Thursday, 29 December 2011
Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai z, Mewaspadai Wahabi
Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai z, Mewaspadai Wahabi)
Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.
SUMBER:
https://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/supaya-jangan-sembarangan-mengklaim-ahli-bidah-kepada-orang-lain-hakekat-bidah-l/112546762095575
Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.
SUMBER:
https://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/supaya-jangan-sembarangan-mengklaim-ahli-bidah-kepada-orang-lain-hakekat-bidah-l/112546762095575
Wednesday, 28 December 2011
Monday, 12 December 2011
Syarat-syarat Sujud Tilawah dan Sujud Syukur
1 ) Menghadap qiblat
2 ) Mengambil wudhu'
3 ) Menutup aurat
4 ) Takbiratul ihram
5 ) Niat (nak sujud) semasa mengangkat takbiratul ihram
6 ) Sujud sekali sahaja
7 ) Bagi salam
2 ) Mengambil wudhu'
3 ) Menutup aurat
4 ) Takbiratul ihram
5 ) Niat (nak sujud) semasa mengangkat takbiratul ihram
6 ) Sujud sekali sahaja
7 ) Bagi salam
Friday, 9 December 2011
Penjelasan Tentang Riddah (Keluar Dari Islam) Dari Berbagai Kitab Para Ulama 4 Madzhab [Supaya Kita Selalu Terhindar Dari Kufur]
الردة وهي قطع الإسلام، وتنقسم إلى ثلاثة أقسام: أفعال وأقوالٌ واعتقادات كما اتَّفقَ على ذلك أهل المذاهب الأربعة وغيرهم، كالنووي (ت676 هـ) وغيره من الشافعية، وابن عابدين ( ت 1252 هـ ) وغيره من الحنفية، ومحمد عليش ( ت1299 هـ ) وغيره من المالكية، والبهوتي ( ت 1051 هـ) وغيره من الحنابلة.
Riddah
Riddah adalah memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin (w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w 1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.
وكلٌّ من الثلاثة كفرٌ بمفردِهِ فالكفرُ القوليُّ كفرٌ ولو لم يقترن به اعتقادٌ أو فعلٌ، والكفرُ الفِعْلِيُّ كفرٌ ولو لم يقترن به قول أو اعتقادٌ أو انشراحُ الصَّدْر به، والكفرُ الاعتقادي كفرٌ ولو لم يقترن به قولٌ أو فعلٌ، وسواء حصول هذا من جاهل بالحكم أو هازل أو غضبان.
قال الله تعالى: [وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ] {التوبة 66-65 } .
Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (artinya mengeluarkan seseorang dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.
Allah berfirman:
قال الله تعالى: [وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ] {التوبة 66-65 }
“Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :” إنَّ الرَّجلَ لَيَتَكلَّمُ بالكلمةِ لا يَرى بها بأسًا يهوِي بِها سبعينَ خريفًا في النَّارِ ” رواه الترمذي وحسنه، وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
وقال الإمام المجتهد محمد بن جرير الطبري ( ت 310 هـ ) في كتابه ” تهذيب الآثار “: إن من المسلمين من يخرج من الإسلام من غير أن يقصد الخروج منه اهـ.
Salah seorang Imam Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya”.
وقال الحافظ الكبير أبو عوانة (ت 316 هـ) الذي عمل مستخرجا على مسلم، فيما نقله عنه الحافظ ابن حجر في فتح الباري ج12/301-302:” وفيه أن من المسلمين من يخرج من الدين من غير أن يقصد الخروج منه ومن غير أن يختار دينا على دين الإسلام” اهـ.
Ahli hadits terkemuka yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu Uwanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau walaupun ia tidak bertujuan memiliki agama lain selain agama Islam”. (Dikutip oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqlani dalam Fath al-Bari, j. 12, h. 301-302).
وقال الشيخ عبد الله بن الحسين بن طاهر الحضرمي (ت 1272 هـ) في كتابه سلم التوفيق إلى محبة الله على التحقيق:” يجب على كل مسلم حفظُ إسلامه وصونُهُ عمَّا يفسده ويبطلُهُ ويقطعُهُ وهو الرّدةُ والعياذ بالله تعالى وقد كثُرَ في هذا الزمان التساهلُ في الكلام حتى إنَّهُ يخرج من بعضهم ألفاظٌ تُخرجهم عن الإسلام ولا يَرَوْنَ ذلك ذنبًا فضلاً عن كونه كفرًا”اهـ
Syekh Abdullah ibn al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah –semoga kita dilindungi oleh Allah darinya–. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.
قال مختصره الإمام المحدث الشيخ عبد الله بن الهرري (ت 1429 هـ) ص/14: ” وذلك مصداقُ قوله صلى الله عليه وسلم :” إن العبد ليتكلم بالكلمة لا يرى بها بأسًا يهوي بها في النار سبعين خريفًا” أي مسافة سبعين عامًا في النـزول وذلك منتهى جهنم وهو خاصٌ بالكفار. والحديث رواه الترمذي وحسَّنَه. وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم، وهذا الحديث دليل على أنه لا يشترط في الوقوع في الكفر معرفة الحكم ولا انشراح الصدر ولا اعتقاد معنى اللفظ.”اهـ
Al-Imam al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata: “–bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari Islamnya– hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya –yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
وقال السيد البكري الدمياطي (ت 1310هـ) في إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين( م2/ج4/133): “واعلم أنه يجري على ألسنة العامة جملة من أنواع الكفر من غير أن يعلموا أنها كذلك فيجب على أهل العلم أن يبينوا لهم ذلك لعلهم يجتنبونه إذا علموه لئلا تحبط أعمالهم ويخلدون في أعظم العذاب، وأشد العقاب، ومعرفة ذلك أمر مهمّ جدًا، وذلك لأن من لم يعرف الشرّ يقع فيه وهو لا يدري، وكل شرّ سببه الجهل، وكل خير سببه العلم، فهو النور المبين، والجهل بئس القرين”اهـ
As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
ويقول الحافظ الفقيه محمد بن محمد الحسيني الزبيدي الشهير بمرتضى (ت 1205هـ) في كتابه اتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين،ج5/333، ما نصه: “وقد ألف فيها( الردة) غير واحد من الأئمة من المذاهب الأربعة رسائل وأكثروا في أحكامها”اهـ
Al-Imam al-Hafizh al-Faqih Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang lebih dikenal dengan sebutan Mutadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 5, h. 333, menuliskan: “Sangat banyak sekali para Imam terkemuka dari ulama empat madzhab yang telah menuliskan berbagai risalah/kitab dalam menjelaskan masalah riddah dan hukum-hukumnya”.
الحنفية
قال الفقيه الحنفي محمد أمين الشهير بابن عابدين (ت1252هـ) في كتاب رد المحتار على الدر المختار شرح تنوير الأبصار، ج6/354، باب المرتد: شرعا الراجع عن دين الإسلام، وركنها إجراء كلمة الكفر على اللسان بعد الإيمان. هذا بالنسبة إلى الظاهر الذي يحكم به الحاكم، وإلا فقد تكون بدونه كما لو عرض له اعتقاد باطل أو نوى أن يكفر بعد حين “اهـ.
Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanafi
Salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi; yaitu al-Imam Muhmammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abidin (w 1252 H) dalam kitab karyanya berjudul Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, j. 6, h. 354, berkata: “Bab menjelaskan seorang yang murtad. Dalam tinjauan syari’at orang yang murtad adalah orang yang memutuskan/keluar Islam. Sebab utamanya adalah karena kata-kata kufur yang diucapkan dengan lidahnya. Inilah penyebab utama yang nampak secara zahir; di mana seorang hakim harus menetapkan hukum kafir terhadap orang yang mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Selain dengan kata-kata kufur kekufuran ini dapat terjadi karena sebab lainnya, seperti orang yang berkeyakinan rusak, atau seorang yang berniat (dalam hati) untuk menjadi kafir di masa mendatang; maka ia menjadi kafir saat itu pula (artinya saat ia meletakan niat untuk menjadi kafir)”.
وقال البدر الرشيد الحنفي (ت 768هـ) في رسالة له في بيان الألفاظ الكفرية ص/19:” من كفر بلسانه طائعا وقلبه على الإيمان إنه كافر ولا ينفعه ما في قلبه ولا يكون عند الله مؤمنا لأن الكافر إنما يعرف من المؤمن بما ينطق به فإن نطق بالكفر كان كافرا عندنا وعند الله “اهـ .
Al-Imam Badr ar-Rasyid al-Hanafi (w 768 H) dalam karyanya berjudul Risalah Fi Bayan al-Alfazh al-Kufriyyah, h. 19, berkata: “Barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur dengan lidahnya dan tanpa ada yang memaksanya (artinya bukan dibawah ancaman bunuh), walaupun hatinya merasa tetap dalam iman; maka sesungguhnya orang ini adalah seorang kafir. Dan apa yang ada dalam hatinya tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi dirinya. Orang semacam ini bagi Allah adalah seorang yang kafir, oleh karena sesungguhnya seorang mukmin itu diketahui bahwa ia seorang mukmin adalah dari apa yang diucapkannya, dengan demikian apa bila ia berkata-kata kufur maka sungguh ia telah menjadi kafir; menurut kita dan menurut Allah”.
وقال الشيخ ملا علي القاري الحنفي (ت1014 هـ) في شرح كتاب الفقه الأكبر للإمام أبي حنيفة النعمان بن ثابت الكوفي، ص/274:” ثم اعلم أنه إذا تكلم بكلمة الكفر عالما بمعناها ولا يعتقد معناها لكن صدرت عنه من غير إكراه بل مع طواعية في تأديته فإنه يحكم عليه بالكفر”اهـ.
Syekh Mulla Ali al-Qari’ al-Hanafi (w 1014 H) dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar (al-Fiqh al-Akbar adalah karya al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, w 150 H), pada h. 274, berkata: “Ketahuilah, bila seseorang berkata-kata kufur, ia mengetahui makna kata-kata kufur tersebut; –walaupun ia tidak meyakininya sebagai kekufuran–, lalu kata-kata kufur ini terjadi dari dirinya bukan karena paksaan tetapi terjadi dengan keinginannya sendiri (artinya dalam keadaan normal tanpa paksaan dengan ancaman bunuh) maka orang ini dihukumi sebagai orang kafir”.
وجاء في كتاب الفتاوى الهندية في مذهب الإمام أبي حنيفة، (قام بتأليفها جماعة من علماء الهند برئاسة الشيخ نظام الدين البلخي بأمر من سلطان الهند أبي المظفر محيى الدين محمد أورنك زيب) ج2/259 و261 ما نصه:”يكفر بإثبات المكان لله تعالى”، “وكذا إذا قيل لرجل: ألا تخشى الله تعالى، فقال في حالة الغضب: لا، يصير كافرا،كذا في فتاوى قاضيخان”اهـ
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, kitab fiqih dalam madzhab Hanafi ditulis oleh kumpulan ulama India yang diketuai oleh Syekh Nizhamuddin al-Balkhi dengan intruksi langsung dari penguasa India pada masanya; yaitu Abu al-Muzhaffar Muhyiddin Muhammad Urnakzib, pada j. 2, h. 259-261, tertulis sebagai berikut: “Orang yang menetapkan tempat bagi Allah telah menjadi kafir. Demikian pula jika ada seorang yang berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa takut kepada Allah? Lalu dalam keadaan marah orang ini menjawab: “Tidak”, maka ia telah menjadi kafir. Seperti inilah pula yang telah dituliskan dalam kitab Fatawa Qadlikhan”.
وقال الإمام محمد بن أحمد السرخسي الحنفي (ت 483 هـ )في كتابه المبسوط، في المجلد الثالث ج5/49، ما نصه:”باب نكاح المرتد: وإذا ارتد المسلم بانت منه امرأته مسلمة كانت أو كتابية دخل بها أو لم يدخل بها عندنا” اهـ
Al-Imam Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Mabsuth, vol. 3, j. 5, h. 49, menuliskan: “Bab tentang nikah seorang yang murtad. Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami (ulama madzhab Hanafi) istrinya menjadi terpisah darinya (artinya; rusak tali pernikahannya), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.
وقال الإمام عبد الله بن أحمد النسفي (ت 701 هـ) في كنـز الدقائق،كتاب السير :” أَجْمَعَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّ الرِدة تُبْطِلُ عِصْمَةَ النِّكَاحِ وَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا بِنَفْسِ الرِّدةِ” اهـ
Al-Imam Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w 701 H) dalam kitab Kanz ad-Daqa’iq dalam pembahasan Kitab as-Siyar, berkata: “Seluruh sahabat kami (ulama madzhab Hanafi) telah sepakat bahwa ridah/kufur (keluar dari Islam) dapat merusak tali pernikahan, dan dengan hanya riddah itu sendiri maka dua orang suami istri menjadi terpisah”.
وقال الشيخ عبد الغني الغنيمي الدمشقي الميداني الحنفي (ت 1298هـ) في اللباب في شرح الكتاب، ج3/28، ما نصه: “وإذا ارتد أحد الزوجين عن الإسلام وقعت الفرقة بينهما بغير طلاقٍ “اهـ
Syekh Abdul Ghani al-Ghunaimi ad-Damasyqi al-Maidani al-Hanafi (w 1298 H) dalam kita al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, j. 3, h. 28, berkata: “Jika salah seorang dari suami istri menjadi murad/keluar dari Islam maka –secara otomatis terjadi perpisahan antara keduanya– yang bukan karena talaq/cerai”.
وقال الشيخ عبد الغني النابلسي الحنفي (1143هـ) في كتاب الفتح الرباني والفيض الرحماني ص/124، ما نصه :” وأما أقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر إليها، وهي: التشبيه، والتعطيل، والتكذيب… وأما التشبيه: فهو الاعتقاد بأن الله تعالى يشبه شيئًا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسمٌ فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدَين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء، أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الأماكن، أو في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أنَّ له الحلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلَّةٌ منه، أو شيئًا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الأمر على ما هو عليه” اهـ.
Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124, berkata: “Adapun pembagian kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian, di mana setiap macam dan bentuk kufur kembali kepada tiga bagian ini; yaitu Tasybih, Ta’thil dan takdzib. Tasybih (yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti berkeyakinan bahwa Allah menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam makna anggota badan, atau bahwa Allah seperti bentuk si fulan, atau memiliki sifat seperti sifat si fulan, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan oleh akal, atau berkeyakinan bahwa Allah berada di langit, atau bahwa Allah berada pada arah di antara arah yang enam (atas, bawah, depan belakang, samping kanan dan samping kiri), atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat di antara beberapa tempat, atau berada di seluruh tempat, atau berkeyakinan bahwa Allah memenuhi seluruh lapisan langit dan bumi, atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat/menetap di dalam sesuatu di antara makhluk-makhluk-Nya, atau menetap di dalam segala sesuatu, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, atau menyetu dengan seluruh makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu atau segala sesuatu dari makhluk Allah menyatu dengan-Nya; maka semua ini adalah jelas sebagai kekufuran, –semoga kita terlindung darinya–. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap perkara-perkara pokok aqidah yang sebenarnya wajib ia ketahui”.
المالكية
قال القاضي عياض اليحصبي المالكي (ت 544 هـ) في كتابه الشفا ج2/214 الباب الأول في بيان ما هو في حقه صلى الله عليه وسلم سبٌ أو نقص ٌ من تعرض أو نصٍ: من سب النبي صلى الله عليه وسلم أو عابه أو ألحق به نقصا في نفسه أو نسبه أو دينه أو خصلة من خصاله أو عرَّضَ به أو شبهه بشىء على طريق السب له أو الإزراء عليه أو التصغير لشأنه أو الغض منه والعيب له فهو ساب له… قال محمد بن سنحون أجمع العلماء أن شاتم النبي صلى الله عليه وسلم المنتقص له كافر والوعيد جار عليه بعذاب الله له … ومن شك في كفره وعذابه كفر.”اهـ
Penjelasan Para Ulama Madzhab Maliki
Al-Imam al-Qadli Iyadl al-Maliki (w 544 H) dalam kitab karyanya berjudul asy-Sifa’ Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, j. 2, h. 214, menuliskan: “Bab pertama; Penjelasan tentang mencaci-maki atau merendahkan Rasulullah (baik dalam bentuk kata-kata atau tulisan). Barangsiapa mencaci-maki Rasulullah, mencelanya, menyandarkan kerendahan/kekurangan/aib kepadanya; baik pada diri beliau sendiri, atau agamanya/ajarannya/akhlaknya, atau pada sifat dari sifat-sifatnya, atau merendahkan kehormatannya, atau menyerupakannnya dengan sesuatu untuk tujuan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkan keutamaannya, atau untuk tujuan berpaling darinya dan membuat aib baginya; maka orang semacam ini adalah orang yang mencaci Rasulullah, dan Ibn Syahnun berkata: Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang mencaci-maki Rasulullah dan menghinakannya maka ia telah kafir, dan orang semacam ini layak mendapatkan ancaman Allah untuk disiksa. Dan barangsiapa meragukan bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan berhak untuk mendapat siksa; maka orang ini juga telah menjadi kafir”.
وقال الشيخ أبو عبد الله محمد أحمد عليش المالكي مفتي الديار المصرية الأسبق (ت 1299هـ) في منح الجليل على مختصر العلامة خليل ج9/205 ما نصه: “وسواء كفر بقول صريح في الكفر كقوله كفر بالله أو برسول الله أو بالقرءان أو إلاله اثنان أو ثلاثة أو المسيح ابن الله أو العزير ابن الله أو بلفظ يقتضيه أي يستلزم اللفظ للكفر استلزاما بينا كجحد مشروعية شىء مجمع عليه معلوم من الدين بالضرورة، فإنه يستلزم تكذيب القرءان أو الرسول، وكاعتقاد جسمية الله وتحيزه..أو بفعل يتضمنه أي يستلزم الفعل الكفر استلزاما بينا كإلقاء أي رمي مصحف بشىء قذر”اهـ .
Syekh Abu Abdillah Muhammad Ahmad Illaisy al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka mantan Mufti negara Mesir (w 1299 H) dalam kitab Minah al-Jalil ‘Ala Mukhtashar al-‘Allamah al-Khalil, j. 9, h. 205, berkata: “Sama halnya kufur tersebut terjadi dengan kata-kata yang jelas (sharih/jelas sebagai kata-kata kufur), seperti bila ia berkata “Saya kafir kafir kepada Allah”, atau “saya kafir kepada Rasulullah”, atau “saya kafir kepada al-Qur’an”, atau ia berkata: “Tuhan ada dua”, atau berkata: “al-Masih (Nabi Isa) adalah anak Allah”, atau berkata “Uzair adalah anak Allah”, atau berkata-kata dengan ucapan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia mengingkari sesuatu yang secara syari’at telah disepakati (ijma’) yang hukumnya telah pasti diketahui oleh setiap orang Islam (Ma’lum min ad-din bi adlarurah; seperti kewajiban shalat lima waktu, haram zina, haram mencuri dan lainnya), karena dengan demikian ia telah mendustakan al-Qur’an dan mendustakan Rasulullah. Termasuk contoh kufur dalam hal ini berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, dan atau bahwa Dia memiliki tempat dan arah. Termasuk juga berbuat dengan perbuatan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia melempar/membuang al-Qur’an (atau bagian dari al-Qur’an) di tempat yang menjijikan”.
وقال أيضا في فتح العلي المالك في الفتوى على مذهب الإمام مالك، ج2/348: س: ما قولكم في رجل جرى على لسانه سب الدين ( أي دين الإسلام ) من غير قصد ( أي من غير قصد الخروج من الدين) هل يكفر ؟ فأجبت بما نصه : الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله، نعم ارتد، وفي المجموع ولا يعذر بجهل.اهـ
Syekh Muhammad Illaisy dalam kitab Fath al-‘Aliy al-Malik Fi al-Fatwa ‘Ala Madzhab al-Imam Malik, j. 2, h. 348, juga berkata: “Soal: Apa pendapat tuan tentang seseorang yang dengan lidahnya mengucapkan kata-kata cacian terhadap agama (agama Islam) tanpa ia bertujuan untuk keluar dari Islam itu sendiri, apakah karenanya ia menjadi kafir? Aku Jawab; –Segala puji bagi Allah, shalawat dalam semoga selalu tercurah atas tuan kita; Muhammad Rasulullah–, Benar, orang itu tersebut telah menjadi kafir. Dan dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa seseorang tidak dimaafkan walaupun ia bodoh –dalam msalah ini–”.
الشافعية
قال الإمام يحيى بن شرف النووي الشافعي (ت 676 هـ ) في كتاب منهاج الطالبين وعمدة المفتين، ص/293، ما نصه:” كتاب الردة: هي قطع الإسلام بنية أو قول كفر أو فعل سواء قاله استهزاء أو عنادًا أو اعتقادًا ” اهـ
Penjelasan Para Ulama Madzhab Syafi’i
Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (w 676 H) dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, h. 293, berkata: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut”.
وقال أيضا في الروضة ج10/52 :” وقال أي الشافعي في موضع إذا أتى بالشهادتين صار مسلما”اهـ وقال في كتاب الكفارات ج8/282:” المذهب الذي قطع به الجمهور أن كلمتي الشهادتين لا بد منهما ولا يحصل الإسلام إلا بهما “اهـ
Dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, j. 10, h. 52, al-Imam an-Nawawi berkata: “Di suatu bagian (tulisannya); Imam Syafi’i berkata bahwa orang murtad ini bila mendatangkan/mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia menjadi muslim”.
Dalam kitab al-Kaffarat, j. 8, h. 282, al-Imam an-Nawawi berkata: “Pandapat yang telah ditetapkan oleh para ulama bahwa dua kalimat syahadat wajib didatangkan/diucapkan oleh seorang yang murtad, dan bahwa ia tidak menjadi muslim kembali kecuali dengan dua kalimat syahadat ini”.
وقال الشيخ تقي الدين أبو بكر بن محمد الحصني الشافعي من أهل القرن التاسع الهجري في “كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار” ص/200، ما نصه: فصل في الردة: وفي الشرع الرجوع عن الإسلام إلى الكفر وقطع الإسلام، ويحصل تارة بالقول وتارة بالفعل وتارة بالاعتقاد، وكل واحد من هذه الأنواع الثلاثة فيه مسائل لا تكاد تحصر، فنذكر من كل نبذة ما يعرف بها غيره: أما القول: ولو سب نبيا من الأنبياء أو استخف به، فإنه يكفر بالإجماع. ولو قال لمسلم يا كافر بلا تأويل كفر، لأنه سمى الإسلام كفرا. وأما الكفر بالفعل فكالسجود للصنم والشمس والقمر وإلقاء المصحف في القاذورات والسحر الذي فيه عبادة الشمس. ولو فعل فعلا أجمع المسلمون على أنه لا يصدر إلا من كافر، وإن كان مصرحا بالإسلام مع فعله. وأما الكفر بالاعتقاد فكثير جدا فمن اعتقد قدم العالم أو حدوث الصانع أو اعتقد نفي ما هو ثابت لله تعالى بالإجماع أو أثبت ما هو منفى عنه بالإجماع كالألوان والاتصال والانفصال كان كافرا، أو استحل ما هو حرام بالإجماع، أو حرم حلالا بالإجماع أو اعتقد وجوب ما ليس بواجب كفر أو نفى وجوب شىء مجمع عليه علم من الدين بالضرورة كفر ..النووي جزم في صفة الصلاة من شرح المهذب بتكفير المجسمة، قلت: وهو الصواب الذي لا محيد عنه إذ فيه مخالفة صريح القرءان”اهـ.
Syekh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Hushni asy-Syafi’i, salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i yang hidup di abad sembilan (9) hijriyah, dalam kitab Kifayah al-Akhyar Fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, h. 200, berkata: “Pasal; Tentang riddah. Riddah dalam pengertian syari’at adalah kembali dari Islam kepada kufur, dan memutuskan Islam tersebut. Riddah ini kadang terjadi karena ucapan, kadang karena perbuatan, dan kadang karena kayakinan. Setiap satu bagian dari tiga macam kufur ini memiliki cabang/contoh yang sangat banyak sekali tidak terhingga, berikut ini kita sebutkan beberapa contoh supaya kita bisa mengetahui contoh-contoh lainnya yang serupa dengannya yang tidak kita sebutkan di sini. Kufur perkataan contohnya seorang yang mencaci-maki salah seorang Nabi dari para Nabi Allah (yang telah disepakati kenabiannya), dan atau merendahkannya; maka orang ini telah kafir dengan kesepakan ulama (ijma’). Contoh lainnya bila seseorang berkata kepada sesama muslim tanpa memiliki takwil (tanpa alasan yang dapat dibenarkan dalam syari’at); “Wahai orang kafir!!”, maka yang memanggil tersebut menjadi kafir, karena dengan demikian ia telah menamkan ke-Islam-an seseorang sebagai kekufuran. Kufur fi’li (kufur karena perbuatan) contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan, atau melemparkan/membuang al-Qur’an di tempat yang menjijikan, dan praktek sihir dengan jalan menyembah matahari. Contoh lainnya bila ia berbuat suatu perbutan kufur yang nyata-nyata hanya dilakukan oleh orang-orang kafir; maka ia menjadi kafir, sekalipun saat melakukannya ia merasa bahwa diri seorang muslim”. Adapun kufur I’tiqadi (kufur karena keyakinan rusak) contohnya sangat banyak sekali, di antaranya seperti orang yang berkeyakinan bahwa alam ini (segala sesuatu selain Allah) tidak memiliki permulaan, atau menafikan/mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bagi Allah (seperti sifat wujud [Allah maha ada], qidam [tanpa permulaan], baqa’ [tanpa penghabisan], sama’ (bahwa Allah maha mendengar], dan lainnya), atau sebaliknya menetapka sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati ketiadaannya dari Allah; seperti warna, menempel, berpisah (dan berbagai sifat benda lainnya); maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila ia menghalalkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati keharamannya (seperti zina, membunuh tanpa hak, mencuri, dan lainnya), atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kehalalannya (seperti nikah, jual beli, dan lainnya), atau berkeyakinan wajib terhadap sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bukan sebagai perkara wajib; maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila seseorang mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kewajibannya serta telah diketahui kewajiban tersebut oleh seluruh orang Islam (seperti shalat lima waktu); maka ia telah menjadi kafir. Kemudian Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah al-Muhadz-dzab dalam menjelasan tatacara shalat bahwa kaum Mujassimah (kaum yang mengatakan bahwa Allah adalah benda; memiliki bentuk dan ukuran) adalah orang-orang yang harus dikafirkan. Aku (Abu Bakr al-Hushni) katakan; Inilah kebenaran yang tidak dapat diganggugugat (artinya bahwa kaum Mujassimah adalah orang-orang kafir), oleh karena keyakinan demikian sama saja dengan menyalahi al-Qur’an (yang telah jelas menetapkan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya)”.
وقال الإمام الشافعي (ت204هـ) في كتابه الأم ج6/160، في باب حال المرتد وزوجة المرتد:” وإذا ارتد الرجل عن الإسلام وله زوجة، أو أمراة عن الإسلام ولها زوج… لا تقع الفرقة بينهما حتى تمضي عدة الزوجة قبل يتوب ويرجع إلى الإسلام فإذا انقضت عدتها قبل يتوب فقد بانت منه ولا سبيل له عليها وبينونتها منه فسخ بلا طلاق”اهـ
Al-Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), Imam perintis madzhab Syafi’i, dalam kitab al-Umm, j. 6, h. 160, dalam menjelaskan keadaan/hukum seorang yang murtad dan istri seorang yang murtad, berkata: “Jika seseorang menjadi murtad/keluar dari Islam dan ia memiliki istri, atau jika seorang perempuan keluar dari Islam dan ia memiliki seorang suami; maka pasangan ini menjadi terpisahkan (artinya secara otomatis manjadi rusak tali pernikahannya). Dan bila yang murtad ini kembali masuk Islam sebelum habis masa iddah –istrinya– (yaitu 3 kali suci) maka keduanya kembali menjadi pasangan suami istri (tanpa harus membuat akad nikah yang baru). Namun bila salah satunya belum masuk Islam kembali hingga habis masa iddah –si istri– (yaitu 3 kali suci); maka terpisahlah antara pasangan suami istri ini, dan pisah di sini karena rusak (tali pernikahannya) bukan karena talaq/cerai”. (Penjelasan; Bila salah satunya masuk Islam kembali setelah habis masa iddah lalu hendak membangun rumah tangga kembali maka harus membuat akad nikah yang baru).
وقال تاج الدين السبكي (ت771 هـ) في طبقاته ج1/91 ما نصه:” ولا خلاف عند الأشعري وأصحابه بل وسائر المسلمين أن من تلفظ بالكفر أو فعل أفعال الكفر أنه كافر بالله العظيم مخلد في النار وإن عرف قلبه ” اهـ.
Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab ibn Ali as-Subki (w 771 H) dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, j. 1, h. 91, berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam al-Asy’ari dan para ulama pengikutnya, bahkan tidak ada perbedaan pendapat di antara segenap orang Islam bahwa seorang yang berkata-kata kufur atau berbuat perbuatan kufur; maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, ia akan dikekalkan di dalam neraka, sekalipun hatinya mengingkari itu (artinya; sekali hatinya tidak berniat keluar dari Islam)”.
وقال الشيخ محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني (ت 1316 هـ) في كتاب مراح لبيد: “{وَمَن يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ} أي ومن يكفر بشرائع الله وبتكاليفه فقد بطل ثواب عمله الصالح سواء عاد إلى الإسلام أولاً “اهـ.
Syekh Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani (w 1316 H) dalam kitab tafsir yang dikenal dengan at-Tafsir al-Munir atau dikenal dengan Tafsir Marah Labid, menuliskan: “Firman Allah:
وَمَن يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ (المائدة: 5)
“Barangsiapa kufur dengan keimanan maka menjadi sia-sialah amalannya” (QS. Al-Ma’idah: 5). Artinya, bahwa seorang yang kafir kepada syari’at-syari’at Allah dan kafir kepada ajaran-ajaran-Nya (hukum-hukum-Nya) maka manjadi sia-sia seluruh amal salehnya, sama halnya setelah itu ia kembali kepada Islam atau tidak”.
الحنابلة
قال موفق الدين عبد الله بن أحمد ابن قدامة المقدسي الحنبلي (ت 620 هـ) في كتاب المقنع، صحيفة 307، ما نصه:”باب حكم المرتد: وهو الذي يكفر بعد إسلامه . فمن أشرك بالله أو جحد ربوبيته أو وحدانيته أو صفة من صفاته او اتخذ لله صاحبة أو ولدا أو جحد نبيا أو كتابا من كتب الله تعالى أو شيئا منه أو سب الله تعالى أو رسوله كفر. ومن جحد وجوب العبادات الخمس أو شيئا منها أو أحل الزنا أو الخمر أو شيئا من المحرمات الظاهرة المجمع عليها لجهل عرّف ذلك، وإن كان ممن لا يجهل ذلك كفر .
Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanbali
Syekh Muwaffaquddin Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w 620 H), dalam kitab al-Mughni, h. 307, berkata: “Bab hukum orang murtad. Orang murtad ialah orang yang menjadi kafir setelah Islam. Maka barangsiapa menyekutukan Allah, atau mengingkari ketuhanan-Nya, atau keesaan-Nya (artinya bahwa Allah tidak menyerupai segala apapun dari makhluk-Nya), atau mengingkari salah satu sifat-dari sifat-sifat-Nya, atau menjadikan bagi-Nya seorang istri, atua seorang anak, atau mengingkari seorang Nabi (yang telah disepakati kenabiannya), atau mengingkari salah satu kitab dari kitab-kitab Allah (yang diturunkan kepada sebagian Nabi-Nya), atau mengingkari sesuatu yang (nyata) sebagai bagian dari kitab-Nya tersebut, atau mencaci-maki Allah, atau mencai-maki Rasul-Nya; maka orang tersebut telah menjadi kafir. Dan barangsiapa mengingkari kewajiban shalat lima waktu, atau sesuatu yang jelas merupakan bagian dari shalat lima waktu tersebut, atau menghalalkan perbuatan zina, atau khamar, atau menghalalkan beberapa perkara yang nyata sebagai perkara-perkara haram dan telah disepakati tentang keharamannya; maka jika karena (benar-benar) bodoh maka harus diajarkan kepadanya, namun jika ia telah tahu maka ia menjadi kafir”.
وقال الفقيه الحنبلي منصور بن إدريس البهوتي (ت 1051 هـ) في كتاب شرح منتهى الإرادات، ج3/386 ، ما نصه:” باب حكم المرتد، وهو لغة الراجع ،..وشرعا من كفر ولو مميزا بنطق أو اعتقاد أو فعل أو شك طوعا ولو كان هازلا بعد إسلامه “اهـ.
Syekh Manshur ibn Idris al-Buhuti, salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanbali (w 1051 H), dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat, j. 3, h. 386 H, berkata: “Bab hukum seorang murtad. Murtad dalam makna bahasa adalah seorang yang kembali (dari Islam). Dan menurut syari’at adalah seorang yang menjadi kafir; walaupun ia seorang yang berumur mumayyiz, yang kekufurannya tersebut terjadi karena kata-kata, keyakinan (rusak), perbuatan, atau karena ia ragu-ragu; yang itu semua terjadi tanpa adanya paksaan, walaupun itu semua terjadi pada dirinya dan dia dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
وقال أيضا في كشاف القناع عن متن الاقناع ج6/178 ما نصه: “وتوبة المرتد إسلامه بأن يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله … وهذا يثبت به إسلام الكافر الأصلي فكذا المرتد”اهـ
Dalam kitab Kasy-syaf al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’, j. 6, h. 178, Syekh al-Buhuti berkata: “Taubat seorang yang murtad adalah dengan masuk Islam kembali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (Asyhadu an La Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah). Hanya dengan jalan (mengucapkan dua syahadat ini) seorang kafir asli (yaitu seorang yang sebelumnya tidak pernah kafir) menjadi tetap (dianggap benar) keimananya, maka demikian pula hanya dengan jalan ini (mengucapkan dua kalimat syahadat) seorang murtad menjadi sah Islamnya”.
وقال الشيخ محمد بن بدر الدين بن بلبان الدمشقي الحنبلي (ت1083هـ) في كتاب مختصر الافادات في ربع العبادات والآداب وزيادات، ص/514 ما نصه:” فصل في المرتد: وهو من كَفَرَ ولو مميزا طوعا ولو هازلاً بعد إسلامه “اهـ.
Syekh Muhammad ibn Badriddin ibn Balibban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H) dalam kitab Mukhtashar al-Ibadat Fi Rub’i al-‘Ibadat Wa al-Adab Wa Ziyadat, h. 514, berkata: “Pasal; Tentang hukum seorang murtad. Seorang yang murtad ialah seorang yang menjadi kafir/keluar dari Islam walaupun ia seorang yang baru berumur mumayyiz; tanpa ada yang memaksanya, walaupun kejadian kufur tersebut dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
وقال زين الدين أبو الفرج عبد الرحمن بن شهاب الدين بن أحمد ابن رجب الحنبلي (ت 795 هـ) في كتاب جامع العلوم والحكم، ص/148، الحديث السادس عشر: ” فأما ما كان من كفر أو ردة أو قتل نفس أو أخذ مال بغير حق ونحو ذلك فهذا لا يشك مسلم أنهم لم يريدوا أن الغضبان لا يؤاخذ به ” اهـ.
Imam Zainuddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn Syihabiddin ibn Ahmad ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H), dalam kitam Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam, h. 148, pada hadits ke 16, berkata: “…adapun perkara yang terjadi; semacam kufur, riddah/keluar dari Islam, membunuh, mencuri tanpa hak, dan semacam itu; maka perkara-perkara ini tidak ada seorang muslim-pun yang meragukan bahwa kejadian itu semua walaupun terjadi saat seseorang dalam keadaan marah maka tetap saja ia dikenakan hukuman”.
قواعد مفيدة:
قال الفقهاء :
أ – من تلفظ بكلام كفر أو فعل فعلا كفريا أو اعتقد اعتقادا كفريا، وجهل أن ما حصل منه كفر لا يعذر بل يحكم بكفره، قاله القاضي عياض المالكي والشيخ ابن حجر الهيتمي الشافعي وكذلك عدد من فقهاء الحنفية .
Kaedah-Kaedah Yang Sangat Berfaedah:
Para ulama berkata:
A. Barangsiapa berkata-kata kufur (sharih/jelas), atau berbuat perbuatan kufur, atau meyakini keyakinan kufur; walaupun orang ini tidak mengetahui bahwa apa yang terjadi pada dirinya tersebut sebagai kekufuran maka orang seperti ini tidak dapat dimaafkan, ia tetap dihukumi telah menjadi kafir. Demikian inilah yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl, Ibn Hajar al-Haitami, dan berbagai ulama lainnya dari ulama madzhab Hanafi.
ب- اللفظ الصريح لا يؤول، قال حبيب بن ربيع أحد كبار المالكية:” ادعاء التأويل في لفظ صراح لا يقبل”اهـ. نقله عنه القاضي عياض في الشفا [ ج2/217 ]. وقال إمام الحرمين عبد الملك الجويني (ت478 هـ) كما في نهاية المحتاج [ ج7/414 ]: ” اتفق الأصوليون على أن من نطق بكلمة الردة وزعم أنه أضمر تورية كفّر ظاهرا وباطنا “اهـ وأقرهم على ذلك. يعني إن كانت توريته بعيدة، لأن التورية القريبة تدفع التكفير عن صاحبها لكون اللفظ غير صريح.
B. Ucapan kufur yang jelas (sharih) tidak dapat menerima takwil. Salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki; yaitu Syekh Hubaib ibn Rabi’ berkata: “Mengaku-aku adanya takwil dalam dalam ucapan yang jelas dan nyata (sharih) maka pengakuannya tersebut tidak dapat diterima”. (Perkataan Syekh Hubaib ini dikutip oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-musthafa, j. 2, h. 217).
Imam al-Haramain Abd al-Malik al-Juwaini (w 478 H), –sebagaimana dikutip dalam kitab Nihayah al-muhtaj, j. 7, h. 414–, berkata: “Para ulama ahli Ushul telah sepakat bahwa apa bila ada seorang berkata-kata kufur (yang jelas), walaupun ia mengaku bahwa kata-katanya tersebut mengandung makna lain yang jauh (Tauriyah) maka orang tersebut dikafirkan secara zahir dan batin”. Para ulama telah sepakat tentang kekufuran orang yang mengungkapkan kata-kata kufur seperti ini. Dan yang dimaksud tauriyah yang tidak dianggap dalam hal ini adalah pengakuan makna atau takwil yang sangat jauh dari makna zahirnya. Adapun tauriyah yang dianggap dekat maknanya; artinya takwil tersebut masih dalam kandungan makna zahirnya maka dalam hal ini seorang yang mengungkapkannya tidak dikafirkan; karena dengan demikian berarti ucapannya tersebut tidak dikategorikan ucapan yang sharih.
ج- وأما إن كان اللفظ ليس صريحا وإنما له أكثر من معنى، بعض معانيه كفري وبعضها غير كفر، لا يحكم على المتلفظ به بالكفر إلا إذا علم أنه أراد بهذا اللفظ المعنى الكفري.
C. Adapun jika kata-kata yang diucapkannya tersebut adalah kata-kata yang tidak sharih; artinya kata-kata yang mengandung banyak makna; sebagian maknanya ada yang kufur, dan sebagian lainnya bukan kufur; maka seorang yang mengucapkan kata-kata semacam ini tidak boleh dihukumi sebagai orang kafir; kecuali apa bila ia mengungkapkan kata-kata tersebut dan dia bertujuan dengan kata-katanya itu terhadap makna kufur, maka ia dihukumi kafir.
توبة المرتد
وأما توبة المرتد فهي الإقلاع عن الكفر فورا والنطق بالشهادتين بقول أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله، ولا ينفعه قول أستغفر الله قبل الشهادتين، كما نقل الإجماع على ذلك الإمام المجتهد أبو بكر بن المنذر المتوفى سنة 318 هـ. في كتابه الإجماع ص/144.
Taubat Orang Murtad
Adapun cara taubat bagi seorang yang murtad adalah dengan melepaskan kekufuran seketika itu pula dan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat; yaitu dengan mengatakan:
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله
Tidak cukup dan tidak memberikan manfaat baginya jika ia hanya mengucapkan istigfar saja sebelum ia mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Ketetapan ini merupakan ijma’ (konsensus) para ulama sebagaimana telah dikutip oleh Imam Mujtahid terkemuka; al-Imam Abu Bakr ibn al-Mundzir (w 318 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Ijma’, h. 144.
نصيحة
هذا وقد عد كثير من الفقهاء كالقاضي عياض المالكي المتوفى سنة 544هـ والفقيه بدر الرشيد الحنفي المتوفى سنة 768 هـ والفقيه يوسف الأردبيلي الشافعي المتوفى سنة 799 هـ وغيرهم أشياء كثيرة في بيان الألفاظ المكفرة نقلوها عن الأئمة فينبغي الإطلاع عليها فإن من لم يعرف الشر يقع فيه.
Nasehat
Para ulama terkemuka telah mengungkapkan banyak sekali dari contoh kata-kata yang merupakan kekufuran (al-Alfazh al-kufriyyah), di antaranya al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki (w 544 H), Badr ar-Rasyid al-Hanafi; salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi (w 768 H), Yusuf al-Ardabili asy-Syafi’i; ulama terkemuka madzhab Syafi’i (w 799 H), dan para ulama terkemuka lainnya; di mana para ulama ini telah mengutip contoh kata-kata kufur tersebut dari para Imam dan Ulama terkemuka sebelumnya, dengan demikian wajib bagi kita mengenal dan mempelajari apa yang telah mereka tuliskan, karena sesungguhnya seorang yang tidak mengetahui keburukan maka mau tidak mau suatu saat ia pasti terjatuh di dalamnya.
Wednesday, 7 December 2011
Apakah Ta’rif Jirim & 'Aradh?
Apakah Ta’rif Jirim?
Jirim itu ialah:
1) Sesuatu yang ada
2) Bawa diri sendiri (tidak menumpang pada yang lain)
3) Mengambi (mengisi)l ruang
4) Kena jadi (Dijadikan)
5) Baharu
6) Menerima belah bahagi atau tiada menerima belah bahagi (umum)
*Terima belah bahagi – Jisim
Tidak terima belah bahagi – Jauhar firid
Apakah Ta’rif ‘Aradh?
‘Aradh itu ialah:
1) Sesuatu (sifat) yang ada
2) Tidak boleh bawa diri sendiri (menumpang pada sesuatu yang lain yakni zat)
3) Mengambil (mengisi) ruang
4) Kena jadi (Dijadikan)
5) Baharu
6) Terima belah bahagi atau tidak (umum)
[Qauluhu: جرم]
maknanya pada lughah iaitu jasad ertinya tubuh badan,
dan pada istilah (pada sepakat dan panggilan ulama’ usuluddin) iaitu [ما تَحَيَّزّ بِنَفْسِهِ] ertinya barang yang bertempat (mengambil lapang) ia dengan sendirinya yakni barang yang ada ia (serta bertempat) dengan jalan bawa dirinya sendiri.
[Qauluhu:عرض ]
(ada) baginya beberapa makna pada lughah:
setengahnya (sebahagian makna pada lughah) makna مَتاعٌ ertinya mata benda,
dan setengahnya اسم لما لا دوام لها ertinya (satu) nama bagi barang yang tiada kekal baginya dikatakan هذا الأمر عرض أى (هذا) عارض زائل yakni ini perkara yang datang sekejap hilang ia,
dan maknanya pada istilah iaitu [ما تَحَيَّزَ بغيره] ertinya barang yang bertempat ia dengan (di) yang lain yakni barang yang ada ia (serta bertempat) pada suatu yang lainnya seperti warna putih yang ada ia pada kapas umpamanya, dan masin yang ada ia pada garam umpanya dan demikianlah yang lainnya (daripada yang tersebut itu).
Rujukan: Mizan az-Zarari oleh Ismail bin Omar As-Sepanjang (Baba Ismail Spanjang), cetakan Pondok Darul Muhajirin, hal. 9 - 10
Jirim itu ialah:
1) Sesuatu yang ada
2) Bawa diri sendiri (tidak menumpang pada yang lain)
3) Mengambi (mengisi)l ruang
4) Kena jadi (Dijadikan)
5) Baharu
6) Menerima belah bahagi atau tiada menerima belah bahagi (umum)
*Terima belah bahagi – Jisim
Tidak terima belah bahagi – Jauhar firid
Apakah Ta’rif ‘Aradh?
‘Aradh itu ialah:
1) Sesuatu (sifat) yang ada
2) Tidak boleh bawa diri sendiri (menumpang pada sesuatu yang lain yakni zat)
3) Mengambil (mengisi) ruang
4) Kena jadi (Dijadikan)
5) Baharu
6) Terima belah bahagi atau tidak (umum)
[Qauluhu: جرم]
maknanya pada lughah iaitu jasad ertinya tubuh badan,
dan pada istilah (pada sepakat dan panggilan ulama’ usuluddin) iaitu [ما تَحَيَّزّ بِنَفْسِهِ] ertinya barang yang bertempat (mengambil lapang) ia dengan sendirinya yakni barang yang ada ia (serta bertempat) dengan jalan bawa dirinya sendiri.
[Qauluhu:عرض ]
(ada) baginya beberapa makna pada lughah:
setengahnya (sebahagian makna pada lughah) makna مَتاعٌ ertinya mata benda,
dan setengahnya اسم لما لا دوام لها ertinya (satu) nama bagi barang yang tiada kekal baginya dikatakan هذا الأمر عرض أى (هذا) عارض زائل yakni ini perkara yang datang sekejap hilang ia,
dan maknanya pada istilah iaitu [ما تَحَيَّزَ بغيره] ertinya barang yang bertempat ia dengan (di) yang lain yakni barang yang ada ia (serta bertempat) pada suatu yang lainnya seperti warna putih yang ada ia pada kapas umpamanya, dan masin yang ada ia pada garam umpanya dan demikianlah yang lainnya (daripada yang tersebut itu).
Rujukan: Mizan az-Zarari oleh Ismail bin Omar As-Sepanjang (Baba Ismail Spanjang), cetakan Pondok Darul Muhajirin, hal. 9 - 10
Thursday, 1 December 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)