota zahir daripada melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh Allah S.W.T. Apabila diri seseorang sudah terpelihara daripada perbuatan-perbuatan yang dikeji maka sudah pasti hatinya akan menjadi bersih kerana hubungan rapat di antara anggota zahir dan batin itu yang saling berkait.

Maksud daripada ilmu Tasawwuf  itu membersihkan segala anggota yang zahir daripada segala perbuatan yang dikeji , supaya ada ia menyampaikan kepada membersihkan hati daripada segala sifat kecelaan, dan dikehendaki dengan segala anggota yang zahir itu tujuh anggota. Pertama mata, dan kedua telinga, dan ketiga lidah, dan keempat perut, dan kelima faraj, dan keenam dua tangan, dan ketujuh dua kaki.[16]

Ketahuilah bahawasanya apabila engkau melakukan sesuatu maksiat maka sebenarnya engkau melakukan maksiat itu dengan menggunakan anggota badanmu yang merupakan nikmat Allah yang dianugerahkannya kepadamu dan menggunakan amanat yang diberikan kepadamu. Jadi ketika engkau menggunakan anggotamu untuk melakukan maksiat bermakna engkau menyalahgunakan nikmat yang dianugerahkan dan mengkhianat terhadap amanah yang diberikan. Dan anggotamu adalah rakyatmu maka hendaklah engkau berfikir baik-baik bagaimana sepatutnya engkau menjaganya. Sabda Rasulullah S.A.W.:

فَكُلُّكُم رَاعٍ، وَكُلُّكُم مَسْؤُولٌ عَن رَعِيَّتِهِ


“ Maka kamu semua adalah pengembala (pemimpin) dan kamu semua akan ditanyai tentang pengembalaannya (kepimpinannya)”[17]

Maka jagalah baik-baik seluruh anggotamu. Khususnya anggotamu yang tujuh kerana pintu neraka itu tujuh pula dan telah ditentukan setiap pintu itu untuk dimasuki oleh kumpulan yang telah melakukan perbuatan maksiat dengan salah satu di antara tujuh anggota badan, iaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan dan kaki.[18]

 

Perkataan Ulama’ Yang Menunjuk Kepada Kepentingan Tasawwuf

 

            Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah membicarakan dalam kitabnya al-Munqiz Minadh Dhalal tentang ahli sufi, suluk serta jalan mereka yang benar yang menyampaikan kepada Allah Ta’ala. Beliau berkata: “Sesungguhnya secara yakin aku mengetahui bahwa ahli sufi ialah mereka yang salik pada jalan Allah Ta’ala yang khusus. Perjalanan hidup mereka adalah sebaik-baik perjalanan dan jalan yang paling betul serta akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Setelah itu beliau menyebut sebagai menolak dakwaan orang yang ingkar kepada ahli sufi dan menyerang mereka: Secara amnya, apakah yang perlu disebut oleh mereka yang sering mempertikaikan terhadap thariqah atau jalan yang menjadikan thaharah sebagai syarat pertama untuk menyucikan hati secara total terhadap selain Allah. Pembukaannya adalah sama seperti apa yang berlaku pada takbiratul ihram di permulaan solat iaitu hati tenggelam secara keseluruhannya dengan mengingati Allah sementara penghujungnya pula adalah fana’ fillah secara keseluruhannya”.[19]

Pendapat Ibnu Khaldun Tasawwuf itu suatu ‘Ilmu dari Syariat Islam. Kata negarawan besar dan ahli sejarah ini di dalam muqaddimahnya, bahawa ‘imu Tasawwuf ini satu ‘ilmu daripada  Syariat-syariat Islam. Asalnya jalan yang ditempuh oleh salaf al-ummah, yang ditempuh sahabat-sahabat besar dan tabi’in juga yang ditempuh orang-orang yang kemudian mereka. Asal Tasawwuf itu berhadap untuk ber’ibadat dan memutuskan diri dari yang lain Allah dan bertekun menghadapnya sahaja, serta memalingkan diri dari dunia dan perhiasan-perhiasannya. Ditambah lagi dengan zuhud dalam hal-hal yang direbutkan orang ramai, iaitu kelazatan harta dan pangkat (pengaruh) yang besar, serta berseorang diri terlepas diri dari orang ramai dalam khulwah menyembah Allah S.W.T. Sifat-sifat ini adalah sifat-sifat ‘umum sahabat dan salaf. Salaf iaitu tiga tingkatan ummah. Pertama sahabat, kedua tabi’in dan ketiga tabi’ tabi’in. umat yang datang sesudah tabi’ tabi’in disebut khalaf. Kemudian tatkala pada ‘abad kedua hijriyyah dan masa-masa yang dibelakang itu, perhatian manusia kepada dunia sudah semakin hebat dan dahsyat, dan banyaklah manusia yang turut ambil bahagian merebut dunia ini. Maka ketika itu orang-orang yang tetap pada pendiriannya semula, hanya berharap kepada Allah, lalu disebut sufi.[20]

Kesimpulan   

Ihsan itu merupakan satu daripada salah satu rukun daripada rukun-rukun agama maka wajib atas setiap seseorang mencapai maqam Ihsan dengan mempelajari dan mengamalkan ‘Ilmu Tasawwuf.

Biliografi

Zakaria Stapa. 1995. Akhlak & Tasawuf Islam. Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd. 1993.

Al-Maliki Mohammad Fuad Kamaluddin, Kepentingan Tariqah Dan Tasawwuf , Johor: Sekretariat

Menangani Isu-isu Akidah Dan Syariah Majlis Agama Islam Negeri Johor, Bil 7, April 2009.

Syeikh Abdul Qadir Isa, Haqai’q Tasawuf, c. 11. Syiria: Dar al-‘Irfan.

Prof. Madya Dr. Idris Abdullah dan Ideris bin Endot (2008), “Peranan Tariqah Tasawwuf Dalam Dakwah

dan Penyebaran Ilmu Pengetahuan di Malaysia”, Penjanaan Tariqah Tasawwuf Dalam Pembangunan

Rohani Negara, c. 1. Negeri Sembilan: Jabatan Mufti Kerajaan Negeri Sembilan.

Hussain bin Muhammad al-Haddad (2003), at-Tahzir min Khatr at-Tafkir, c. 3.  T.P., T.T.P.

Syeikh Ali Jumaah, Al-Bayan Al-Qawim li Tashih Ba’dhi Al- Mafahim, c. 1. Kaherah: Dar as-Sundus.

Haji Zainul ‘Arifin ‘Abbas (1994), ‘Ilmu Tasawwuf, c. 7.  Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn. Bhd.

Syeikh Abdul Qadir al-Mandili, Penawar Bagi Hati , Fathani: Matba’ah Bin Halabi, h. 4.

Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, Bidayatul Hidayah. Ahmad Fahmi Zamzam (terj.), c. 4.

Kedah: Khazanah Banjariah, h. 113 – 114.






[1]  Lihat Sohih Muslim bi Syarh al-Nawawi Jilid: 1, hal. 131-133. hadith no: 8




[2]  Istilah tarekat itu boleh dirujukkan kepada cara, kaedah, atau peraturan-peraturan khusus yang diikuti

dan dihayati kehendak-kehendaknya oleh seorang murid di bawah naungan satu kumpulan kesufian

yang mengikuti panduan seseorang syeikh yang terkemuka. Lihat  Zakaria Stapa. 1995. Akhlak &

Tasawuf Islam. Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd. 1993(i). “Kefahaman Tasawuf Di Kalangan

Muslim Kelantan”. Dalam Mohammed Yusoff Hussain etal (pyt.) Isu-isu Dalam Usuluddin dan Falsafah.

Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. 1993 (ii). “Beberapa Konsep Utama Dalam Tarekat

Tasawuf: Satu Analisis. Kertas Kerja Bengkel Peningkatan Kefahaman Akidah Islamiah, anjuran

Bahagian Hal Ehwal Islam, Jabatan Perdana Menteri, pada 5 – 7hb. Julai, 1993 di Langkawi. 1989.

“Tasawuf dan Tariqat: Satu pendekatan pengenalan” Pengasuh. 500 (Sept. – Okt., 1989): 53-60.




[3]  Al-Maliki Mohammad Fuad Kamaluddin, Kepentingan Tariqah Dan Tasawwuf , Johor: Sekretariat

Menangani Isu-isu Akidah Dan Syariah Majlis Agama Islam Negeri Johor, Bil 7, April 2009, h. 17




[4]  Syeikh Abdul Qadir Isa (2011), Haqai’q Tasawuf, c. 11. Syiria: Dar al-‘Irfan, h. 480.




[5] Prof. Madya Dr. Idris Abdullah dan Ideris bin Endot (2008), “Peranan Tariqah Tasawwuf Dalam Dakwah

dan Penyebaran Ilmu Pengetahuan di Malaysia”, Penjanaan Tariqah Tasawwuf Dalam Pembangunan

Rohani Negara, c. 1. Negeri Sembilan: Jabatan Mufti Kerajaan Negeri Sembilan, h. 63.




[6] Hussain bin Muhammad al-Haddad (2003), at-Tahzir min Khatr at-Tafkir, c. 3.  T.P., T.T.P, hal. 134 –

135.




[7]Syeikh Abdul Qadir Isa (2011), Haqai’q Tasawuf, c. 11. Syiria: Dar al-‘Irfan, h. 28.




[8] Syeikh Ali Jumaah, Al-Byan Al-Qawim li Tashih Ba’dhi Al- Mafahim, c. 1. Kaherah: Dar as-Sundus,

h. 87.




[9] Haji Zainul ‘Arifin ‘Abbas (1994), ‘Ilmu Tasawwuf, c. 7.  Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn. Bhd.,

h. 34.




[10] Surah al-Kahf: 110.




[11] Surah Asy-Syu’araa’: 88-89.




[12] Riwayat al-Bukhari




[13] Riwayat Muslim




[14] Syeikh Abdul Qadir Isa (2011), op.cit., h. 29 - 32.




[15] Surah Al-A’raaf: 33.




[16] Syeikh Abdul Qadir al-Mandili, Penawar Bagi Hati , Fathani: Matba’ah Bin Halabi, h. 4.




[17] Riwayat Bukhari dan Muslim




[18] Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, Bidayatul Hidayah. Ahmad Fahmi Zamzam (terj.), c. 4. Kedah: Khazanah Banjariah, h. 113 – 114.




[19] Syeikh Abdul Qadir Isa, op.cit., h. 464.




[20] Haji Zainul ‘Arifin ‘Abbas (1994), ‘Ilmu Tasawwuf, c. 7.  Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn. Bhd., h. 76 –  77.

Friday, 16 March 2012

Bibliografi Syeikh Soleh Al-Ja’fari Al-Husaini R.A

Pendahuluan

Nama beliau ialah Soleh bin Muhammad bin Soleh bin Muhammad bin Rifai’e yang bersambung keturunannya dengan Saiyidina Jaafar As-Sodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Saidina Ali bin Abi Talib suami Saidatina Fatimah Az-Zahra’ binti Rasulullah s.a.w. Kelebihan Syeikh Soleh di sini ialah beliau berasal dari keturunan Saidina Husain manakala sanad tariqatnya dari Saidina Hasan, Masya Allah! Nur ‘ala nur!

 

Bondanya

Syeikh Soleh Jaafari Selama lapan tahun ayah dan bonda Syeikh Soleh berkahwin namun masih belum dikurniakan cahaya mata. Keluarga bapanya bercadang untuk mengahwinkan ayahanda Syeikh Soleh dengan wanita lain kerana mengandaikan pasangan tersebut tiada rezeki. Dengan perasaan agak dukacita, bonda Syeikh Soleh pergi menziarahi makam Sayyid ‘Abdul ‘Ali bin Ahmad bin Idris (anak kepada Sayyid Ahmad bin Idris,wali qutub dunia, pengasas Tariqat Ahmadiyah Idrisiyah) lalu beliau berdoa dan bernazar, “Jika Allah mengurniakan aku seorang anak pada tahun ini,akan aku berpuasa dan akan aku hadiahkan pahala puasaku kepadamu (wahai Sayyid Abdul Ali) dan akan aku sedekahkan wang pada hari maulidmu kepada orang fakir”. Hajat bondanya tadi dimakbulkan Allah iaitu pada hari Khamis bersamaan 10 Jamadil Akhir tahun 1328 Hijrah, lahirlah bayi lelaki yang diberi nama Soleh di sebuah desa di wilayah Dunqula,Sudan. Keluarganya berasal dari Mesir tetapi berhijrah dan menetap di Sudan.

 

Datuknya, Syeikh Soleh bin Muhammad

Datuknya, (juga bernama Soleh), Syeikh Soleh bin Muhammad adalah dari kalangan ulama’ Al-Azhar dan menubuhkan kumpulan hafiz Al-Quran dan pengajian di salah sebuah masjid di Dunqula. Perjalanan hidup datuknya ini membawa kesan yang amat mendalam kepada kehidupan Syeikh Soleh dan mewarisi sikap sukakan ilmu,beribadat dan meninggalkan perhiasan dunia yang sementara ini. Beliau banyak belajar ilmu tajwid dan menghafaz Al-Quran dari datuknya dan guru-guru di sekitar Dunqula. Dalam satu syairnya, beliau melahirkan rasa kasih dengan memuji datuknya serta melahirkan syukur kepada Allah kerana datuknya menamakan “Soleh” iaitu nama datuknya sendiri. Beliau juga mendoakan kesejahteraan datuknya yang banyak mencurahkan bakti kepada masyarakat dengan mengajar masyarakat mengenali Al-Quran.

 

Ayahnya, Muhammad bin Soleh Ayahnya,

Syeikh Muhammad pula seorang peladang yang bekerja menguruskan ladang di siangnya manakala bangun malam dan beribadat hingga hampir waktu subuh. Beliau pergi ke masjid lebih awal dan membuka pintu masjid,menghidupkan lampu-lampu dan mengimami solat jemaah.Setelah itu,beliau pulang ke rumah untuk mengejutkan keluarga sebelum terbit matahari dan bersiap ke kebun selepas menikmati sedikit juadah sarapan yang disediakan isterinya. Begitulah rutin harian Syeikh Muhammad.

 

Keturunan Rasulullah

Syeikh Soleh Jaafari telah dikurniakan oleh Allah zuriat dan nasab yang paling mulia iaitu dari Rasulullah s.a.w. Pada permulaannya beliau tidak mengetahui dengan jelas tentang keturunannya ini hinggalah beliau menemui kertas-kertas yang menunjukkan keturunan bapanya dari Saidina Jaafar As-Sodiq. Ia dikuatkan lagi dengan mimpi beliau bersama Rasulullah. Ceritanya dalam sebuah kitab beliau, “Mimpi pertamaku ialah aku melihat Sayidah Zainab binti Saidina Ali. Ketika itu beliau berada di belakang tabir lalu beliau bertanya kepadaku, “Bagaimana keadaanmu dan keluarga Jaafari?” Satu ketika lain, beliau bermimpi melihat Rasulullah s.a.w bersama empat khalifah Ar-Rasyidin yang lain. Cerita Syeikh Soleh lagi: “Aku bersalam dengan Saidina Ali lalu dia memegang tanganku dan aku berkata kepadanya “Aku adalah dari zuriatmu dan bersambung keturunan dengan Jaafar As-Sodiq. Lantas Nabi s.a.w ketika itu menganggukkan kepala sebagai isyarat membenarkan kalimahku. Apabila terjaga dari tidur aku merasakan mimpi aku ini lebih aku sukai dari dunia dan seisinya”. Nisbah “Al-Jaafari” kepada Syeikh Soleh diberikan sendiri oleh Saidina Husain ibn Saidina ‘Ali melalui mimpi yang beliau ceritakan sendiri dalam kitabnya. Kata Syeikh Soleh: “Sebelum pemergian aku menunaikan fardu haji pada tahun 1393H, aku bermimpi dengan Saidina Husain di makamnya, setelah memberikan salam, aku bertanya, “Siapakah diriku ini?” Jawab Saidina Husain, “Jaafari.” Kata Syeikh Soleh lagi, “Kalau begitu, aku ini dari zuriatmu.” Saidina Husain berkata dengan nada suara yang tinggi, “Sam, Ham dan Yafis adalah zuriat Nuh (a.s), aku mengenali mereka dan dia (Nuh) mengenali mereka.” Kata Syeikh Soleh iaitu tentunya Saidina Husain mengenali zuriatnya.

 

Alam Remaja dan Perkahwinan Sejak kecil,

beliau mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya dan datuknya yang amat kuat berpegang pada agama. Pada usia 14 tahun,beliau telahpun menghafaz Al-Quran di masjid Dunqula yang padanya terdapat makam Sayyid ‘Abdul Ali bin Ahmad bin Idris. Syeikh Soleh sering menziarahi makam Syeikh Abdul ‘Ali bin Ahmad bin Idris di masjid Dunqula.Beliau telah mengambil tariqat Ahmadiyah Idrisiyah pada usia 19 tahun daripada guru murabbinya, Sayyid Muhammad As-Syarif bin Sayyid Abdul Ali bin Ahmad bin Idris (cucu kepada Maulana Sayyid Ahmad bin Idris). Syeikh Soleh telah mendirikan rumah tangga setelah usia beliau melewati 14 tahun. Ketika berusia 20 tahun, beliau dikurniakan seorang puteri bernama Fathiyah dan putera bernama Abdul Ghani. Syeikh Soleh kemudian telah mengembara menuntut ilmu hingga ke Universiti Al-Azhar. Kedua-dua cahaya matanya dipelihara oleh datuk dan nenda mereka di Dunqula.

 

Pengajian di Al-Azhar

Syeikh Soleh telah menuntut dari ramai para syeikh ketika tempoh pengajian di Al-Azhar. Antaranya Syeikh Muhammad Ibrahim As-Samaluti. Setelah beberapa bulan mengaji, Syeikh Soleh merasa amat kecewa dan dukacita dengan pergaulan antara lelaki dan perempuan yang berleluasa dan suasana hidup bandar yang amat berbeza dengan kehidupannya di kampung. Lalu terdetik dihatinya untuk pulang ke kampung sahaja bagi mengelak maksiat di depan mata. Pada satu hari, Syeikh Muhammad Ibrahim As-Samaluti telah membincangkan masalah ini dengan Syeikh Soleh sambil berkata: “Jangan kamu sangka para wali itu hidup dalam khalwat (lari dari masyarakat) sahaja. Tapi wali yang sebenar ialah mereka yang hidup ‘dalam kala jengking tapi ia tidak mampu menyengat kamu’. Duduklah di sini (bandar) dan bermujahadahlah”.

 

Kesusahan

Syeikh Soleh Jaafari juga banyak melalui kesusahan sepanjang tempoh pengajiannya di Al-Azhar. Beliau hidup berbekalkan duit perbelanjaan yang dikirim oleh ayahnya sebanyak 10 pound (junaih) sebulan. Beliau pernah tidak makan beberapa hari kerana kehabisan wang. Syeikh bercerita: “Acapkali aku tidur dalam keadaan lapar bahkan pernah 4 hari aku tidak makan apa-apa. Hingga satu malam,kerana terlalu lapar beliau menangis lalu terlelap. Dalam mimpinya,beliau bermimpi menemui Sayyid Ahmad Badawi (seorang wali Qutub, keturunan Rasulullah yang makamnya berada di Tanta) dalam keadaan mukanya tertutup kemudiannya dia membuka wajahnya dan aku dapati wajahnya berseri-seri seperti bulan purnama. Lalu dia bertanya “Hai Soleh, kenapa kau menangis?”. Aku jawab “Kerana terlalu lapar”. Lalu Sayyid Ahmad Badawi berdoa, “Semoga Allah luaskan rezeki untuk kamu tapi pesanku jangan kamu lupa nasib saudara-saudara mu yang lain”.

 

Gurunya

Antara guru Syeikh Soleh ialah: Syeikh Muhammad Bakhit Al-Mut’ie (usianya mencecah 103 tahun) Syeikh Habibullah As-Syanqiti Syeikh ‘Allamah Yusof Ad-Dijwi (‘alim tafsir dan hadith,merupakan anggota Jemaah Ulama’ Al-Azhar) Syeikh Ali As-Syaib Syeikh Hasan Madzkur Syeikh Muhammad Hasanain Makhluf Al-’Adawi (bekas Mufti Mesir) Syeikh Muhammad Al-Halab Syeikh Abdul Khaliq As-Syubrawi Sayyid Ahmad As-Syarif Al-Ghumari (ulama’ Maghribi)

 

Tamat Pengajian

Setelah menimba ilmu di Al-Azhar hingga mendapat sijil “Alamiyah Al-’Aliyah” yang setaraf dengan Phd. zaman ini,beliau pulang ke kampungnya di Dunqula. Keluarganya amat bergembira dengan kepulangan Syeikh Soleh. Beliau tinggal bersama keluarganya selama 3 bulan hingga satu malam beliau bermimpi Sayyidah Sukainah dan Zainab (kedua-duanya Ahli Bait Rasulullah). Mereka berdua berkata, “Sesungguhnya Soleh telah meninggalkan kami dan sibuk dengan isteri dan anak-anaknya di kampung.” Apabila terjaga dari tidur, Syeikh Soleh terus bergegas ke Kaherah.

 

Imam Masjid Al-Azhar

Syeikh Soleh telah dilantik sebagai Imam dan Khatib di Masjid Al-Azhar. Sepanjang bertugas sebagai imam, beliau telah banyak mewakafkan diri dalam bidang dakwah dengan menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Beliau juga masyhur dengan ‘syeikh pengajian Jumaat’ kerana selepas solat Jumaat beliau akan mengadakan pengajian tafsir dan hadith di Masjid Al-Azhar bermula lepas solat Jumaat hingga masuk waktu Asar. Semasa bertugas sebagai imam, beliau menghantar wang sebanyak 50 sen kepada bondanya di kampung hasil pendapatannya sebanyak 3.75 sen sebulan (kadar gaji ketika tahun 40-an).

 

Sanad Tariqat

Tariqat ialah jalan bagi mendekatkan diri seorang hamba dengan Allah melalui jalan yang jelas iaitu berguru. Syarat utama sebelum seseorang mengangkat janji (bai’ah) dengan syeikhnya ialah ikhlas,melazimi wirid dan bermujahadah. Seseorang yang merasakan dirinya lemah pasti memerlukan bimbingan dalam hidupnya. Sebagai contoh seseorang yang rasa dirinya tidak mahir komputer, pasti dia akan mencari seorang yang pakar dalam bidang tersebut mengajar hingga dia mahir dalam bidang tersebut. Begitu juga bab kerohanian dan hati. Syeikh memimpin tariqat dipanggil “syeikh murabbi” manakala yang dipimpin dipanggil “murid”. Sebaik-baik syeikh yang bergelar murabbi ialah yang mengikuti Rasulullah s.a.w sama ada cara berpakaian, bercakap, makan, minum. Semuanya mengikuti Rasulullah s.a.w kerana syeikh itu sebagai pembimbing. Tentunya ramai anak muridnya memerhatikan pergerakan syeikh. Syeikh Soleh telah membai’ah dengan gurunya di Sudan iaitu Syeikh Sayyidi ‘Abdul ‘Ali, Syeikh Soleh menyebut sanad tariqatnya: “Telah mengijazahkan kepada aku guruku yang juga murabbiku Sayyid Muhammad Abdul ‘Ali dari ayahnya Sayyidi Abdul ‘Ali dari gurunya ‘Allamah Sayyid Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi dari gurunya Sayyid Ahmad bin Idris.”

 

Pengasas Tariqat Jaafariyyah

Diceritakan sewaktu Syeikh Abdul Ghani berada di Sudan, beliau menulis surat kepada Syeikh Soleh,ayahnya. Beliau menulis : “Bismillahirrahmanirrahim..Kepada Syeikh Soleh Jaafari, syeikh bagi Tariqat Jaafariyah….” Beliau mengirim surat itu kepada salah seorang kawannya yang ingin bermusafir ke Kaherah. Kata Syeikh Abdul Ghani, “Bila Syeikh Soleh baca suratku ini, kau perhatikan wajahnya.” Bila Syeikh Soleh baca surat dari anaknya Syeikh Abdul Ghani menyatakan dia sebagai “SYEIKH TARIQAT JAAFARIYAH” Syeikh Soleh tersenyum. Lelaki tadi yang melihat Syeikh Soleh tersenyum, memberitahu Syeikh Abdul Ghani bahawa ayahnya tersenyum bila membaca surat itu. Tahulah Syeikh Abdul Ghani bahawa ayahnya meredainya. Selepas kewafatan Syeikh Soleh, seorang anak muridnya menemui surat wasiat Syeikh Soleh yang mengizinkan tariqatnya diberi nama Tariqat Jaafariyah Al-Ahmadiyah Al-Muhammadiyah. Al-Jaafariyah (dinisbahkan kepada beliau), Al-Ahmadiyah (nisbah kepada Sayyidi Ahmad Idris) manakala Muhammadiyah (nisbah kepada Nabi Muhammad s.a.w). Asas kepada tariqat ini ialah Al-Quran,hadith dan memuji nabi (madaih nabawi). Sebenarnya Tariqat Jaafariyah yang dibawa oleh Syeikh Soleh lahir, membesar dan dewasa dalam Masjid Al-Azhar.

 

Hubungan Akrab Dengan Al-Azhar

Hubungan beliau dengan Al-Azhar amatlah kuat dan dapat dilihat sewaktu hayatnya. Syeikh Soleh tidak keluar dari Masjid Al-Azhar selama lebih 50 tahun kecuali bagi menunaikan haji serta menziarahi ahli Bait Rasulullah s.a.w. Menurut cerita, tempat beliau berkhalwat di Masjid Al-Azhar ketika itu, pernah menjadi tempat khalwat bagi Sayyidi Ahmad Zaruq, seorang ahli sufi masyhur. Selepas kewafatan beliau, bilik tersebut dikunci dan tidak digunakan hingga apabila kedatangan Syeikh Soleh ke Al-Azhar 500 tahun kemudian. Ketinggian ilmu dan amal yang ada pada Syeikh Soleh Jaafari tiada siapa mampu pertikai lagi. Kebanyakan ulamak Al-Azhar mengiktiraf kealiman Syeikh Soleh termasuk Dr. Abdul Halim Mahmud, Syeikh Al-Azhar ketika itu.

 

Dr.Abdul Halim Mahmud

seorang ahli tasawuf yang ‘alim,tawaduk dan zuhud yang bertariqat Syazuliyyah. Dr. Abdul Halim Mahmud telah menggelarkan Syeikh Soleh dengan “Kiblat Ilmu” kerana ketinggian ilmu Syeikh Soleh dan sebagai balasannya Syeikh Soleh menggelarkan Al-Azhar di bawah pentadbiran Dr.Abdul Halim ketika itu sebagai “Kaabah Ilmu”. Pesan beliau, “Al-Quran dan Hadis adalah dua mukjizat agung. Menjadi kewajipan Al-Azhar memelihara mukjizat tersebut”. Kata Syeikh Soleh: “Al-Azhar diambil nama dari anakanda tersayang Rasulullah s.a.w iaitu Fatimah Az-Zahra’. Yang memelihara Al-Azhar iaitu Rasulullah s.a.w sendiri.”

 

Kitab Susunan dan Tulisannya

Sejarah Diwan Jaafari :

Syeikh Soleh telah mengarang qasidah hingga dibukukan menjadi 12 jilid. Salah seorang anak murid beliau, Haji Abdul Rauf memberitahu, selepas kewafatan Syeikh Soleh, salah seorang anak murid Syeikh Soleh bermimpi bertemu Syeikh Soleh, lalu syeikh berkata kepadanya “Buka peti ini!” sambil mengisyaratkan jari telunjuknya kepada satu peti. Keesokannya, anak muridnya memberitahu Syeikh Abdul Ghani keadaan mimpinya, lalu setelah dibuka peti tadi didapati terdapat helaian kertas yang tertulis syair dan qasidah yang ditulis syeikh sewaktu hayatnya. Syeikh Abdul Ghani memerintahkan supaya dibuku dan dicetak semua helaian syairnya. Hingga kini, qasidah karangan Syeikh Soleh masih dibaca setiap kali diadakan hadrah.

Pembukuan ‘Durus Jumaah’

Di Maktabah Jawami’ul Kalim juga terdapat 10 jilid buku pengajian Syeikh Soleh sewaktu menyampaikan pengajian di Masjid Al-Azhar setiap Jumaat. Penulisan pengajian tersebut ditulis oleh anak murid beliau dan dibukukan hari ini.

Selain itu, antara kitab Syeikh Soleh yang lain antaranya:

Risalah Fil-Haj (menerangkan tentang Haji dan Umrah) Fataha Wa Faidha Wa Fadhlum mina Allah fi Syarhi Kalimah Lailahaillah Muhammadur Rasulullah Syarah Matan Al-Ajrumiah (Nahu)

 

Keramat

Keramat paling besar kepada Syeikh Soleh ialah anak-anak muridnya yang kini berada di serata Mesir bahkan dunia. Tariqatnya juga kini tersebar luas di seluruh dunia terutama di Mesir hingga masjid serta markaznya terdapat di mana-mana. Paling menarik, setiap masjid dan markaznya akan dipelbagaikan aktiviti. Masjid tidak sebagai tempat solat sahaja. Bahkan masjidnya juga terdapat hospital, kelas tahfiz, maktabah, tempat penginapan dan muassasah bagi jemaah haji. Satu masa,diceritakan daripada seorang ulama’ Al-Azhar bernama Syeikh Tahir Al-Kharashi bahawa gurunya pergi menunaikan haji tahun 1954.Ketika beliau menziarahi makam Rasulullah di Madinah,beliau bersandar di salah satu tiang dalam masjid Nabawi lalu terlena. Dalam tidur itu beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah lalu Baginda bersabda “Apabila kamu ke Mesir nanti, sampaikan salamku kepada Soleh Jaafari”. Pada masa itu, guru Syeikh Tahir itu tidak mengenali lagi siapa dia Syeikh Soleh Jaafari. Setibanya di bumi Mesir,guru Syeikh Tahir itu mencari di mana Syeikh Soleh lalu ditemui dan beliau menceritakan kepada Syeikh Soleh apa yang dimimpinya.Syeikh Soleh pun menangis apabila mendengar Rasulullah memberi salam kepadanya.

Satu ketika sewaktu menyampaikan pengajian Jumaatnya, seorang lelaki bertanya kepada Syeikh Soleh, “Wahai syeikh! Bolehkah Nabi Khaidir (a.s) menyerupai sifat seorang lelaki atau ia bersifat dengan sifat-sifat tertentu?” Belum sempat syeikh menjawab, datang seorang lelaki. Nampak padanya seorang yang mempunyai hajat maka syeikh mendahulukannya. Setelah lelaki tadi beredar, syeikh berpaling kepada orang yang bertanya soalan tadi lalu bertanya, “Apakah yang kamu tanya tadi?” Lalu lelaki tadi mengulangi soalan dan jawab syeikh, “Lelaki yang bertanya aku selepas kau tadi itu ialah Nabi Khaidir (a.s).” Terkejut dengan jawapan syeikh, lelaki tadi mencari-cari kiri dan kanan akan tapi tidak menemuinya!

Syeikh Nabil pernah menceritakan salah seorang anak murid Syeikh Soleh berhadas besar tapi terlupa untuk mandi wajib. Kisah ini berlaku selepas kewafatan Syeikh Soleh. Malamnya lelaki tadi bermimpi bertemu Syeikh Soleh memegang satu timba air. Lalu Syeikh Soleh menjiruskan air tadi kepada lelaki tadi. Bila tersedar dari mimpi tahulah bahawa dia belum mengangkat hadas besarnya.

Dr.Atiyah, imam Masjid Syeikh Soleh Jaafari di Darrasah pernah menceritakan bahawa Syeikh Soleh Jaafari bermimpi bertemu Rasulullah s.a.w. Di sebelah kanan Baginda s.a.w ialah Saidina Abu Bakar, Umar dan beberapa sahabat yang lain (r.anhum). Di sebelah kiri Baginda s.a.w pula terdapat seorang yang beliau tidak kenali. Syeikh Soleh bersalam dan mencium tangan Rasulullah s.a.w dan kesemua sahabat di sebelah kanan Baginda tapi tidak bersalam dengan lelaki di sebelah kiri itu kerana tidak dikenalinya. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda, “Wahai Soleh! Kamu tidak mengenali lelaki ini?” Jawab Syeikh Soleh “Tidak,” “Inilah dia Busairi (Imam Busairi),” Ini bagi menunjukkan kelebihan mereka yang suka memuji Rasulullah s.a.w sesungguhnya fadhilatnya amatlah besar di sisi Allah dan Rasulullah s.a.w.

Syeikh Soleh dikurniakan menunaikan fardhu haji serta menziarahi datuknya, Rasulullah s.a.w di Madinah sebanyak 27 kali sewaktu hayatnya.

 

Keramatnya Dengan Saidina Husain ibn Saidina ‘Ali

Hubungan rohani beliau dengan datuknya Saidina Husain amatlah kuat. Beliau pernah menyebut, “Jika tidak kerana adanya Saidina Husain, aku tidak akan menetap di Mesir walau sedetik waktu.”

Seorang anak murid Syeikh Soleh bernama Haji ‘Aid telah berkahwin beberapa tahun tapi belum dikurniakan zuriat, beliau bertemu Syeikh Soleh menyatakan hasratnya untuk menimang cahaya mata. Syeikh Soleh berkata, “Sekarang kau pergi kepada Saidina Husain, cakap kepadanya seperti apa yang kamu beritahu aku tadi.” Lalu beliau pergi di sisi makam Saidina Husain dan menyebut seperti yang diberitahu kepada Syeikh Soleh tadi. Alhamdulillah, tidak berapa lama Allah kurniakan kepada zuriat. Satu kisah, setelah sempurna Syeikh Soleh mengarang sebuah burdah, akan tetapi burdah tersebut hanya memuji Saidina Husain sahaja. Maka datang Saidina Husain dalam mimpinya dalam keadaan yang marah lalu berkata, “Kamu memuji aku dan meninggalkan abangku, Hasan?” Lalu Syeikh Soleh menyambung lagi burdahnya memuji kedua-dua cucu Rasulullah s.a.w. dan menamakan burdah itu “Burdah Al-Hasaniyah Wal Husainiyyah” (burdah yang dinisbah kepada Hasan dan Husain.)

Terdapat risalah yang diedar di Aswan bertajuk “Keramat Syeikh Soleh Jaafari Dengan Saidina Husain bin Saidina ‘Ali”. Risalah ini memuatkan terdapat 65 kisah keramat Syeikh Soleh dengan datuknya itu iaitu Saidina Husain.

Syeikh Soleh menceritakan lagi, satu hari beliau bersarapan bersama anak-anak muridnya yang membawa ikan perkasam dan bawang. Selepas bersarapan, Syeikh Soleh pergi menziarahi Saidina Husain dan duduk di barisan pertama di hadapan makam. Tidak lama kemudian beliau terlelap. Dalam mimpi itu, datang Rasulullah s.a.w kepadanya dan berkata, “Kamu makan seperti ini (iaitu bawang dan ikan perkasam) dan kamu datang kepada Husain?” Sejak itu, beliau tidak lagi makan bawang dan ikan perkasam. Jika makan pun, beliau tidak akan terus menziarahi Saidina Husain. Kata Syeikh Soleh, “Itulah tarbiyah Nabi Muhammad s.a.w kepadaku.”

Syeikh Soleh pernah berkata, “Sesiapa (iaitu yang berada di Mesir) yang merindui Rasulullah s.a.w maka ziarahlah Saidina Husain, sesiapa yang rohnya merindui Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ binti Rasulullah, maka ziarahlah Sayyidah Zainab.”

 

Kewafatan

Setelah sekian lama berkhidmat dan mencurahkan ilmu di jalan Allah, Syeikh Soleh telah dijemput mengadap Allah pada petang Isnin, 18 Jamadil Awal tahun 1399 hijrah (sekitar tahun 1979 masihi) ketika berusia 71 tahun. Jasad beliau telah dikebumikan di masjid yang dibina sebelum kewafatannya di Hayyul Khailidin, Darrasah, Kaherah. Jenazah beliau dise mbahyangkan di Masjid Al-Azhar. Antara anak murid beliau ialah Al-Marhum Sayyid Muhammad ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ‘alim dari Mekah yang berketurunan Rasulullah dari cucu Baginda Saidina Hasan bin Imam Ali. Semoga Allah meredhai Syeikh Soleh Jaafari dengan keredhaan dan kerahmatan-Nya serta membalas segala kerja baik beliau dengan sebaik-baik balasan.

 

Tariqat Jaafariyah Pasca- Syeikh Soleh

Menurut cerita dari Haji Abu Bakar, seorang anak murid beliau, pada permulaan pengajian di Masjid Al-Azhar, Syeikh Soleh tidak akan mengijazahkan tariqatnya kepada seseorang yang masih belajar, jika sudah tamat pengajian, tidak akan diberikan tariqat kecuali setelah berkahwin. Namun syarat ini tidak lagi digunapakai di akhir hayatnya hingga kini. Tariqat ini terus berkembang di bawah pentadbiran putera serta pewaris Syeikh Soleh, Syeikh Abdul Ghani. Beliau menggunakan gelaran “Syeikh Umum Tariqat”. Seorang anak murid Syeikh Soleh memberitahu, Syeikh Abdul Ghani dipilih atas arahan dari Rasulullah s.a.w kepada Syeikh Soleh. Lalu, di akhir hayat Syeikh Soleh, Syeikh Abdul Ghani telah diangkat sebagai bakal pengganti Syeikh Soleh yang berlangsung di tanah suci Mekah. (Berdasarkan qasidah karangan Syeikh Abdul Ghani).

Syeikh Abdul Ghani banyak menghabiskan masa bersama datuk dan keluarganya di Sudan. Ini kerana Syeikh Soleh meninggalkan Syeikh Abdul Ghani bersama keluarganya ketika beliau berhijrah ke Mesir untuk bertugas sebagai tenaga pengajar di Al-Azhar. Ketika berusia 10 tahun, Syeikh Abdul Ghani mengambil tariqat dari ayahnya, Syeikh Soleh. Seawal usia 14 tahun, Syeikh Abdul Ghani telah mengarang qasidah Hijrah yang masyhur yang dibaca hingga hari ini setiap kali menjelang sambutan Awal Hijrah.

Selepas wafat Syeikh Soleh tahun 1979, langkah pertama yang diambil Syeikh Abdul Ghani ialah mendaftarkan Tariqat Jaafariyah di bawah Majlis ‘Ala Sufi Mesir (Majlis Tertinggi Tariqat Kesufian Mesir). Di zaman Syeikh Abdul Ghani lah, berkembangnya tariqat ini terutama di Mesir. Boleh dikatakan setiap muhafazah terdapat markaz Tariqat Jaafariyah. Di muhafazah Aswan sahaja terdapat hampir 20 buah markaz selain di muhafazah lain seperti Iskandariah, Helwan, Bani Suwef, Asyut, Isna, Mahalah Kubro, Qalyubiyyah, Manufiyah, Luxor dan Qina. Di Kaherah, antara markaz tariqat Jaafariyah ialah di Al-Amiriyyah, Darul Salam, Jabal Asfar. Masjid di Darrasah, Kaherah sekarang ini pula beroperasi sebagai Markaz Induk bagi Tariqat Jaafariyah.

Kini, Syeikh Abdul Ghani dalam keadaan uzur dalam usianya mencecah lebih 70 tahun. Sebelum ini, beliau sering kelihatan solat jemaah di masjidnya di Darrasah. Sesiapa yang ingin bertemunya boleh bertemunya setiap kali solat lima waktu tanpa perlu membuat temujanji terlebih dahulu. Namun, sejak tahun lalu, doktor menasihati beliau tidak boleh banyak bergerak akibat sakit yang dialami. Beliau hanya keluar ketika majlis hadrah (hari Ahad dan Khamis selepas maghrib) dan solat Jumaat sahaja.

Tiga orang anak lelakinya banyak mengambil alih urusannya, iaitu anak sulungnya bernama Sayyidi Muhammad Soleh, kedua bernama Sayyidi Husain dan ketiga bernama Sayyidi Hasan. Sayyidi Muhammad dipilih sebagai Timbalan Ketua Umum tariqat (Naib ‘umum al-Tariqah) manakala Sayyidi Husain sebagai ketua pemuda (Raid syabab) Kelebihan tariqat ini juga berjaya melebarkan sayap kekuatan ekonominya. Penubuhan Maktabah Jawami’ul Kalim di Jalan Jaafari, Darrasah diilhamkan oleh Syeikh Abdul Ghani awal tahun 1980. Begitu juga kedai roti di sebelah masjid sekarang ini yang dimiliki oleh Sayyidi Husain.

 

Sambutan Maulid Syeikh Soleh Jaafari

Hingga kini, Tariqat Jaafariyah telah berkembang dan mempunyai markaz di Libya, Sudan, Kuwait dan Malaysia. Bahkan terbaru ramai di kalangan warga Nigeria, Jordan dan Thailand mengambil tariqat dari Syeikh Abdul Ghani.

Sambutan maulid Syeikh Soleh terbahagi dua peringkat iaitu

pertama: Peringkat markaz masing-masing.

Peringkat Umum (dunia).

Setiap tahun akan diadakan majlis maulid di markaz masing-masing. Ia menjadi aktiviti tahunan dalam kalendar markaz masing-masing. Ini termasuk di muhafazah Aswan, yang akan diadakan pada musim cuti fasa 1. Sambutan maulid bagi peringkat markaz Aswan diadakan selama lima hari. Ia biasanya bermula Hari Ahad dan berakhir pada Hari Khamis. Pada malam penutup (Khamis), ia akan berlangsung di markaz besar Tariqat Jaafariyah bagi Aswan iaitu Hayyul ‘Aqad, Bandar Aswan.

Satu lagi sambutan maulid Syeikh Soleh peringkat seluruh dunia. Ia hanya diadakan sekali setahun iaitu minggu pertama dalam bulan Rejab setiap tahun bertempat di markaz induk tariqat di Darrasah. Sambutan juga selama 5 hari bermula hari Ahad dan berakhir Khamis bulan Rejab.

 

Aktiviti Tariqat Jaafariyah

Maktabah Turath Al-Jaafari- Menjual kaset,CD dan gambar sewaktu hayat Syeikh Soleh Jaafari. Terdapat sewaktu hadrah Ahad dan Khamis serta lepas solat Jumaat di Masjid Syeikh Soleh.

Maktabah Jawami’ul Kalim- Mencetak dan mengedar kitab-kitab sufi termasuk karangan ulamak Saudi seperti Al-Marhum Sayyid Muhammad ‘Alawi.

Muassasah Haji- Mengurus dan menganjurkan untuk ibadat haji, umrah dan ziarah.

Menyertai perarakan (masirah) anjuran Majlis ‘Ala Sufi Mesir untuk sambutan Maulidur Rasul, Awal Hijrah dan awal Ramadhan. (Majlis ‘Ala Sufi menganjurkan masirah 3 kali setahun).

Menyertai sambutan Maulid Ahli Bait Rasulullah s.a.w di Mesir.

Menganjurkan ziarah makam para wali dan ahli Bait Rasulullah s.a.w sekitar Kaherah pada hari raya kedua bagi kedua-dua Hari Raya Islam. (Aidiladha dan Aidilfitri).

Menganjurkan sambutan Maulid Syeikh Soleh bagi peringkat markaz masing-masing setelah persetujuan Syeikh Abdul Ghani. Sambutan Maulid Syeikh Soleh peringkat umum di markaz induk di Darrasah pada minggu pertama dalam bulan Rejab setiap tahun. ***************************************

Sumber : http://abnajaafariyyah.blogspot.com

Sumber rujukan :

Kitab-kitab karangan Syeikh Soleh Jaafari

Qasidah karangan Syeikh Soleh dan Syeikh Abdul Ghani.

Risalah “Keramat Syeikh Soleh bersama Saidina Husain” oleh markaz Jabal Taquq, Aswan. Mengenali Para Wali Allah Di Mesir PMRAM. Dinukil dari anak-anak murid Syeikh Soleh yang masih hidup: Haji Faruq,Haji ‘Aid, Haji Abdul Rauf, Haji Abu Bakr, Haji Sayid Musa, Haji Abul ‘Ila’.

SUMBER:

http://baullakeh.com/tokoh/bibliografi-syeikh-soleh-al-jafari-al-husaini-r-a/

Tuesday, 13 March 2012

Karamah Para Wali Dari Perspektif Naqli & Aqli

Karamah Para Wali Menurut Naqal & Aqal


Pendahuluan

Karamah ialah perkara yang menyalahi hukum adat tanpa disertai dengan dakwaan kenabian dan tidak juga muqaddimah bagi kenabian.  Allah menzahirkan karamah itu kepada hambaNya yang nyata kesolehannya yang iltizam dengan syariah, sentiasa mengikut nabiNya, yang disertai dengan aqidah yang sahih (I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah) amalan yang soleh – sama ada ia tahu dengan berlakunya karamah bagi dirinya ataupun tidak.[1]

Dewasa ini ada segelintir manusia yang tertutup pintu hatinya untuk meyakini kebesaran Allah melalui pemberianNya kepada hamba-hambaNya yang dikasihi. Mereka mengingkari adanya karamah di kalangan Auliya’ dengan alasan perkara itu mustahil berlaku. Sebenarnya mereka ini jahil berkaitan hukum akal dan hukum adat. Lantas mereka cepat menghukum bahawa karamah itu mustahil berlaku.

Perlulah disini penulis membahaskan definisi hukum akal dan hukum adat agar dapat memberi penjelasan yang utuh mengenai kewujudan karamah dikalangan wali-wali Allah Ta’ala.

Hukum akal itu ialah keputusan yang memutus seorang dengan akal fikiran yang membetuli bagi perkara-perkara yang difikir itu. Dan hukum akal itu tiga perkara iaitu wajib pada akal, mustahil pada akal dan harus pada akal.[2] (Soal), apakah ta’rif wajib ‘aqli?. (Jawab) iaitu “ما لا يقبل الانتفاء” ertinya barang yang tidak terima ia akan ternafinya, dengan makna tak diterimakan balik daknya. Dengan pitas (ringkas) maksudnya barang yang tentu sungguhnya tak terima balik dak sama ada barang itu sungguh semata-mata seperti sedia Allah Ta’ala masalan atau sungguh lagi  bertambah adanya, seperti qudrat Allah Ta’ala dan lainnya daripada segala sifat ma’ani. (Soal) apakah mustahil ‘aqli? (Jawab) iaitu “ما لا يقبل الثبوت”. Ertinya barang yang tidak terima ia akan sungguhnya dan sengutinya. Dengan pitas maksudnya barang yang tentu tidaknya tak terima sungguh dan sengutinya sama ada yang tentu daknya seperti baruNya (Allah) Ta’ala masalan atau yang tentu daknya, seperti lemahNya Ta’ala masalan. (Soal) apakah ta’rif jaiz ‘aqli? “ما يقبلها  “ ertinya barang yang terima ia akan keduanya dengan bergilir ganti (di dalam masa yang berlainan) yakni adanya atau tak daknya, seperti langit dan bumi berlakunya atau tidaknya.  Inilah yang dinamakan hukum-hukum aqal yang tiga. Maka siapa-siapa yang tidak mengetahui dan tidak pandai hukum-hukum aqal itu maka bukan ia yang beraqal dan menambah oleh setengah ulama’ di atas perkataan itu dengan katanya bahkan ia majnun.[3]

Bermula makna hukum ‘adat itu ialah keputusan (sesuatu perkara yang) kebiasaan (berlaku).  Ertinya, keputusan yang memutus akan dia oleh seseorang dengan sebab (ditilik kepada) berulang-ulang jadi dan berlaku sekurang-kurangnya dua kali berlaku seperti apabila makan banyak wajib kenyang dan pasti kenyang kerana kebiasaan sudah berulang-ulang begitu dan umpamanya. Dan yang berlaku ‘adat atau  berlaku kebiasaan yang berulang-ulang itu ialah empat perkara, pertama biasa berlaku ada (sesuatu) dengan (sebab) ada sesuatu perkara seperti ada (berlaku) makan ada (berlaku) kenyangnya. Keduanya biasa berlaku ada dengan (sebab) tiada (berlaku) seperti ada (berlaku) panas dengan (sebab) tidak mandi. Ketiganya biasa berlaku tiada dengan (sebab) tiada (berlaku) seperti tiada (berlaku) sejuk dengan tiada (berlaku) mandi. Keempatnya, biasa berlaku tiada dengan (sebab) ada (berlaku)  seperti tiada lapar dengan (sebab ) ada (berlaku) makan dan seumpanya daripada perkara yang biasa berlaku serta berulang-ulang. Itulah empat perkara yang dikatakan ‘adat atau kebiasaan yang berlaku dan kebiasaan jadi. Dan hukum ‘adat itu terbahagi ia kepada tiga bahagian. Pertamanya wajib ‘adat, dan mustahil ‘adat, dan harus ‘adat. Bermula wajib itu ialah barang yang pasti jadi dan pasti berlaku pada kebiasaannya seperti makan banyak maka wajib yakni pasti atau tentu kenyang dan apabila bakar dengan api maka tentu dan pasti hangus dan seumpanya. Dan mustahil pada ‘adat itu ialah barang yang tidak biasa berlaku dan tak biasa jadi seperti makan banyak tidak kenyang dan bakar dengan api tidak hangus dan umpamanya daripada perkara yang tidak biasa jadi dan tidak biasa berlaku. Dan harus pada ‘adat itu ialah barang yang boleh berlaku dan boleh jadi dan tidak berlaku dan tidak boleh jadi seperti kenyang apabila makan dua pinggang (pinggan) dan  boleh jadi kenyang dengan kurang sedikit (daripada dua pinggan) dan boleh jadi kenyang dengan lebih sedikit daripada dua pinggang (pinggan) . Itulah harus pada ‘adat dan tiga perkara hukum ‘adat ini termasuk semuanya di dalam harus pada ‘aqal.[4]

Jadi berbalik kepada masalah karamah, maka kita akan mendapati bahawa karamah yang berlaku itu hanyalah mencarik adat iaitu mustahil pada ‘adat kerana pada kebiasaannya tidak berlaku perkara sedemikian itu seperti kisah wali berjalan di atas air itu hanya mustahil pada ‘adat, kerana kebiasaannya tidak berlaku manusia yang boleh berjalan di atas air. Apabila dipandang dengan aqal fikiran maka kita dapati bahawa tidak mustahil sesuatu karamah itu berlaku kerana Allah Ta’ala berkuasa untuk menjadikan sesuatu perkara yang luar biasa dan sebagai kelebihan kepada hamba-hambanya yang dikasihi yakni wali-wali Allah Ta’ala. Maka kesimpulannya, hukum karamah itu hanyalah mustahil pada ‘adat tetapi harus pada ‘aqal.

Adapun dalilnya pada aqal maka bahawa ia perkara yang mumkin pada dirinya lagi patut bagi melengkapi qudrat bagi mengadakannya kerana bergantungnya dengan tiap-tiap mumkin pada mengadakan dan meniadakan atas persetujuan iradat dan tiadalah ia daripada yang mustahil-mustahil kerana tiada di lazim daripada mentaqdir akan jatuhnya mustahil pada ‘aqal maka tertentulah bahawa ia daripada mumkin yang tiada mustahil akannya oleh ‘aqal dan tiap-tiap yang mumkin tiada waridlah dengan ketiadaan jatuhnya oleh naqal maka haruslah bahawa memulia oleh Allah Ta’ala dengannya akan wali-walinya dan yang mengingkarkan bagi barang yang bergantung dengannya oleh qudrat mengingkari bagi qudrat  atau mensabit melemahkan atau mentarjih salah satu daripada dua tepi (pihak) mumkin dengan ketiadaan yang mentarjihkan dan sekelian ini mustahil atas qudrat Allah Ta’ala yang maha tinggi dan tiadalah makna bagi karamah malainkan bahawa Allah S.W.T memperlihat ia akan walinya atas haqiqat segala perkara dan ini masuk ia dibawah kehendak Allah Ta’ala wajiblah bersifat Ia dengannya kerana Ia yang menjadi baginya maka betapakah mustahil adanya hal keadaan ia satu bekas daripada segala bekas qudratNya dan seumpama tiada makna bagi karamah melainkan barang yang tersebut maka demikian juga tiadalah makna bagi mukjizat melainkan bahawa Allah Ta’ala memperkasyaf Ia (Allah) dengannya (mukjizat) akan nabiNya dan memperlihat ia akannya akan ghaibnya dan Ia (Allah) S.W.T Tuhan yang memperbuat lagi memilihi maka seumpama bahawa mukjizat tiadalah mustahil ia maka begitu jugalah karamah maka daripada sini bolehlah terjadi bahawa mengingkar akan karamah membawa akannya oleh mengingkar akan mukjjizat.[5]

Dalil-dalil Wujudnya  Karamah di Dalam al-Qur’an[6]

1 . Kisah Ashabul Kahfi yang masih hidup dalam keadaan selamat daripada segala bahaya setelah mereka tertidur di dalam gua selama 309 tahun. Allah S.W.T menjaga mereka daripada panas matahari:

وَترَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت  تَّّزَوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ اليَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقُرِضُهُم ذَاتَ الشِّمَالِ...


“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam ia menjauhi mereka ke sebelah kiri”.

(Surah al- Kahf: 17)


Sehinggalah sampai kepada firman Allah S.W.T;

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَات اليَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وكَلْبُهُمْ بَسِطٌ ذِرَاعِيهِ بِالْوَصِيدِ


Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur, dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannnya di muka pintu gua”.

 

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا


Dan mereka tinggal dalam gua mereka selama 300 tahun dan ditambah 9 tahun (lagi)”.

 

2. Sayyiditina Maryam menggoyang batang pohon kurma yang kering lalu ia menghijau dan menggugurkan ruthab – tamar mekar – yang masak bukan pada musimnya.

وَهُزِّى إِلَيْكَ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَقٍطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيّا


Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu nescaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma masak kepadamu”.

 

3. Apa yang diceritakan oleh Allah di dalam al-Quran kepada kita bahawa setiap kali Nabi Zakaria as masuk menemui Maryam di mihrab, baginda mendapati makanan berada di sisinya sedangkan tiada seorangpun yang masuk menemui Maryam selain baginda as. Baginda bertanya: Dari mana kamu memperolehi makanan itu? Maryam menjawab: Makanan ini datangnya dari sisi Allah.

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَمَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ


"Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab dia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: Wahai Maryam, dari manakah kamu memperolehi (makanan) ini? Maryam menjawab: Makanan ini dari sisi Allah”.

 

4. Kisah Ashif bin Barkhiya dengan Nabi Sulaiman as menurut pendapat jumhur mufassirin, yang terdapat dalam firman Allah:

قَالَ الَّذِى عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَبِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ...


"Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari ahli kitab: Aku akan membawa singgahsana itu kepadamu sebelum berkelip”.

 

Lalu dia datang dengan membawa siggahsana Balqis dari Yaman ke Palestin sebelum mata berkelip.

 

 

Dalil-dalil Wujudnya  Karamah di Dalam As-Sunnah[7]

 

  1. Kisah Juraij seorang abid yang bercakap dengan anak kecil di dalam buaian. Ia merupakan hadis sahih yang dimuatkan dalam Shohihain.


 

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لم يتكلم في المهد إلا ثلاثة: عيسى وكان في بني إسرائيل رجل يقال له جريح، كان يصلي فجاءته أمه فدعته، فقال: أجيبها أو أصلي؟ فقالت، اللهم لا تمته حتى تريه وجوه المومسات. وكان جريح في صومعته فتعرضت له امرأة وكلمته فأبى. فأتت راعيا فأمكنته  من نفسها فولدت غلاما، فقالت: من جريح فأتوه فكسروا صومعته وأنزلوه وسبّوه، فتوضأ وصلىّ ثم أتى الغلام، فقال: من أبوك يا غلام؟ فقال: الراعيز قالوا: نبني صومعتك من ذهب؟ قال: لا، إلا من طين...


Daripada Abu Hurairah ra daripada Nabi S.A.W , baginda bersabda: Tidak bercakap di dalam buaian kecuali tiga orang; Isa dan terdapat seorang lelaki Bani Isra’il  yang disebut Juraij. Sedang beliau solat lalu ibunya mendatanginya dan memanggilnya. Beliau berkata: Aku ingin menjawabnya atau ingin solat? Si ibu berkata: Wahai Tuhanku, janganlah Engkau matikan dia sehingga Engkau memperlihatkan  kepadanya wajah pelacur. Tidak lama kemudian – sedang Juraij berada di tempat peribadatannya datang seorang perempuan dan bercakap dengannya, lalu dia enggan. Perempuan  itu mendatangi pengembala kambing dan mendapat apa yang diingininya. Selepas itu dia melahirkan bayi dan berkata: Bayi itu daripada Juraij. Orang ramai datang kepada Juraij dan meruntuhkan tempat peribadatannya dan menghinanya. Juraij lantas mengambil wudhu’ dan bersolat. Setelah itu dia mendatangi anak kecil tadi. Dia bertanya: Siapakah ayahmu wahai si kecil? Jawab bayi: Pengembala kambing. Orang ramai kemudiannya berkata: Kami akan membina semula tempat peribadatanmu dengan emas? Beliau menjawab: Tidak, melainkan dengan tanah…’.

 

2. Kisah bayi yang bercakap di dalam buaian.

Hadis ini adalah penyempurna kepada hadis yang disebutkan sebelumnya.

..وكانت امرأة ترضع ابنا لها من بني إسرائيل، فمر بها رجل راكب ذو شارة: فقالت: اللهم اجعل ابني مثله، فترك ثديها وأقبل على الراكب، فقال: اللهم لا تجعلني مثله، ثم أقبل على ثديها يمصه. قال أبو هريرة: كأني أنظر إلى النبي صلى الله عليه وسلم يمص إصبعه. ثم مر بأمة، فقالت: اللهم لا تجعل ابني مثل هذه،: فترك ثديها فقال: اللهم اجعلني مثلها. فقالت: لِمَ ذاك؟ فقال: الراكب جبار من الجبارة، وهذه الأمة يقولون: سرقت، زنت ولم تفعل.


…Dan seorang perempuan dari Bani Isra’il yang menyusukan anaknya. Tiba-tiba seorang penunggang lelaki yang jahat telah lalu di hadapan perempuan tersebut. Perempuan tadi berkata: Wahai Tuhanku, jadikanlah anakku sepertinya. Bayi itu meninggalkan susunya dan menoleh kepada penunggang tersebut lalu berkata: Wahai Tuhanku, janganlah Engkau menjadikan aku sepertinya. Setelah itu dia menyusu kembali. Abu Hurairah berkata: Aku seolah-olah melihat Nabi SAW menghisap jari baginda. Kemudian datang pula seorang hamba maka perempuan tadi berkata: Wahai Tuhanku, janganlah Engkau jadikan anakku seperti orang ini. Bayi itu meninggalkan susunya dan berkata: Wahai Tuhanku, jadikanlah aku sepertinya. Perempuan tadi berkata: Kenapa begitu? Jawab bayi: Penunggang itu adalah seorang yang takabbur. Adapun hamba ini, manusia berkata kepadanya; engkau mencuri, engkau berzina sedangkan dia tidak melakukannya.

 

3. Kisah tiga orang yang memasuki gua, setelah pintu tertutup batu terbuka kepada mereka – sebagai jalan keluar. Hadis ini adalah hadis muttafaqun ‘alaih.

               عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:  انطلق ثلاثة رهط ممن كان قبلكم، حتى أووا المبيت إلى غار فدخلوه فانحدرت صخرة من الجبل فسدت عليهم الغار، فقالوا: إنه لا ينجيكم من هذه الصخرة إلا أن تدعوا الله بصالح أعمالكم، فقال رجل منهم: اللهم كان لي أبوان شيخان كبيران، وكنت لا أغبِق قبلهما أهلا ولا مالا فنأى بي في طلب شئ يوما فلم أرح عليهما حتى ناما، فحلبت لهما غبوقهما فوجدتهما نائمين فكرهت أن أوقظهما وأن أغبق قبلهما أهلا أو مالا، فلبثت والقدح على يدي أنتظر إستيقاظهما حتى برق الفجر، فاستيقظا فشربا غبوقهما. اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرج عنا ما نحن فيه من هذه الصخرة فانفجرت شيئا لا يستطيعون الخروج.


قال النبي صلى الله عليه وسلم: وقال الآخر: اللهم إنه كانت لي بنت عم، كانت أحب الناس إلي فأردتها على نفسها فامتنعت مني حتى ألمت بها سنة من السنين  فجاءتني فأعطيتها عشرين ومائة دينار على أن تخلي بيني وبين نفسها، ففعلت إذا قدرت عليها قالت: لا أحل لك أن تفض الخاتم إلا بحقه، فتحرجت من الوقوع عليها فانصرفت عنها وهي أحب الناس إلي، وتركت الذهب الذي أعطيتها. اللهم إن كنت فعلت ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة غير أنهم لا يستطيعون الخروج منها.


قال النبي صلى الله عليه وسلم،: وقال الثالث، اللهم استأجرت أجراء، فأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذي وذهب، فثمرت أجره حتى كثرت منه الأموال، فجاءني بعد حين، فقال: يا عبد الله! أد أليَّ أجري، فقلت له: كل ما ترى من أجرك من الإبل والبقر والغنم والرقيق فقال: يا عبد الله! لا تهتزئ بي. فقلت: إني لا أستهزيءبك. فأخذه كله فاستاقه فلم يترك منه شيئا. اللهم فإن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفجرت الصضرة فخرجوا يمشون.


Daripda Abu Abdul Rahman Abdullah bin Umar Ibnu al-Khattab ra huma, beliau berkata; Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Telah berangkat tiga orang lelaki sebelum kamu, sehingga mereka ingin bermalam di gua lalu mereka masuk ke dalamnya. Tiba-tiba batu yang besar jatuh dari bukit, pintu gua tertutup. Mereka berkata: Sesungguhnya tidak boleh menyelamatkan kami daripada batu ini melainkan kamu berdoa kepada Allah dengan amalan-amalan kamu yang soleh. Seorang lelaki daripada mereka berkata: Ya Allah! Aku mempunyai kedua ibubapa yang telah tua. Aku dan keluargaku tidak pernah minum sebelum mereka berdua minum. Suatu hari mereka memanggilku untuk meminta sesuatu. Aku belum dapat menunaikannya sehingga mereka berdua tertidur. Maka aku buatkan susu sebagai minuman mereka  berdua. Aku dapati mereka telah tidur. Aku tidak mahu mengejutkan mereka dan tidak mahu minum sebelum mereka, begitu juga dengan keluargaku. Aku berdiri tercegat sedang bekas minuman berada di tanganku. Aku menunggu mereka berdua bangun, setelah fajar menyinsing mereka berdua pun bangun dan meminum minuman (yang berada di tanganku) Ya Allah! Sekiranya aku melakukan perkara tersebut menuntut keredhaanMu maka lapangkanlah keadaan kami daripada pintu ini. Lalu dibukakan sedikit, mereka belum lagi mampu keluar.

Nabi SAW bersabda: Lelaki lain pula berkata: Ya Allah! Sesungguhnya aku mempunyai sepupu perempuan sebelah ayahku. Dia merupakan insan yang paling aku sayangi. Aku menginginkan dirinya untukku tetapi dia menegahku daripadanya. Sehinggakan kerananya aku jatuh sakit selama setahun. Lalu dia datang kepadaku. Aku berikan kepadanya 120 dinar agar dia bersendirian di antaraku dan dia. Dia lakukan. Sehingga apabila aku mendekatinya, dia berkata: Tidak dihalalkan bagimu untuk memakai cincin melainkan dengan haknya. Aku merasa resah untuk bersekedudukan dengannya lalu aku beredar daripadanya sedangkan dia adalah insan yang paling aku cintai. Aku tinggalkan emas – dinar – yang telah ku berikan kepadanya. Ya Allah! Sekiranya aku melakukan perkara tersebut kerana mencari keredhaanMu maka lapangkanlah keadaan kami ini. Batu itu terbuka tetapi mereka masih belum dapat keluar daripadanya.

Nabi SAW bersabda: Lelaki yang ketiga berkata: Ya Allah! Aku telah menyewa pekerja – buruh. Aku berikan mereka upah melainkan seorang lelaki yang meninggalkan upahnya dan pergi lalu aku laburkan upahnya sehingga ia bertambah banyak. Setelah masa berlalu, dia datang kepadaku dan berkata Wahai hamba Allah, tunaikan kepadaku upahku. Aku berkata kepanya: Semua unta, lembu, kambing, serta gandum yang kamu lihat adalah dari upahmu. Lelaki tadi berkata: Wahai hamba Allah, jangan kamu mempersenda-sendakanku. Aku berkata: Sesungguhnya aku tidak mempersendakanmu, ambillah kesemuanya lalu lelaki tadi mengambilnya tanpa meninggalkan sedikitpun. Ya Allah! Sekiranya aku lakukan perkara yang demikian itu untuk mencari keredhaanMu maka lapangkanlah keadaan kami ini. Batu tadi terbuka dan mereka semua pun berjalan keluar.

 

 

Karamah Adalah Kebenaran Bukan Khayalan[8]

Allah S.W.T. menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan (karamah-kekeramatan) kepada siapa sahaja dari kalangan hamba-hambaNya yang saleh, menurut kehendakNya, baik mereka yang dari kalangan ummat Muhammad S.A.W. maupun dari kalangan para pengikut Nabi-nabi atau Rasul-rasul sebelum beliau. Allah memberi ampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan pihak yang lain; memaafkan kesalahan pihak yang satu demi kebaikan pihak yang lain; dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan pihak yang lain. Demikianlah sebagaimana yang terdapat di dalam Hadis- hadis Arafat. Menurut salah satu dari Hadis tersebut Allah S.W.T. berfirman kepada para malaikat mengenai orang-orang yang berwuquf di padang Arafat dan berdoa:

إِنِّي عَجِبْتُ دُعَاءَهُم وَوَهَبْتُ مُسِيئِهِم لِمُحْسِنِيهِمْ


“Kukabulkan doa mereka dan Kukurniai maaf orang-orang yang buruk dari mereka demi kemaslahatan orang-orang yang baik dari mereka.”

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Thabarani, Rasulullah S.A.W. menyatakan:

إِنَّ الله وَهَبَ مُسِيئِيكُم لِمُحْسِنِيكُم وَأَعْطَى لِمُحْسِنِكُم مَا سَأَلَ، فَادْفَعُوا بِاسْمِ اللهِ.


“Allah mengaruniai maaf kepada orang yang buruk di antara kalian untuk kemaslahatan orang yang baik di antara kalian, dan Allah pun akan memberi apa yang diminta oleh orang yang baik. Kerananya hendaklah kalian berangkat (menunaikan ibadah haji) dengan nama Allah.”

 

Setelah mereka berkumpul (siap berangkat) Rasulullah S.A.W menerangkan.

إِنَّ اللّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ غَفَرَ لِصَالِحِيكُم وَشَفَّعَ صَالِحِيكُم فِي طَالِحِيكُمْ


“Allah azzawajalla telah memberikan ampunan kepada orang-orang yang baik dari kalian dan menerima permintaan syafaat (pertolongan) mereka bagi orang-orang yang buruk di kalangan kalian.”

Hadis mengenai itu yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi berbunyi sebagai berikut:

إِنِّي قَد غَفَرَتْ لَهُ وَشَفَعْتُهُ فِي نَفْسِهِ وَلَوْ سَأَلَنِي عَبْدِي هَذَا لَشَفَعْتُهُ فِي أهْلِ الْمَوْقِفِ.


“Aku telah mengampuninya dan telah memberi syafa’at kepadanya bagi dirinya sendiri. Jika ada hambaKu yang memohon hal itu kepadaKu tentu ia Kuberi syafa’at di tempat wuquf ini.”

Bahkan ada pula Hadis-hadis yang menegaskan, bahawa diantara para hamba Allah yang saleh, ada yang justru kerana kemulian (karamah) mereka itu Allah menurunkan rizki dalam kehidupan di alam wujud. Kerana mereka Allah menurunkan air hujan; menyelamatkan hamba-hambaNya, mencegah datangnya bencana, mendatangkan kebajikan serta menyayangi semua penghuni bumi.

Imam ‘Ali bin Abu Thalib karramallahu wajhahu menuturkan:

الْبُدَلاَءُ بِالشَّامِ، وَهُم أَرْبَعُونَ رَجُلاً، كُلَّمَا مَاتَ رَجُلٌ أَبْدَلَهُ اللَّهُ رَجُلاً مَكَانَهُ يُسْتَسْقَى بِهِمِ الْغَيْثُ، وَيُنْتََصَرُ بِهِم عَلَى الأَعْدَاءِ، وَيُصْرَفُ بِهِم عَن أَهْلِ الشَّامِ الْعَذَابُ.


“ Di negeri Syam terdapat orang-orang saleh, mereka berjumlah empat puluh orang. Bila ada seorang di antara mereka yang meninggal dunia, Allah menggantinya dengan orang lain menempati kedudukannya. Kerana mereka itulah Allah menurunkan air hujan, memenangkan mereka dalam menghadapi musuh dan menghindarkan penduduk negeri itu (Syam) dari bencana azab.”

Hadis tersebut diketengahkan oleh Imam Ahmad dan rawi-rawinya adalah para periwayat Hadis-hadis shahih. Syarih bin Ubaid – ia dapat dipercaya – mengatakan, bahwa ia sudah mendengar Hadis tersebutdari al-Miqdad lebih dulu.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ubadah bin as-Shamit menuturkan, bahawasanya Rasulullah S.A.W. pernah menyatakan:

الأَبْدَالُ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ ثَلاَثُونَ مِثْلُ خَلِيلِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ، كُلَّمَا مَاتَ رَجُلٌ أَبْدَلَ اللَّهُ مَكََانَهُ رَجُلاً.


“ Orang-orang yang saleh di kalangan ummat ini (ummat Muhammad S.A.W.) berjumlah tiga puluh orang. (Mereka itu) seperti Khalilur-Rahman (orang yang amat dekat dengan azzawajalla). Bila seorang dari mereka meninggal dunia, Allah menggantikan pada kedudukannya dengan orang yang lain.”

Hadis tersebut dikemukakan oleh Imam Ahmad dengan rawi-rawi shahih. Al-Ujaili dan Abu Zar’ah menilainya sebagai Hadis yang boleh dipercaya. Sedangkan selain dua orang ahli Hadis itu menilainya lemah.

 

Karamah Juga Berlaku Kepada Wali Allah Yang Sudah Mati

 

Karamah yang berlaku kepada hamba-hamba Allah yang soleh itu; tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahawa ia berakhir dengan berakhirnya hidup seseorang wali di kehidupan alam dunia ini. Bahkan banyak dalil yang menunjukkan sebaliknya sebagaimana yang telah sabit di dalam hadis[9] bahawa Allah S.W.T melindungi jasad Sayyidina A’shim bin Tsabit r.a selepas kewafatan beliau – yang mana Allah telah menghantar satu kumpulan tebuan yang menjaga jasad tersebut daripada dikhianati oleh orang-orang kafir yang mana sebelum itu mereka ingin memotong jasad beliau.[10]

Mufti Negeri Sembilan yang pertama iaitu Syaikh Ahmad bin Muhammad Sa’id bin Jamaluddin al-Linggi telah menerangkan karamah yang berlaku sesudah wafat seseorang wali didalam kitabnya Ittihaf Zawi al-Raghibat[11] di dalam lima fasal. Fasal yang pertama, ketahuil olehmu bahawa mereka yang telah mengetahui ia akan hakikat mati tiadalah membeza ia antara tasorruf wali dahulu daripada wafatnya atau kemudiannya dan bahawa mati itu pada sisi ahlul haq ialah berpindah ruh daripada satu negeri kepada satu negeri kerana bahawa bagi ruh itu empat kelakuan, satu kelakuan dahulu daripada ada segala jisim seperti telah datang dengannya oleh khabar kemudian satu kelakuan masa ada segala jisim hal keadaan bersepakai ia dengannya dan jisim dan terputuslah tasarrufnya dan dinamakannya barzakh, kemudian satu kelakuan kembalinya kepada segala jisim dan dinamakannya bangkit dan al-hayat al-ukhrawiyah dan iaitu kemudian daripada mencerainya bagi jisim tanggal ia atas barang yang ada ia daripada pengetahuan atau jahil atau bersih atau kotor atau hampir atau jauh inilah barang yang ittifaq atasnya oleh ahlul haq serta ittifaq mereka itu atas bahawa ruh kemudian daripada mencerainya bagi jisim tiada fanalah ia dengan fananya (jisim) dan telah mensaksi oleh Quran dan Hadis dengan bahawa segala ruh mereka-mereka yang berbahgia dan yang celaka hidup ia dan bahawa mereka itu dini’mat akan mereka itu atau di’azab.

Fasal yang kedua, kemudian daripada sudah diketahui bahawa tasrif itu daripada jumlah karamah-karamah ilal akhir. Maka hendaklah diketahui bahawa perkataan yang sebenar yang diittifaq atasnya bahawa tiada adalah ia bagi sekelian wali bersamaan adalah ia pada masa hidup atau kemudian daripada wafat bahkan tasrif yang sempurna tiada adalah ia melainkan bagi yang sempurna-sempurna daripada auliya’ Allah Ta’ala dan Ahli at-Tamkin maka mereka itu berlebih kurang pada kuat tasrif dengan kekuatan segala kelakuan dan darjat dan martabat dan atas sekira-kira minuman mereka itu dan berlebih kurang apabila adalah ia sabit bagi martabat-martabat nabi-nabi yang adalah martabat-martabat mereka itu setinggi-tinggi kesempurnaan yang dibangsakan kepada manusia maka mereka-mereka yang dibawah mereka itu daripada martabat terlebih utama dan tahqiq demikian itu bahawa tiap-tiap martabat daripada martabat-martabat yang sabit ia bagi wali-wali baginya dua taraf permulaan dan kesudahan maka barangsiapa sampai ia kepada tepi (pihak) permulaan daripada mana-mana martabat adalah dibilang akannya daripada ahlinya dan tinggallah berlebih kurang antara mereka itu dengan sekira-kira persediaan dan kesempurnaan dan perdahuluan dan persungguhan dan dalil demikian itu martabat mereka-mereka yang mati syahid baginya kesudahan dan iaitu bahawa dibunuh akannya pada jalan Allah antara hadapan Rasulullah S.A.W telah berfirman Allah Ta’ala

لاَ يَسْتَوِي مِنكُم مَن اَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ اُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ اَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.


“Tiadalah bersamaan daripada kamu mereka yang bernafkah ia dahulu daripada menakluki Makkah dan berperang ia mereka itulah yang terlebih besar darjat daripada mereka-mereka yang bernafkah mereka itu kemudian daripada itu dan berperang mereka itu dan akan tiap-tiap menjanji oleh Allah Ta’ala akan syurga dan Allah Ta’ala dengan barang yang kamu ber’amal amat mengetahui [12]

Dan serendah-rendah darjat mati syahid ialah barang yang mensabit akannya oleh Rasulullah S..A.W bagi satu bilangan daripada mereka-mereka yang mati seumpama yang mati terbakar dan yang karam dan yang terkena hempap dan yang mabthun dan lain daripada mereka itu dan diqiyaskan atas martabat-martabat syahadah-syahadah  akan yang lainnya daripada martabat-martabat.

Fasal yang ketiga, ketahuilah olehmu bahawa karamah-karamah tiadalah masuk ia dibawah usaha hamba dan ikhtiarnya hingga boleh dikata bahawa terputus ia dengan mati seseorang maka perkataan dengan ketiadaan harusnya (karamah) kemudian daripada mati ialah mentarjih bagi salah satu daripada dua taraf perkara yang mumkin dengan ketiadaan yang mentarjih bahkan ia memperlemahkan bagi kuasa tuhan dan tiada dikatakan bahawa hidup syarat pada jatuhnya (karamah) seperti telah lalu kerana kami berkata bahawa ini tiada boleh ia melainkan apabila adalah ia dengan usaha hamba dan ikhtiarnya dan ini karamah daripada kejadian Allah Ta’ala tiada diberhenti memperadakannya atas hidup mereka yang dimulia akan dia dengannya.

Fasal yang keempat, ketahuilah olehmu telah jatuhlah beberapa karamah bagi wali-wali  kemudian daripada wafat mereka itu dan telah sabitlah ia pada tiap-tiap negeri dan masa atas sekira-kira sampailah ia akan had tawatir yang tiada sayugialah mengingkarkannya setengah daripadanya barang yang jatuh ia pada hayatnya (Rasulullah) S.A.W bagi ‘Asim bin Sabit bin Ibnu al-Aflah seorang daripada sahabatnya yang masyhur ketika dibunuh akannya dan menghendakilah Huzail mengambil akan kepalanya supaya menjual oleh mereka itu akannya kepada Salafah binti Sa’ad bin Syuhbah di Makkah dan adalah ia ketika memperkena ia yakni membunuh ia akan bapanya pada perang ahad bernazar ia demi jika kuasa ia atas kepala ‘Ashim sesungguhnya lagi akan meminum ia didalam tempurung kepalanya akan araq maka menegah akannya oleh jantan-jantan lebah maka berkata mereka itu biarkan oleh kamu akannya hingga berpetang-petang ia maka pergi ia daripadanya dan mengambillah kami akannya maka membangkit oleh Allah Ta’ala akan wadi maka membawa ia akan ‘Ashim dan pergi ia dengannya dan adalah ‘Ashim telah memberi ia akan Allah Ta’ala akan perjanjian bahawa tiada menyentuh ia akan seorang musyrik pun dan tiada menyentuh akannya oleh musyrik selama-lama pada masa hayatnya dan adalah Sayyidina ‘Umar r.a berkata ia memelihara oleh Allah Ta’ala akan hamba yang mu’min adalah ‘Ashim bernazar ia bahawa jangan menyentuh ia akan musyrik dan jangan menyentuh akannya oleh seorang musyrik selama-lama pada masa hayatnya maka menegah akannya oleh Allah Ta’ala kemudian daripada wafatnya seumpama tertegah ia pada masa hayatnya dan ketika dikhabar akan nabi S.A.W dengan yang demikian bersabdalah ia (telah pergi ia  dengannya kepada syurga).

Fasal yang kelima, telah menaqal oleh yang mempunya kitab badai’ al-zahri fi waqai’ ad-Dahri daripada al-‘alamah ibnu al-Jauzi rahimahullah Ta’ala bahawa Sayyidina al-Khidir ‘alaihi as-salam adalah ia menghadiri akan majlis fiqh bagi al-Imam Abi Hanifah r.a pada tiap-tiap hari kemudian daripada sembahyang subuh hal keadaan mempelajari ia daripadanya akan ‘ilmu syari’at maka tatkala diwafat akannya (al-Imam Abi Hanifah r.a) memohon ia (Sayyidina al-Khidir ‘alaihi as-salam) akan Tuhannya ‘azza wa jalla bahawa mengkembali ia akan ruhnya di dalam quburnya hingga sempurnalah baginya ‘ilmu syariat maka adalah ia mendatang  pada tiap-tiap hari seperti kebiasaannya hal keadaan mendengar ia daripadanya akan beberapa masalah syari’ah daripada dalam qubur dan berkekalan ia atas demikian itu selama lima belas tahun hingga menyempurna ia atasnya akan ‘ilmu syariat kemudian daripada wafatnya.

 

Pensabitan Karamah dan Hukum Mengingkarinya

 

            Adalah tidak dapat disangkal lagi pensabitan karamah di dalam Islam melalui sumber utamanya iaitu al-Quran dan al-Hadis sebagaimana yang telah dinyatakan di atas.  Kesahihan yang tiada tolok bandingnya daripada kedua-dua sumber hukum ini yang mana tidak boleh ditolak walaupun sebahagian. Adalah wajib beriman kepada segala perkara yang dinyatakan di dalam al-Qur’an dan al- Hadith.

Sesungguhnya karamah para wali telah sabit di dalam kitab Allah S.W.T. dan sunnah rasulNya S.A.W., juga dalam atsar para sahabat ridhuanahullah ‘alaihim dan generasi selepas mereka sehingga sekarang. Perkara tersebut telah diakui oleh jumhur ulama’ Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang terdiri dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, ulama’ usul serta masyaikh sufi. Kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan perkara tersebut sebagaimana telah diakui kebenarannya melalui penyaksian mata di dalam pelbagai zaman Islam yang dilalui. Dari segi makna, ia tsabit secara mutawatir meskipun secara terperinci ia dikira ahad. Hanya ahli bid’ah dan menyeleweng sahaja yang mengingkarinya disebabkan iman mereka yang lemah terhadap Allah Ta’ala, sifat serta perbuatanNya.[13]

Di dalam perbahasan tafsir ayat mengenai kisah Sayyidina Musa dan Sayyidina al-Khidhir  keatas nabi kita ‘alaihumassalam – Kami mendapati al-Qurthubi juga mengakui pensabitan karamah bagi wali-wali. Maka diantara perkataan Syaikh al-Qurtubi rahimahullah yang berkaitan dengan perkara yang demikian itu ialah “Karamah wali-wali itu telah sabit di atas khabar yang sabit, dan ayat-ayat (nas al-Quran dan al-Hadis) yang mutawatir, dan tidak mengingkarinya melainkan mubtadi’ yang kafir, atau fasiq yang bersangatan .[14]

Beriman dengan berlakunya karamah auliya Allah itu merupakan antara perkara yang disepakati (ijma’) oleh seluruh umat Islam. Para ulama’ mengirakannya sebagai satu dasar daripada dasar-dasar aqidah. Mengingkarinya boleh menyebabkan seseorang muslim terkeluar daripada agamanya. Tambahan pula karamah bagi auliya’ itu diakui oleh dalil-dalil aqal yang nyata dan dalil-dalil naqal yang sahih. Manakala kematian pula hanya mengenai jasad dan bukannya ruh. Oleh itu tidak harus mengingkari karamah auliya’ Allah as-Solihin sama ada ketika mereka hidup ataupun selepas mereka meninggal.[15]

Ketahui olehmu tiada sayugialah bagi tiap-tiap mereka yang ber’aqal bahawa mengingkar ia akan barang yang jatuh ia bagi auliya’ Allah Ta’ala  daripada karamah -karamah dan memperlihat atas setengah daripada yang ghaib-ghaib dan men(g)khabar dengannya kerana bahawa nafas wali terkadang-kadang bernafas ia dengannya pada ‘alam malakut dengan sekira kuat persediaan dan hilang yang menegahkan dan dalil harus atas karamah dan ketiadaan jauhnya atas auliya’ Allah bahawa Allah S.W.T telah menjadi ia akan ‘alam sekeliannya khadam bagi anak-anak adam sekeliannya mukmin mereka itu dan yang kafir mereka itu yang taat daripada mereka itu dan yang ‘ashi daripada mereka itu dan memboleh ia akan mereka itu daripada memerintah dan mentaat ia bagi mereka itu akan binatang-binatangNya dan tumbuhanNya dan air-airNya dan pohon-pohon kayuNya dan awanNya dan hujan-hujanNya  hal keadaan mereka itu bagi yang lainnya ber’ibadah mereka itu dan dengannya kafir mereka itu maka betapakah tiada mengkurnia ia akan yang demikian bagi wali-wali yang soleh dan ahlu hadratNya yang muqorrobin dan ialah Tuhan yang memperbuat bagi tiap-tiap suatu dan Ia atas tiap-tiap suatu amat berkuasa dan tiada jatuhlah me(ng)in(g)kar akan karamah melainkan daripada mereka-mereka yang mubtadi’ dan yang mulhid pada ugama dan tiadalah pelik kerana mereka itu di haram akan mereka itu memperlihat akan suatu daripadanya daripada diri mereka itu dan guru-guru mereka itu dan telah berpegang mereka itu bagi mengingkar akannya dengan beberapa sebab yang tiada betul dan hujah-hujah yang tiada boleh dipakai setengah daripadanya.[16]

Kesimpulan

Maka telah sabitlah karamah para wali di dalam al-Quran dan al-Hadis yang tidak boleh ditolak oleh mana-mana individu muslim kerana ianya boleh menjadikan seseorang kufur dengan hal yang demikian itu. Perantaraan menggunakan hukum ‘aqal dan memahami hukum ‘adat dapat memberi keyakinan kepada kita untuk memahami dan meyakini akan kewujudan karamah para wali Allah Ta’ala.

Bibliografi

Syeikh Ali Jumaah (2006), Al-Bayan Al-Qawim li Tashih Ba’dhi Al- Mafahim, c. 1. Kaherah: Dar as-Sundus.

Abdul Aziz bin Ismail al-Fathoni (1994), Risalah al-Misbah al-Munir fi Ma’rifatillah al-Qadir, Fathoni: Matba’ah bin Halabi.

‘Abdul Rahman bin Muhammad (t.t.), Khulasoh Tauhid, T.T. T.T.P.

Syaikh Ahmad bin Muhammad Sa’id bin Jamaluddin al-Linngi al-Melayuwi (t.t.), Ittikhaf Zawi al-Raghibat  bi Bayani Karamati al-Auliya’ fi al-Hayati wa ba’da al-Mamat, T.T.P., T.T.

Syaikh  Abdul Qadir Isa (2011),  Haqai’q Tasawuf, c. 11. Syiria: Dar al-‘Irfan.

H.M.H al-Hamid al-Husaini (1998), Liku-Liku Bid’ah, c. 1. Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd.,

Prof. Dr. Judah Muhammad Abu al-Yazid al-Mahdi (2007), al-Ittijah as-Sufi ‘inda Aimmati Tafsir al-Quran al-Karim, c . 1 Kaherah: ad-Dar al-Judiah.

 






[1] Syeikh Ali Jumaah, Al-Bayan Al-Qawim li Tashih Ba’dhi Al- Mafahim (2006) , c. 1. Kaherah: Dar as-Sundus,

h. 92.




[2] Abdul Aziz bin Ismail al-Fathoni (1994), Risalah al-Misbah al-Munir fi Ma’rifatillah al-Qadir, Fathoni:

Matba’ah bin Halabi, h. 11.




[3] ‘Abdul Rahman bin Muhammad (t.t.), Khulasoh Tauhid, T.T. T.T.P, h. 11.




[4] Abdul Aziz bin Ismail al-Fathoni (t.t.), op. cit., h. 10 – 11.




[5] Syaikh Ahmad bin Muhammad Sa’id bin Jamaluddin al-Linngi al-Melayuwi (t.t.), Ittikhaf Zawi al-  Raghibat  bi Bayani Karamati al-Auliya’ fi al-Hayati wa ba’da al-Mamat, T.T.P. T.T. h. 5 – 6.

 




[6] Syaikh Abdul Qadir Isa (2001), Haqai’q Tasawuf, c. 11. Syiria: Dar al-‘Irfan, h. 362 - 363.




[7] Syeikh Abdul Qadir Isa (2001), op. cit., h. 363 – 365.




[8] H.M.H al-Hamid al-Husaini (1998), Liku-Liku Bid’ah, c. 1. Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., h. 131–  133.




[9]  Riwayat Bukhari




[10] Syeikh Ali Jumaah, op.cit., h. 94  –  95.




[11] Syaikh Ahmad bin Muhammad Sa’id bin Jamaluddin al-Linngi al-Melayuwi (t.t.), op.cit, h. 25 – 38.




[12] Surah al-Hadid: 10




[13] Syaikh Abdul Qadir Isa, Haqai’q Tasawuf, op.cit., h. 361 – 362.




[14] Prof. Dr. Judah Muhammad Abu al-Yazid al-Mahdi (2007), al-Ittijah as-Sufi ‘inda Aimmati Tafsir al- Quran al-Karim, c . 1 Kaherah: ad-Dar al-Judiah, h. 133.

 




[15] Syeikh Ali Jumaah (t.t.), op.cit., h. 95.




[16] Syaikh Ahmad bin Muhammad Sa’id bin Jamaluddin al-Linngi al-Melayuwi (t.t.), op.cit., h. 18 – 19.